Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Menang, Tiongkok Meraja?

Jokowi Menang, Tiongkok Meraja?

Jokowi dan Xi Jinping dalam kegiatan KTT Asia-Afrika pada tahun 2015. (Foto: Antara)

Indonesia disebut-sebut nantinya akan memiliki hubungan yang semakin dekat dengan Tiongkok apabila Joko Widodo (Jokowi) menjabat kembali. Di balik itu, kepentingan-kepentingan antara kedua negara turut menentukan.


PinterPolitik.com

“The harder that I try to do that, the more it backfires on me,” – Eminem, penyanyi rap asal AS

Hasil Pilpres 2019 nantinya akan diumumkan paling lambat pada 22 Mei 2019. Meskipun begitu, paslon nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf Amin digadang-gadang akan keluar sebagai pemenang bila didasarkan pada berbagai hasil hitung cepat dan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika menang, maka masa jabatan kedua Jokowi sebagai presiden Indonesia ini nantinya diprediksi akan diisi kembali dengan berbagai proyek infrastruktur seperti kepresidenan sebelumnya. Segudang proyek infrastruktur tersebut akan dibiayai dari pinjaman dan investasi yang didapatkan dari berbagai negara, terutama Tiongkok.

Komitmen Indonesia terhadap Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt, One Road (OBOR) – pembangunan Jalur Sutera bagi perdagangan – milik Tiongkok juga terlihat konsisten dengan kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan beberapa menteri pada KTT inisiatif tersebut sebulan yang lalu. Sang wapres juga menemui Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam rangkaian acara tersebut.

Sebelum hadir dalam KTT OBOR tersebut, pemerintah juga telah mempersiapkan daftar proyek yang terbuka bagi investasi dari Tiongkok dengan nilai Rp 1.296 triliun. Dari sebanyak 28 proyek dalam daftar yang ditawarkan, empat di antaranya berada di Sumatera Utara, 13 di Kalimantan Utara, dua di Sulawesi Utara, dan dua di Bali. Sisanya tersebar di pulau Jawa dan Kalimantan Tengah (Kalteng), seperti Meikarta dan pembangkit listrik di Kalteng.

Meskipun investasi Tiongkok nantinya akan membantu percepatan pembangunan, kontroversi di baliknya bukan berarti tidak eksis. Pinjaman-pinjaman yang diberikan Tiongkok bagi proyek-proyek infrastruktur yang sejalan dengan OBOR disebut-sebut memiliki dampak merugikan yang tersembunyi.

Isu mengenai perangkap uang Tiongkok misalnya, pernah menghebohkan warganet Indonesia dengan tersebarnya video milik seorang selebriti daring, Nas Daily. Dalam video tersebut, dijelaskan bahwa negara-negara peminjam – seperti Sri Lanka – akan mengalami kesulitan dalam melunasi pinjaman dari Tiongkok yang besar dan akan memberikan porsi infrastruktur pada si negara Panda sebagai gantinya.

Pandangan serupa juga pernah disampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang sempat menunda beberapa proyek OBOR di negaranya. Kini, sang PM telah berhasil menghemat sebagian biaya dengan merenegosiasi ulang perjanjian investasi negara tersebut.

Jika memang pinjaman Tiongkok menimbulkan berbagai polemik dan permasalahan di baliknya, beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Apa sebenarnya kepentingan Tiongkok di balik pinjaman-pinjaman yang diberikan untuk Indonesia? Lalu, mengapa Jokowi terlihat semakin gencar untuk mendorong proyek-proyek dengan investasi dari Tiongkok OBOR di Indonesia?

Ingin Pengaruh

Dengan kebangkitan Tiongkok sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang terpesat, tidak mengherankan apabila negara tersebut kini terkesan “menghamburkan” kekayaannya untuk negara-negara lain. Namun, pemberian pinjaman bagi pembangunan berbagai proyek infrastruktur di Indonesia ini tentunya bukan hanya karena si negara Panda tersebut sedang berbaik hati.

Layaknya orang kaya baru, Tiongkok yang kini memiliki nilai Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua di dunia juga semakin menginginkan banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dimilikinya, seperti pengaruh yang lebih besar dalam perekonomian dan dinamika politik Indonesia. Tampaknya, kepentingan tersebut juga sejalan dengan kepentingan Jokowi yang ingin membangun dan memenuhi kebutuhan infrastruktur Indonesia.

