HomeNalar PolitikJokowi Memimpin Sampai 2027?

Jokowi Memimpin Sampai 2027?

Disebutkan ada dua skenario yang disiapkan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, yakni tiga periode dan memperpanjang masa jabatan sampai 2027. Terkait yang kedua, pola tersebut telah terjadi di berbagai kasus, khususnya di tengah krisis. Apakah skenario kedua akan berhasil?


PinterPolitik.com

“Will power is to the mind like a strong blind man who carries on his shoulders a lame man who can see.” – Arthur Schopenhauer, filsuf Jerman

Mungkin banyak di luar sana yang sinis terhadap isu presiden tiga periode. “Ini hanyalah isu gorengan,” cetusnya. Namun, bagaimana jika isu ini benar-benar tengah diusahakan? Kemungkinan ini tergambar dalam laporan Tempo yang bertajuk Malu Kucing Ronde Ketiga.

Disebutkan, terdapat orang-orang lingkar Istana yang tengah menjajaki wacana ini. Mereka mendekati berbagai petinggi partai politik (parpol), lembaga survei, hingga pakar hukum. Ada dua skenario yang diketahui. Pertama adalah presiden tiga periode. Kedua adalah memperpanjang masa jabatan Presiden dan DPR selama dua sampai tiga tahun.

Dalam keterangannya, Wakil Ketua MPR Sjarifuddin tampak menegaskan skenario kedua. “Saya dengar itu, tapi baru non-formal. Perpanjangannya bukan lima tahun, tapi dua atau beberapa tahun,” begitu tegasnya.

Pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada 24 Maret dapat dibaca sebagai afirmasi atas laporan Tempo tersebut. “Hari ini Pak Jokowi dikocok berkeinginan tiga periode. Orang yang ngomong itu yang ingin sebetulnya suatu hari tiga periode,” begitu ujar Mega.

Nah, jika benar skenario kedua tengah diusahakan, seberapa besar peluangnya terealisasi?

Momentum Emas

Bagi kebanyakan orang, pandemi Covid-19 adalah mimpi buruk. Pandemi tidak hanya menjadi bencana kesehatan, melainkan juga bencana ekonomi.

Namun, secara politik, pandemi tampaknya adalah kesempatan emas yang mungkin hanya datang sekali. Seperti dalam laporan Tempo, pandemi telah menjadi dalih untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

Pada 20 Maret 2020, Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus telah menegaskan persoalan ini. Tidak seperti kebanyakan orang yang melakukan analisis ekonomi, Harari justru melihat aspek politik dan memprediksi pandemi Covid-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan otoritarianisme.

Poin utama yang diungkapkan Harari adalah hadirnya surveillance state atau negara pengawasan. Tingkat penularan Covid-19 yang tinggi telah membuat berbagai pemerintah dunia meningkatkan pengawasannya untuk menjaga masyarakat mematuhi physical distancing. Teknologi CCTV banyak digunakan untuk kepentingan tersebut.

Tidak hanya dari sisi pemerintah, Harari juga melihat masyarakat menjadi lebih toleran terhadap pengawasan negara di tengah pandemi.

Baca juga :  Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Baca Juga: Jokowi Tiga Periode, Kepentingan Siapa?

Sebelumnya, Harari telah mengkritik mantan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi. Netanyahu yang kalah dalam pemilu justru memanfaatkan momen pandemi untuk menutup Parlemen Israel, memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat.

Harari kemudian menyebut Netanyahu sebagai seorang diktator. Bagaimana mungkin ia menetapkan keadaan darurat padahal tidak memperoleh mandat setelah kalah dalam pemilu.

Pandangan serupa juga dikeluarkan Shaun Walker dalam tulisannya Authoritarian leaders may use Covid-19 crisis to tighten their grip. Mengutip ilmuwan politik Bulgaria, Ivan Krastev, pandemi disebut telah membuat masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi krisis.

Tidak hanya pada kasus pandemi, krisis lainnya seperti perang juga menjadi momentum emas kekuasaan untuk memperpanjang kursi empuknya. Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin Roosevelt adalah salah satu contohnya.

Dengan dalih situasi krisis akibat Perang Dunia II, Roosevelt meruntuhkan fondasi Presiden pertama AS George Washington yang memilih tidak maju untuk periode ketiga. Fondasi selama 141 tahun runtuh. Tidak hanya maju untuk periode ketiga, Roosevelt bahkan kembali maju untuk keempat kalinya.

