“Apa yang terkadang tidak disadari oleh pemerintah dan masyarakat adalah kepentingan kolektif – kepentingan internasional – juga merupakan kepentingan nasional.” – Kofi Annan
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]ndonesia dan Amerika Serikat (AS) memiliki keinginan yang sama untuk mempererat hubungan antara kedua negara. Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan Menlu AS Mike Pompeo dibahas sejumlah poin yang bersifat bilateral, kemitraan strategis, perdagangan, berikut isu regional seperti Korea Utara dan Palestina.
Selain pembahasan mengenai kerja sama bilateral, kedatangan mantan Direktur CIA itu membawa misi penting lain ke Jakarta, yakni agar Indonesia mendukungan konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (free and open Indo-Pacific).
Perubahan konsep atau istilah Indo-Pasifik yang sebelumnya sering dikenal dengan Asia-Pasifik akan menimbulkan perubahan baik dalam tataran teori maupun praksis. Pengubahan kata ini mungkin mirip dengan “newspeak” yang ada di novel George Orwell yang berjudul “1984” sebagai gambaran dari kata baru yang digunakan untuk menumbangkan dominasi kata lama.
Sebelumnya, pada tahun 2017 pemerintahan Presiden Donald Trump memasukkan istilah Indo-Pasifik dalam agenda kebijakannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya membendung dominasi dan hegemoni Tiongkok di Kawasan Asia – Pasifik pun Hindia.
Persilangan kepentingan dalam konsep ini membuat banyak pengamat bertanya-tanya apakah kita akan menyaksikan kelahiran kelompok regional baru yang formal. Indo-Pasifiksendiri adalah sebuah kawasan besar di dunia yang menyusuri pantai timur Afrika, termasuk negara-negara Teluk sebelum mencapai daerah sekitar benua dan mencakup sebagian besar kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, dan berakhir di Hawaii.
Menlu Retno juga mendiskusikan pandangan Indonesia tentang Indo-Pasifik dengan Pompeo, serta menegaskan prinsip-prinsip utama inklusivitas, keterbukaan, memprioritaskan kerjasama, kebiasaan berdialog, menghormati hukum internasional, dan sentralitas ASEAN.
Dengan segala benturan kepentingan dan perebutan pengaruh di dalamnya, tentu pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana pemerintahan Jokowi merespon isu ini dan seperti apa ia menerjemahkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional?
Dinamika Indo-Pasifik
Indo-Pasifik adalah kata-kata yang memiliki nuansa politis. Presiden AS Donald Trump, pada November 2017 memberikan julukan ini kepada kawasan yang sebelumnya dikenal dengan Asia-Pasifik.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Perdana Menteri (PM) India, Narendra Modi. Ia menyampaikan keinginannya untuk membangun sebuah kerjasama strategis dengan Jepang. Modi dan PM Jepang, Shinzo Abe ingin mengajak AS dan Australia, untuk bersekutu dalam mengimbangi Tiongkok di kawasan tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh beberapa pengamat yang menyatakan istilah Indo-Pasifik digunakan untuk mengelola atau membendung eksistensi Tiongkok di Kawasan.
Dalam artikelnya berjudul Deepening the US-Indonesian Strategic Partnershipyang dimuat di The Diplomat, Direktur Senior Program Studi Keamanan Asia-Pasifik pada Center for a New American Security, Patrick M Cronin, mengatakan AS membutuhkan peran Indonesia untuk membendung pengaruh Tiongkok di kawasan.
Konsep ini baru saja mulai diterima secara luas, terutama setelah kunjungan Trump ke Asia Tenggara pada November tahun lalu saat hadir di APEC dan East Asia Summit.
Penggunaan istilah tersebut oleh Trump dan Menlu AS saat itu, Rex Tillerson secara berulang kali selama masa kunjungannya di kawasan tersebut, membuat konsep itu kembali dimasukkan ke dalam agenda.
I failed to see any references to PIF or PICs under the recently-announced US 'Indo-Pacific' Strategy. Should we therefore expect Mr Pompeo in Nauru next month to inform PIF Leaders directly Pacific's share of the US$113m initiative?