Namun, keuntungan yang diinginkan Tiongkok di balik proyek-proyek OBOR-nya tidak hanya sebatas pada perolehan pengaruh di Indonesia. Menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat dari Universitas Islam Indonesia dan peneliti Dikanaya Tarahita dalam tulisan mereka di South China Morning Post (SCMP), Tiongkok memiliki kepentingan yang lebih besar di luar Indonesia.

Sejalan dengan Rakhmat dan Tarahita, China Power Team milik Center for Strategic and International Studies (CSIS) menjelaskan bahwa pemberian pinjaman oleh Tiongkok dalam inisiatif OBOR-nya dapat memberikan banyak keuntungan bagi negara Panda tersebut di bidang ekonomi dan politik.

Dalam bidang ekonomi misalnya, Tiongkok dapat memperoleh pasar-pasar baru bagi ekspornya, mempromosikan mata uangnya sebagai mata uang internasional, dan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan. Banyaknya kawasan dan negara yang terlibat dalam OBOR – sebagian besar Asia, Afrika, dan Eropa Timur – nantinya juga dapat mengubah orientasi perekonomian dunia yang selama ini banyak dikuasai oleh negara-negara Barat dengan meluasnya pengaruh Tiongkok ini.

Meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok nantinya dapat memperbesar pengaruh negara Bambu tersebut terhadap kebijakan negara-negara lain. Share on X

Indonesia pun tidak lepas dari skema perluasan pengaruh ekonomi Tiongkok ini. Rakhmat dan Tarahita menjelaskan bahwa Indonesia menjadi porsi besar dalam kepentingan ekonomi negara Panda tersebut dengan besarnya berbagai potensi masyarakat negara kepulauan kita, seperti besarnya PDB Indonesia, pertumbuhan kelas menengah yang pesat, dan besarnya populasi kelompok milenial.

Meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok nantinya dapat memperbesar pengaruh negara tersebut terhadap kebijakan negara-negara lain. Akibatnya, seperti yang dijelaskan oleh Nguyen Thi Thuy Hang dalam tulisannya yang berjudul “The Rise of China,” Tiongkok dapat menjadi negara penantang bagi kekuatan geopolitik hegemoni, yaitu Amerika Serikat (AS).

Akibatnya, berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang banyak menyukai pinjaman dari Tiongkok, beberapa negara malah menolak dan mengurangi jumlah investasi Tiongkok di negaranya, terutama negara-negara Barat seperti AS, Australia, dan Kanada.

Rakhmat dan Tarahita menjelaskan bahwa negara-negara tersebut mulai menunjukkan tindakan tegas pada tumbuhnya kekuatan Tiongkok. AS misalnya, semakin gencar meningkatkan ketegangan dalam Perang Dagangnya dengan Tiongkok. Di sisi lain, Kanada memutuskan untuk menangkap Sabrina Meng Wanzhou, petinggi perusahaan teknologi Huawei.

Persaingan geopolitik antara negara-negara Barat dan Tiongkok ini tentu dapat saja berdampak buruk. Berdasarkan Teori Transisi Kekuatan milik A.F.K. Organski, ketidakpuasan negara penantang yang membesar dan kepentingannya yang semakin dihalang-halangi oleh kekuatan dominan akan memperbesar kemungkinan terjadinya konflik.

Jika kemungkinan perang benar-benar akan eksis di tengah-tengah situasi geopolitik yang memanas, Indonesia sendiri bisa jadi semakin merugi dengan lemahnya pertahanan dan minimnya pengaruh Association of South East Asian Nations (ASEAN) dalam stabilitas keamanan kawasan.

Tiongkok Meraja?

Setelah terpilih pada Pilpres 2014, Jokowi mencanangkan doktrin baru yang berfokus pada pembangunan kemaritiman, yaitu Poros Maritim Dunia (PMD). Doktrin tersebut didasarkan pada warisan Indonesia sendiri sebagai negara maritim.

