Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Menari di Antara Benalu?

debat perdana pilpres 2019

Debat Perdana Pilpres 2019. (Foto: VOA Indonesia)

“Musuh Pak Jokowi bukan Pak Prabowo, melainkan pembantu-pembantu terdekatnya” Faisal Basri


PinterPolitik.com

[dropcap]D[/dropcap]ebat perdana telah usai. Impresi masyarakat begitu terpolarisasi. Ada yang mati-matian membela, ada pula yang mati-matian menghujat.

Performa keduanya bisa dikatakan kurang memuaskan syahwat publik. Debat perdana yang idealnya diisi dengan gagasan-gagasan pedas dan bernas, justru diwarnai dengan performa textbook bak lomba pidato.

Entah apa yang ada di benak para pasangan kandidat semalam, mengapa apa yang mereka sampaikan seolah tak substansial membahas tema yang sudah jauh-jauh hari disiapkan oleh penyelenggara pemilu.

Namun, ada satu sudut yang semalam cukup menjadi serangan telak bagi kubu lawan ketika isu impor masuk gelanggang debat HAM, hukum, dan terorisme.

Jokowi beneran tersandera? Share on X

Kandidat nomor urut 02, Prabowo Subianto sempat menyampaikan kebingungannya terhadap pemerintahan Jokowi. Ia menyebut bahwa menteri-menteri di sekelilling sang presiden memiliki perbedaan pendapat terutama dalam hal impor. Mantan Danjen Kopassus itu mempertanyakan mengapa Menteri Perdagangan membuka keran impor padahal Menteri Pertanian dan Dirut Bulog menyatakan tidak perlu.

Lebih lanjut, Prabowo mempertanyakan apakah ada konflik kepentingan di balik impor pangan yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Pertanyaan yang ia ajukan adalah apakah ada kepentingan pribadi atau kelompok dalam kebijakan impor tersebut.

Meskipun out of context, namun pertanyaan tersebut sontak membuat panggung debat terasa panas.

Kemudian sebuah plot twist yang menarik yang dikeluarkan Jokowi ketika ia menanggapi pertanyaan tersebut. Kandidat petahana itu menyebut bahwa perdebaan pendapat itu adalah dinamika yang biasa dalam rapat kabinet. Meski menterinya saling berdebat, ia menyebut bahwa keputusan perlu atau tidaknya impor pada akhirnya ada di tangannya.

Entah terpeleset lidah, entah tak sadar bahwa dirinya sedang di-showcase, jawaban Jokowi tersebut pada akhirnya membuka ruang kritik yang lebih lebar. Jokowi seperti mengakui bahwa di tengah kemelut impor yang memberatkan masyarakat, ialah orang yang paling bertanggung jawab.

Lalu mungkinkah sang mantan gubernur DKI akan kembali berhadapan dengan isu lemahnya otoritasnya di antara para pembantu-pembantunya sendiri?

Neraca Dagang, Sebuah Pertanda

Meskipun telah menampik tak ada konflik kepentingan antara dirinya dengan para menteri-menterinya, namun data menunjukkan kenyataan lain.

Ekonom senior Faisal Basri baru saja melakukan kritik habis-habisan terhadap kinerja neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2018. Hal tersebut sempat diungkapakanya dalam situs pribadinya, faisalbasri.com.

Artikel yang bertajuk Neraca Perdagangan Cetak Rekor Terburuk & Benalu di Lingkungan Dekat Presiden tersebut secara gamblang menjelaskan penurunan tajam sektor perdagangan yang ia sebut sebagai yang terburuk sepanjang sejarah.

Misalnya  penyebab utama lonjakan defisit perdagangan ternyata adalah kemerosotan tajam transaksi perdagangan nonmigas.

Ekonom lulusan Universitas Indonesia tersebut mengungkap bahwa surplus perdagangan nonmigas anjok sebesar 81,4 persen, dari 20,4 miliar dollar tahun 2017 menjadi hanya 3,8 miliar dollar AS tahun 2018.

Ia juga menyebut beberapa faktor lain seperti gencarnya pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur juga menyumbang defisit perdagangan nonmigas tersebut dimana RI harus banyak mengimpor bahan baku pembangunan infrastruktur dari luar.

Belum lagi karut-marut derasnya impor komoditas beras, gula, dan garam yang ternyata terbukti bermasalah dan menyebabkan kondisi ekonomi nasional makin terbebani.

Lalu dalam tulisannya tersebut, Faisal Basri seolah member peringatan, bahwa ada yang salah dengan kebijakan sang presiden selama ini.