Kasus Roosevelt kemudian menjadi pembuka amendemen konstitusi AS dan menetapkan masa jabatan presiden maksimal dua periode.

Tidak hanya dari segi politik, situasi krisis akibat pandemi juga menjadi momentum emas pemerintah dalam menerapkan apa yang disebut sebagai hukum represif. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Hukum Responsif menyebutkan hukum represif adalah situasi ketika posisi hukum subordinat terhadap politik. Hukum bekerja untuk memenuhi kepentingan kekuasaan.

Singkatnya, dengan memanfaatkan pandemi Covid-19, mudah saja membuat rasionalisasi bahwa ini adalah situasi krisis, sehingga masa jabatan Presiden dan anggota DPR sebaiknya diperpanjang beberapa tahun.

Seperti pernyataan pakar hukum tata negara Refly Harun, realisasi perpanjangan masa jabatan presiden berada di tangan para elite yang tengah berkuasa.

Bayang-bayang Oligarki?

Pernyataan Refly tersebut menegaskan pendapat Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor yang menyebutkan demokrasi di Indonesia adalah pencampuran dengan oligarki. Mengutip definisi Profesor ilmu politik Northwestern University, Jeffrey A. Winters, oligarki adalah “politik mempertahankan kekayaan” oleh mereka yang memiliki kekayaan material.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Pendapat Firman Noor sebenarnya adalah konsekuensi dari babak baru demokrasi Indonesia yang menerapkan pemilihan langsung. Pasalnya, seperti dalam temuan Edward Aspinall dan Ward Berenschot di buku Democracy for Sale, ongkos politik yang tinggi telah membuat praktik klientelisme menjadi tidak terhindarkan.

Bayangkan saja, untuk maju sebagai calon bupati saja membutuhkan dana minimal Rp 30-50 miliar. Sedangkan Presiden? Menurut berbagai pihak dapat menyentuh angka Rp 7 triliun. Tentu pertanyaannya, berapa banyak kandidat yang memiliki kekuatan kapital sebesar itu?

Kondisi ini membuat para kandidat harus mencari sponsor untuk memenuhi kebutuhan logistik. Di sini peran besar para oligark yang memiliki kekuatan kapital. Fenomena ini berkonsekuensi membuat politik menjadi semacam aktivitas ekonomi yang berkutat pada untung-rugi.

Baca Juga: Plutokrasi, Naif Jokowi Jauhi Pengusaha?

Persoalan ini juga disebutkan dalam laporan Tempo. Iming-iming perpanjangan masa jabatan disebut merupakan tawaran yang menggiurkan karena para anggota DPR tidak perlu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.

Dengan kata lain, sebenarnya mudah menebak siapa yang berada di balik wacana ini. Mereka adalah para oligark yang telah melakukan investasi politik atau mereka yang diuntungkan di bawah pemerintahan Jokowi.

Jika benar demikian, persoalan ini persis seperti tulisan Kishore Mahbubani yang berjudul Can America Escape Plutocracy? ketika menjelaskan fenomena plutokrasi di AS. Mengutip dua ilmuwan politik dari Princeton University, yakni Martin Gilens dan Benjamin I. Page, hasil politik di negeri Paman Sam disebut mencerminkan kepentingan orang kaya, dan bukannya suara mayoritas.

Tulis keduanya, “di Amerika Serikat, temuan kami menunjukkan, mayoritas tidak berkuasa – setidaknya tidak dalam arti kausal untuk benar-benar menentukan hasil kebijakan.”

Mahbubani juga mendefinisikan plutokrasi dengan sebutan peyoratif dari ekonom peraih hadiah Nobel, Joseph Stiglitz. Plutokrasi adalah sistem pemerintahan dari 1 persen masyarakat, untuk 1 persen masyarakat, dan oleh 1 persen masyarakat. Ini adalah pemerintahan yang dijalankan untuk menjaga status quo dari 1 persen orang paling kaya.

Well, seperti dalam tulisan PinterPolitik sebelumnya, Tiga Periode, Mitos Suara Rakyat?, menjawab pertanyaan seberapa besar peluang perpanjangan masa jabatan presiden sebenarnya sangat mudah.

Selama elite hanya melihat suara rakyat sebagai mitos dan menggunakan hukum ortodoks, realisasi wacana ini hanya soal hitungan waktu kapan kesepakatan para elite tercapai. Kita harus terus mengawasi. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...