Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Melawan Angka-angka

pertumbuhan ekonomi

Presiden Joko Widodo (Foto: Bloomberg)

Pemerintah kerap membanggakan capaian-capaian indikator ekonomi mereka, padahal capaian tersebut belum tentu dirasakan oleh masyarakat.


Pinterpolitik.com

“[dropcap]T[/dropcap]he End of Economics?”,  begitu judul yang digunakan oleh Fareed Zakaria, seorang kolumnis terkemuka dalam tulisannya di laman Foreign Policy. Sebuah judul yang tergolong mengundang rasa penasaran terutama karena ekonomi adalah salah satu hal yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Zakaria menyoroti bagaimana ekonomi telah lama menjadi hegemoni intelektual yang mempengaruhi seluruh agenda kebijakan. Meski begitu, menurutnya, hal itu perlahan mulai bergeser pasca krisis yang terjadi di tahun 2008. Ada kecenderungan bahwa para ahli ekonomi itu terlalu fokus pada angka-angka dan mengabaikan kenyataan.

Umumnya, para ekonom itu berasumsi bahwa manusia adalah aktor yang rasional. Ternyata, asumsi rasionalitas itu berujung pada kesalahpahaman dan prediksi yang buruk.

Merujuk pada hal tersebut, angka-angka dalam capaian ekonomi juga kerap mewarnai narasi milik pemerintah berkuasa di bawah kendali Joko Widodo (Jokowi). Melalui berbagai angka-angka tersebut, pemerintah selalu menyebut bahwa Indonesia dalam keadaan baik-baik saja.

Sekilas, pemerintah saat ini tampak memiliki kemiripan dengan para ekonom tradisional yang berpaku pada angka-angka. Lantas, apakah langkah pemerintahan Jokowi itu benar? Akankah the end of economics yang dikemukakan Zakaria akan berlaku juga di negeri ini?

Tolak Ukur Utama

Angka-angka dalam indikator ekonomi memang kerap menjadi tolak ukur bagi kesuksesan ekonomi dan kebijakan di suatu negara. Meminjam istilah Zakaria di atas, terjadi hegemoni intelektual sehingga indikator ekonomi menjadi tolak ukur utama yang digunakan di seluruh dunia.

Perlu diakui, bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap benar-benar salah. Akan tetapi, krisis demi krisis yang terjadi menggambarkan bahwa angka-angka seperti itu bisa saja salah. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Lorenzo Fioramonti. Ia menyoroti secara khusus terkait angka Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).

Menurut Fioramonti, kenaikan PDB kerap kali tidak sejalan dengan kenaikan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Merujuk pada pendapat tersebut, kenaikan PDB boleh jadi ternyata tidak bisa sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.

Idealnya, ketika pertumbuhan ekonomi naik, maka kebahagiaan dan kepuasan masyarakat juga ikut naik. Akan tetapi, hal tersebut nyatanya tidak selalu terjadi. Fenomena ini digambarkan oleh Richard Easterlin melalui pandangannya dalam Easterlin paradox atau paradoks Easterlin.

Easterlin menggambarkan bahwa seiring waktu, kebahagian masyarakat tidak memiliki tren naik manakala pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan. Ia menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tidak menjadi ukuran dari kebahagian masyarakat.

Penting untuk dilihat bahwa aspek kebahagian dan kepuasan yang dimaksud dalam konteks ini adalah subjective well-being atau kesejahteraan subyektif. Berdasarkan hal tersebut, unsur yang dapat digunakan untuk mengukurnya meliputi kebahagiaan, kepuasan hidup dan tingkat kehidupan.

Salah satu gambaran paling nyata yang digunakan oleh Easterlin adalah ketika ia menyoroti pertumbuhan ekonomi yang dinikmati oleh Tiongkok. Selama dua dekade, angka PDB di negara tersebut mengalami kenaikan yang cukup drastis, akan tetapi kepuasan hidup masyarakat nyatanya tidak ikut terangkat.

Baik Fioramonti maupun Easterlin tampak hanya menyoroti perkara pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan PDB saja. Akan tetapi, jika melihat banyak fenomena yang ada, sebenarnya angka-angka lain terkait indikator ekonomi makro bisa saja tidak memiliki pengaruh kepada kesejahteraan subyektif masyarakat.

Mengumbar Angka-angka

Perdebatan tentang apakah kondisi ekonomi lebih baik atau tidak memang lazim terjadi, apalagi di musim Pemilu seperti saat ini. Pemerintah berkuasa tentu akan mengklaim semuanya baik-baik saja. Sementara itu, kandidat penantang jelas akan menganggap bahwa ekonomi tidak dalam keadaan baik.