— Kaliopate Tavola (@KaliopateTavola) August 1, 2018
Menulis di tahun 2013, Rory Medcalf dari National Security College Australia mengatakan bahwa istilah Indo-Pasifik adalah tentang “melemahkan profil Tiongkok, atau mengikis dampak Tiongkok di laut yang lebih besar, dalam konteks regional yang lebih luas.”
Secara geopolitik, munculnya konsepsi Indo-Pasifik adalah ekses dari pola global yang sering disebut sebagai creative destructionatau ‘terobosan yang merusak’ sebagai akibat menurunnya hegemoni skema One Government One System (OGOS) yang dikembangkan oleh Barat, dan makin menghegemoninya skema One Belt One Road (OBOR) yang dikembangkan oleh Tiongkok.
Munculnya konsepsi Indo-Pasifik membuat adanya pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik, serta pergantian power concept dalam geopolitik dari yang semula mengedepankan militer, berubah menjadi ekonomi sebagai kekuatan yang ada di depan.
Hal ini menimbulkan penafsiran jika ke depan tidak akan lagi dijumpai peperangan militer secara terbuka, tetapi lebih ke perang dagang sebagaimana yang dinyatakan oleh Trump. Dengan kata lain, Indo-Pasifik yang dipersiapkan oleh Trump bersama Sinzo Abe dan Modi sebagai ujung tombak ialah sinyal atas peperangan asimetris/nirmiliter antara Tiongkok versus AS.
Jokowi dan Pendekatan Building Block
Pada KTT ASEAN di India, Jokowi meletakkan visi untuk Indonesia yang berkontribusi pada Indo-Pasifik yang ‘stabil, damai dan sejahtera.’ Jokowi mengatakan bahwa Indonesia menginginkan ‘arsitektur regional Indo-Pasifik’ berdasarkan pada prinsip keterbukaan, transparansi dan inklusi, serta dibangun melalui ‘kebiasaan dialog’ dan ‘penghormatan terhadap hukum internasional’ dengan menggunakan pendekatan ‘building block.’
Menurut Evan A. Laksmana, ‘building block‘ (blok bangunan) tersebut akan mencakup kerjasama bilateral dan plurilateral antar negara-negara regional, penguatan Indian Ocean Rim Association (IORA) untuk menciptakan sentra pertumbuhan baru di Samudra Hindia, penciptaan keterkaitan antara kedua komponen ini melalui mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN.
Indonesia memiliki tiga acuan yang digunakan untuk melakukan pendekatan.
Pertama, Indonesia tidak menentang gagasan lain terkait Indo-Pasifik, seperti ‘Indo Pasifik yang bebas dan terbuka’ yang disukai oleh Jepang dan AS. Juga tidak menentang pengaturan Indo-Pasifik bilateral atau ‘minilateral’ yang ada, seperti dialog keamanan segiempat yang melibatkan AS, Jepang, India dan Australia.
Kedua, Indonesia berusaha untuk mempromosikan ‘cara ASEAN’ atau ASEAN Way (termasuk ‘kebiasaan dialog’) di Indo-Pasifik melalui mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN. Bagi Indonesia, arsitektur regional Indo-Pasifik tidak dapat dan tidak boleh merusak sentralitas ASEAN dalam urusan regional.
Ketiga, Indonesia terus mengandalkan forum multilateral yang ada, alih-alih forum bilateral atau yang minilateral untuk Indo-Pasifik yang lebih besar. Kita dapat melihat ini dalam promosi IORA– bersamaan dengan mekanisme yang dipimpin oleh ASEAN – karena peran Samudra Hindia makin penting.
Ketiga sifat ini akan terus membentuk pendekatan Indonesia terhadap Indo-Pasifik. Masih harus dilihat apakah langkah-langkah praktis baru akan muncul atau apakah konstruksi Indo-Pasifik dalam perspektif Indonesia akan efektif diadopsi oleh wilayah lainnya.
