HomeNalar PolitikJokowi Menanti Badai Pembalik Survei

Jokowi Menanti Badai Pembalik Survei

Hasil survei yang dirilis Litbang Kompas menunjukkan Jokowi mendapatkan suara di bawah 50 persen. Haruskah kandidat petahana itu khawatir?


Pinterpolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]urvei Litbang Kompas beberapa waktu lalu bagai menghadirkan petir di siang bolong bagi kandidat presiden dan wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin. Bagaimana tidak, survei salah satu lembaga terkemuka itu menyebut bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sudah berada di bawah 50 persen.

Pada survei tersebut, tergambar bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf telah mencapai angka 49,2 persen. Sementara itu, lawannya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno meraup suara responden sebesar 37,4 persen. Hal ini berarti jarak di antara kedua pasangan calon hanya tinggal 11,8 persen.

Meski masih unggul, angka tersebut tentu tak terlalu menggembirakan bagi Jokowi-Ma’ruf. Bagaimanapun, sebagai kandidat petahana, idealnya mereka mampu mengungguli survei dengan marjin cukup jauh. Di lain pihak, hasil survei tersebut menjadi angin segar bagi Prabowo-Sandi karena kini momentum mereka seperti mulai menanjak.

Memang, di berbagai belahan dunia, para kandidat petahana tak selalu menikmati elektabilitas atau approval rating di atas 50 persen. Akan tetapi, jika melihat elektabilitas petahana presiden Indonesia terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), elektabilitas Jokowi memang tak terlalu menggembirakan.

Lalu, apa artinya perolehan survei di bawah 50 persen ini bagi Jokowi? Apakah ini artinya momentumnya tengah menurun? Ataukah angka ini masih wajar dan tetap memiliki kemungkinan menang tinggi?

Tertinggal di Survei

Apakah elektabilitas di bawah 50 persen berarti kekalahan bagi seorang petahana? Jika Negeri Paman Sam Amerika Serikat (AS) yang jadi patokannya, maka jawabannya bisa saja tidak. Beberapa presiden petahana mengalami penurunan dalam hal approval rating dan elektabilitas menjelang usaha mereka menuju kursi presiden untuk kedua kalinya.

Hal tersebut misalnya dialami oleh Barack Obama. Presiden asal Partai Demokrat itu sempat memiliki elektabilitas di bawah 50 persen di berbagai survei jelang Pilpres AS 2012. Dalam beberapa survei, lawannya, Mitt Romney bahkan sempat menyalip kandidat petahana tersebut.

Dalam survei yang dibuat oleh Gallup misalnya, Obama sempat memulai dengan angka 45 persen. Angka ini memang kemudian mengalami kenaikan, tetapi umumnya berada di kisaran 46 hingga 50 persen. Berdasarkan survei Gallup tersebut, Obama tak pernah mendapatkan suara responden lebih dari 50 persen.

Meski hasil survei opini masyarakat AS tersebut menempatkan Obama dalam posisi yang kurang menguntungkan, nyatanya hasil akhir Pemilu berkata lain. Obama akhirnya kembali menjadi Presiden AS dengan perolehan suara 51,1 persen berbanding 47,2 persen milik Romney.

Dengan modal hasil survei opini yang di bawah 50 persen, Obama jelas tidak memenangkan pertarungan dengan benar-benar mudah. Banyak pihak menyebut bahwa kemenangan Obama dibantu oleh peristiwa Badai Sandy.

Kala itu, hasil survei opini Obama bukan hanya berada di bawah 50 persen, tetapi sudah mulai tersalip oleh Romney. Akan tetapi, ketika Badai Sandy melanda AS, momentum tersebut berubah. Obama yang momentumnya sempat tersendat seperti mendapatkan angin kembali akibat aksinya menangani dampak badai tersebut.

Obama ketika itu memang sangat sigap bersikap untuk menangani Badai Sandy. Sementara itu, nama Romney justru mulai tergeser dari tajuk-tajuk utama berita akibat peristiwa tersebut. Terlihat bahwa Badai Sandy telah menahan momentum Romney dan menaikkan momentum Obama.

Hal tersebut menjadi gambaran bahwa boleh jadi, perlu ada momen khusus agar hasil survei yang tak menggembirakan berubah menjadi hasil prima di penghitungan suara asli. Oleh karena itu, meski kandidat petahana yang punya elektabilitas 50 persen masih mungkin menang, perlu ada kondisi khusus agar kemenangan tersebut dapat dikunci.

Mudahnya Mengunci Kemenangan

Memang, fenomena seperti Obama adalah hal yang mungkin terjadi dalam politik. Meski begitu, jika ingin aman mengarungi sebuah pemilihan, idealnya seorang petahana bisa mendapatkan keyakinan dari responden dengan suara di atas 50 persen. Dalam konteks tersebut, SBY dapat menjadi contoh bagaimana survei di atas 50 persen membuat ia begitu mudah mengunci kemenangan.