Tuduhan tersebut memang bukan tanpa alasan. Pasalnya sang ekonom INDEF tersebut mengungkap beberapa kejanggalan terkait impor yang selama ini dilakukan di sektor pertanian, pangan, dan infrastruktur. Sang Ekonom pun memperingatkan bahwa ada benalu di sekeliling sang presiden.

Buwas Vs Enggar, Jokowi Powerless?

“Bersihkanlah lingkungan dekat Presiden dari para penunggang percuma (free rider) dan para pemburu rente. Komitmen dan langkah tegas Presiden menghadapi mereka bisa memunculkan kembali asa”. Begitulah kutipan yang diungkapkan Faisal dalam tulisannya.

Lalu bagaimanakah seharusnya membandingkan realitas di atas dengan apa yang disampaikan oleh sang petahana dengan serangan lawan politiknya menyoal impor dan konflik kepentingan tadi malam?

Menari di Antara Para Benalu?

Dalam budaya politik yang masih oligarkis, perburuan rente memang aktivitas yang jamak terjadi dan kekuatan politik biasanya memang selalu dimainkan oleh para pihak yang memiliki sumber daya politik yang lebih mumpuni.

Memang sengkarut impor ini cukup prolematis karena melibatkan serangkaian praktek perburuan rente yang tidak hanya melibatkan pejabat negara, tapi terkait juga dengan aktivitas perusahaan pengimpor maupun pengekspor.

Tentu publik tidak lupa bagaimana keputusan impor menteri Enggar sempat menimbulkan tanda tanya  ketika kepala Bulog Budi Waseso menyebut bahwa stok beras Indonesia masih cukup untuk kebutuhan nasional.

Maka bukan tidak mungkin bahwa praktek perburuan rente memang terjadi dalam kasus polemik impor di Indonesia selama ini. Meskipun belum terbukti, namun kecurigaan tersebut bisa terlihat ketika memperhatikan pola impor yang selama ini dijalankan pemerintah.

Dengan jawaban Jokowi dalam debat semalam, justru menyebabkan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan kini dipertanyakan.

Dalam konteks tersebut, pengetahuan Jokowi tentang kebijakan impor seperti sebuah pengakuan dosa bagi kebijakan yang nyata-nyatanya menyebabkan defisit neraca perdagangan dan dikeluhkan para petani lokal.

Hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Gordon Brown, seorang jurnalis The Guardian dalam tulisannya berjudul I’ve seen how one slip of the tongue can be fatal yang mengungkap betapa berbahayanya terpeleset lidah dalam sebuah debat politik dan kesalahan statement dalam debat mampu membuat seorang kandidat kalah dalam pemilu.

Namun, sungguhkah ia benar-benar tidak menyadarinya, sehingga ia tak sadar tengah menari diantara para benalu? Atau ia sesungguhnya tahu, dan memang tak punya kuasa untuk menuntaskan persoalan serius tersebut?

Data Faisal Basri nampaknya berkata lain. Jika dilihat dari pernyataannya, maka bisa saja publik berasumsi bahwa Jokowi benar-benar tak memiliki kuasa yang cukup sebagai kepala negara untuk melawan para kartel dan pemburu rente yang ada disekelilingnya.

Hal itu tergambar misalnya melalui ketidakberdayaan Jokowi ketika Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita terus melakukan kebijakan impor meskipun kritik menyerangnya dari berbagai penjuru. Ia sebagai kepala negara bisa diamati tak berinisiatif untuk menegur sang menteri.

Keengganan Jokowi melepas Enggar dari jabatan Mendag juga disoroti oleh Faisal Basri. Menurutnya, dalam kasus impor gula yang terjadi terus-menerus, Jokowi sudah melakukan segala cara kecuali memecat Menteri Perdagangan.

Pada akhirnya, terlepas dari terpeleset lidah atau tidak, jawaban sang petahana justru semakin membuka lebar potensi serangan-serangan politik yang lain. Tentu kondisi ini akhirnya bisa saja menjadi bumerang bagi pria kelahiran Boyolali tersebut.

Terlepas apakah ia benar-benar tersandera oleh para pembantu-pembantunya, masih ada peluang bagi dirinya untuk memperbaiki di putaran debat selanjutnya. Jika ia masih “tak cerdas” dalam memikirkan kemungkinan-kemungkinan serangan beserta jawabannya, maka bisa saja ramalan Brown tentang kekalahan pemilu akan menjadi kenyataan. (M39)

Exit mobile version