Meskipun gagasan ini belum berubah menjadi kebijakan praktis, penting bagi Indonesia untuk secara terbuka mengusulkan visi Indo-Pasifik-nya sendiri, terutama karena dokumen perencanaan strategis Kementerian Luar Negeri tahun 2015-2019 hanya sekedar menyebutkan kata Indo-Pasifik tanpa ada penjelasan yang detil tentang hal tersebut. Mungkin saat ini Indonesia merasa terdorong untuk menanggapi adopsi AS terhadap konsep Indo-Pasifik dan keuntungan yang diberikan selama perjalanan Presiden Donald Trump ke Asia pada bulan November tahun lalu.
Sampai batas tertentu, Indo-Pasifik versi Jokowi tidak berangkat secara mendasar dari ‘perjanjian Indo-Pasifik’ yang diajukan oleh pemerintah periode sebelumnya. Sementara gagasan rezim sebelumnya, melalui Menlu Marty Natalegawa, didasarkan pada apa yang disebutnya ‘keseimbangan dinamis’ (dynamic equilibrium). Ia juga terlibat dalam memperluas mekanisme dan instrumen ASEAN untuk memasukkan Indo-Pasifik. Marty membuat sebuah pendekatan Indo-Pasifik di ASEAN, ide itu adalah perluasan dari Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang berkomitmen untuk tidak menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan sengketa.
Anggaran Kementerian Luar Negeri belum banyak meningkat selama dua dekade terakhir (rata-rata mencapai Rp 4 triliun antara tahun 1999 dan 2014), dan sebagian besar anggaran pertahanan (sekitar Rp 80 triliun sampai Rp 115 triliun dalam beberapa tahun terakhir) dialokasikan untuk kesejahteraan personil. Hal ini menandakan masih kurangnya usaha Indonesia dalam mengalokasikan dana untuk kepentingan multilateral dalam konteks politik internasional. Sejauh ini semangat multilateral Indonesia berasal dari kesuksesan historis institusi ASEAN dan PBB serta sebagian dari keyakinannya akan kemampuan multilateralisme “multiplier effect” untuk mengkompensasi kurangnya sumber daya strategis.
Sumber daya ekonomi Indonesia diarahkan untuk menghasilkan pertumbuhan domestik. Oleh karena itu, profil regional dan globalnya paling baik disajikan dan diperkuat melalui forum multilateral yang telah diinvestasikan selama ini.
Melihat prinsip-prinsip yang tertuang dalam pendekatan “building block” nampaknya langkah Indonesia akan cukup terjal karena dinamika politik yang berkembang di kawasan ini. Kedekatan antara Indonesia dengan Tiongkok di era pemerintahan Jokowi juga bisa mempersulit kerjasama yang coba dibangun antara AS dan sekutunya tersebut. Tiongkok mungkin tidak akan langsung merasakan pelemahan dirinya di kawasan ini, namun dengan makin kuatnya penggunaan kata Indo-Pasifik menggantikan istilah Asia-Pasifik akan menjadi sinyalemen adanya pergeseran kepentingan dalam tataran geopolitik dan geokonomi.
Jokowi dengan ketiga pendekatan ini – koeksistensi dengan konsep Indo-Pasifik lainnya, sentralitas ASEAN dan bangunan lembaga multilateral – masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah perihal kapasitas dirinya sebagai aktor dominan di Asia Tenggara. Tantangan berikutnya adalah bagaimana ia mengakomodir kepentingan ASEAN yang sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Jokowi perlu membentuk pendekatan Indonesia terhadap Indo-Pasifik yang simultan.
Tentunya akan semakin menarik melihat langkah Jokowi memainkan peran Indonesia di percaturan politik regional dan global. Terutama jika ia memenangi lagi pemilihan presiden di tahun 2019. Masih harus dinantikan apakah langkah-langkah praktis baru akan muncul atau apakah konstruksi Indo-Pasifik yang ditawarkan Indonesia akan efektif atau diadopsi oleh wilayah lainnya. (A37)