SBY boleh jadi adalah anomali yang positif dalam politik. Jika beberapa presiden AS saja tak mampu menguasai lebih dari 50 persen hati rakyat, SBY dengan mudah mendapatkan kepercayaan rakyat di survei opini dengan perolehan di atas 50 persen.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di tahun 2009 misalnya, sempat menempatkan SBY yang kala itu berpasangan dengan Boediono di urutan teratas dengan perolehan 71 persen. Sebuah perolehan suara yang cukup fantastis dan tergolong sulit untuk disamai.

Angka tersebut memang sempat mengalami penurunan, tetapi keterpilihan SBY masih tergolong amat tinggi. Pada dua survei LSI berikutnya, SBY berturut-turut mendapatkan suara responden sebesar 67 persen dan 63 persen.

Hasil survei tersebut kemudian tergambar pada penghitungan suara resmi versi KPU. Pada hasil Pilpres 2009, SBY berhasil unggul telak dengan persentase suara 60,80 persen. Perolehan ini membuatnya berhasil mengunci kursi presiden untuk kedua kalinya tanpa harus mengikuti putaran kedua pemilihan.

Kisah SBY tersebut bukan hanya menjadi fenomena fantastis, tetapi juga menjadi gambaran bahwa elektabilitas di atas 50 persen dapat membuat kemenangan dikunci dengan mudah. Hingga saat ini, tampak sulit kejadian serupa akan terjadi lagi di Indonesia.

Pentingnya meraup suara 50 persen ke atas untuk mengamankan kursi ini diungkapkan misalnya oleh Michael S. Lewis-Beck dan Tom W. Rice. Menurut mereka, perolehan suara survei 50 persen dapat memastikan kandidat petahana untuk terpilih kembali.

Perlu ‘Badai’

Merujuk pada kondisi tersebut, Jokowi tampaknya memang belum setara dengan SBY. Modal 49,2 persen milik Jokowi jelas tertinggal jauh dari perolehan 71 persen milik SBY di tahun 2009.

Selain itu, kecuali ada momen dramatis, sulit pula bagi Jokowi bisa menyamai perolehan survei milik SBY tersebut di tahun ini. Hal ini membuat langkah mantan gubernur DKI Jakarta tersebut untuk mengunci kemenangan boleh jadi tak akan semulus SBY di tahun 2009.

Jokowi memang masih mungkin menang meski hasil survei Litbang Kompas menunjukkan penurunan suaranya. Meski demikian, perlu kerja keras untuk mewujudkan hal itu. Share on X

Jika dibandingkan dengan SBY, hal tersebut tentu merupakan sebuah ironi. Jokowi memiliki waktu yang sama dan sumber daya serupa sebagai presiden untuk memuaskan masyarakat. Akan tetapi, Jokowi seperti tak sepenuhnya berhasil memanfaatkan waktu dan sumber daya tersebut untuk mengamankan posisinya di tangga survei.

Memang, ada kasus Obama yang juga keunggulan surveinya tipis dan bahkan sempat tersalip Romney. Meski begitu, seperti disebutkan di atas, ada faktor khusus berupa Badai Sandy yang membuat Obama berhasil memenangkan pertarungan dari Romney.

Pada titik itu, dengan kondisi perolehan survei yang sama sekali tak setara dengan SBY di tahun 2009, Jokowi boleh jadi membutuhkan ‘badai’ tersendiri, sebagaimana Obama yang terdongkrak oleh badai Sandy. Hal ini tergolong penting untuk menahan momentum lawannya dan menciptakan momentum untuk dirinya sendiri.

Tentu, hal ini tidak berarti Indonesia harus tertimpa bencana terlebih dahulu agar Jokowi bisa mengubah hasil survei yang mengkhawatirkan menjadi kemenangan di penghitungan suara KPU. Yang diperlukan adalah momen untuk mengubah dan membalikkan momentum yang kini sepertinya tengah berpihak di kubu Prabowo-Sandi.

Jika Jokowi tidak bisa menemukan badai pengubah momentum tersebut, maka boleh jadi laju Prabowo-Sandi akan semakin sulit dihentikan. Pada titik ini, Jokowi tak bisa sepenuhnya berharap kisah Obama akan terjadi pula kepadanya.

Pada akhirnya, elektabilitas Jokowi sebagai petahana memang sama sekali tak setara dengan SBY di tahun 2009. Perlu kerja ekstra keras untuk menciptakan badai agar momentum bisa diraih kembali. Jika tidak demikian, maka jangan salahkan jika Prabowo bisa menyalip, entah di meja survei atau di bilik suara. (H33)

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...