Doktrin milik Jokowi tersebut berfokus pada pembangunan kelautan dari sisi budaya, pertahanan, diplomasi, pelestarian, dan sumber daya alam. Menurut Vibhanshu Shekhar dan Joseph Chinyong Liow dalam tulisan mereka di Brookings Institute, artikulasi visi Jokowi ini merupakan langkah penting bagi Indonesia dalam membangun strategi besar dalam kemaritiman.

Bagi Jokowi, kehadiran Tiongkok yang rela meminjamkan dana dalam banyak proyek ini bagaikan peribahasa “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Visi Jokowi untuk meningkatkan konektivitas dan infrastruktur pun tampaknya sejalan dengan kepentingan OBOR Tiongkok yang juga ingin membangun Jalur Sutera Maritim di wilayah Indonesia.

Di luar kesesuaian antara OBOR dan PMD, Jokowi menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur juga dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Ahli kebijakan publik, Aichiro Suryo Prabowo, dalam tulisannya di New Mandala menjelaskan bahwa, berdasarkan pendapat para ekonom, pembangunan dapat meningkatkan mobilitas, mengurangi biaya logistik, dan mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif.

Meskipun pembangunan berbagai proyek infrastruktur diyakini dapat berdampak baik, beberapa pendapat meragukan kecintaan Jokowi pada upaya pembangunan infrastruktur. Rakhmat dalam tulisannya di Fair Observer menjelaskan bahwa proyek-proyek pembangunan tersebut membuat belanja negara membesar secara signifikan.

Pinjaman dan utang negara juga dinilai telah membengkak oleh berbagai pihak, termasuk oleh kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menjadi lawan Jokowi di Pilpres 2019. Dengan jumlah pinjaman sekitar Rp 4.406 triliun pada Agustus 2018, Rakhmat menilai Jokowi belum mengoptimalkan serapan dari pinjaman tersebut.

Selain itu, Rakhmat juga menilai bahwa dampak ekonomi dari pembangunan infrastruktur juga tidak terlalu besar. Pertumbuhan ekonomi secara substansial juga tidak terpacu oleh kebijakan infrastruktur Jokowi.

Jika memang pembangunan infrastruktur besar-besaran pemerintah tidak membawa dampak yang signifikan dan membuat utang negara membesar, mengapa Jokowi tetap menggencarkan untuk menarik pinjaman dari Tiongkok?

Beberapa waktu lalu, Jokowi sendiri telah membulatkan tekad untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke luar Pulau Jawa dengan motivasi pemerataan ekonomi. Berbagai syarat bagi ibu kota baru juga telah ditentukan, seperti letak geografisnya yang di tengah wilayah Indonesia dan letaknya sebagai kota pelabuhan.

Guna merealisasikannya, Jokowi pun telah melakukan blusukan ke beberapa provinsi di pulau Kalimantan untuk meninjau potensinya sebagai ibu kota baru, seperti Palangka Raya di Kalimantan Tengah dan Bukit Soeharto di Kalimantan Timur.

Uniknya, beberapa proyek yang ditawarkan pemerintah pada Tiongkok juga terletak di pulau Kalimantan. Dari 28 proyek yang ditawarkan, 14 di antaranya akan berada di pulau terbesar tersebut, seperti pembangunan pembangkit listrik di Kalteng.

Mungkin, tawaran tersebut didasarkan pada keinginan Jokowi untuk pindah ibu kota yang memang pernah diwacanakan pada tahun 2017. Namun, jika memang benar seperti itu, keputusan untuk menggunakan pinjaman dana dari Tiongkok bagi pembangunan infrastruktur pendukung ibu kota yang baru bisa jadi kurang bijak.

Katakanlah, jika Indonesia berisiko untuk tidak mampu membayar kembali pinjaman tersebut dengan utang negara yang besar, maka infrastruktur pendukung yang vital bagi ibu kota yang baru bisa saja lepas dari tangan pemerintah bila skenario perangkap uang Tiongkok terjadi.

Pada akhirnya lirik rapper kilat Eminem di awal tulisan ini pun menjadi relevan. Upaya lebih keras dari pemerintah untuk membangun perekonomian yang lebih merata nantinya malah menjadi “senjata makan tuan” bagi pemerintah sendiri. Menarik untuk dinanti kelanjutannya. (A43)

Exit mobile version