Pemerintah selalu mengedepankan data-data dan statistik berbentuk angka untuk menggambarkan kondisi riil ekonomi terkini. Capaian-capaian pemerintah selama beberapa tahun terakhir dianggap sebagai cara ampuh untuk menjawab apakah kondisi saat ini tengah baik-baik saja atau tidak.

Para menteri dan pejabat di pemerintahan saat ini misalnya kerap membanggakan angka pertumbuhan ekonomi – melalui skala PDB – yang stabil di level 5 persen. Hal itu kemudian ditambahkan dengan angka-angka lain seperti tingkat kemiskinan yang turun 9,82 persen. Untuk menyebut angka kesenjangan menurun, pemerintah menggunakan indeks gini rasio yang berada di level 0,389.

Memang, perlu diakui bahwa angka-angka tersebut boleh jadi bukan sepenuhnya tipu daya pemerintah kepada masyarakat. Akan tetapi, banyak yang secara pribadi merasa bahwa kondisi ekonomi tidak sepenuhnya berjalan mulus, setidaknya bagi mereka.

Bisa saja, unsur subjective well-being seperti yang digambarkan oleh Easterlin tidak mengalami kenaikan ketika pertumbuhan ekonomi meningkat. Oleh karena itu, angka-angka indikator ekonomi yang diumbar oleh pemerintah ternyata tidak diterjemahkan ke dalam peningkatan kebahagiaan dan kepuasan masyarakat.

Pada titik ini, terlihat bahwa ada jarak antara angka-angka yang dikemukakan oleh pemerintah dengan kondisi riil dari subjective well-being masyarakat. Hal ini bisa saja menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan capaian-capaian lainnya tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.

Dalam konteks tersebut, unsur ketidakrasionalan yang diungkapkan oleh Zakaria tampak muncul pada sebagian elemen masyarakat. Memang, unsur ini tidak bisa dihitung atau diukur secara kuantitatif dan dalam kadar tertentu dapat dianggap sebagai sesuatu yang subyektif. Akan tetapi, bukan berarti unsur tidak rasional ini bisa dipandang sebagai sesuatu yang remeh.

Unsur Tidak Rasional

Sebenarnya, perdebatan antara angka dan unsur tidak rasional ini boleh jadi tidak hanya memiliki pengaruh dalam urusan krisis ekonomi saja. Dalam kadar tertentu, pertentangan antara dua unsur ini bisa juga memiliki kaitan dengan perkara politik.

Jika dikaitkan dengan konteks Pemilu, terus-menerus menjual angka kepada masyarakat boleh jadi bukan sebuah strategi yang 100 persen sempurna untuk merebut hati para pemilih. Unsur tidak rasional yang dirasakan masing-masing individu bisa saja berbeda dengan kenyataan dalam angka-angka statistik.

Pada titik ini, Jokowi sebagai kandidat petahana bisa saja berbangga diri dengan berbagai capaian-capaian pemerintahannya dari segi statistik. Akan tetapi, belum tentu masyarakat benar-benar merasa ada keterkaitan antara capaian tersebut dengan hal yang mereka alami sehari-hari.

Kampanye tim pemenangan Jokowi yang mengunggulkan angka-angka capaian ekonomi pemerintah boleh jadi tidak sepenuhnya berdampak secara langsung pada kebahagiaan atau kepuasan hidup yang tergolong ke dalam subjective well-being.

Meski secara indikator ekonomi menggembirakan, secara subyektif masyarakat bisa saja tidak merasakan ada manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan angka-angka lain yang diumbar oleh tim kampanye Jokowi.

Sebagai kandidat petahana, Jokowi idealnya bisa melihat bahwa ada unsur tidak rasional yang bisa disentuh. Dalam konteks ini, kubu penantangnya justru menyoroti unsur tidak rasional ini dalam setiap kampanyenya. Cawapres nomor  urut 02 Sandiaga Uno misalnya, kerap mempertentangkan capaian angka pemerintah dengan kondisi ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.

Sandiaga kerap menyebut bahwa dalam hasil interaksinya dengan masyarakat, terdapat banyak ketidakpuasan di bidang ekonomi, mulai dari harga barang atau kesempatan kerja. Memang, jika dibandingkan dengan statistik milik pemerintah, hal ini tergolong kurang saintifik. Meski begitu, unsur tidak rasional boleh jadi lebih dominan dalam masyarakat sehingga mereka tidak merasakan berbagai data capaian ekonomi yang digunakan tim kampanye Jokowi.

Masyarakat tak merasakan langsung dampak pertumbuhan ekonomi sehingga mati-matian kampanye dengan angka ini berpotensi sia-sia. Share on X

Pada titik ini, Jokowi dan tim pemenangannya bisa saja tidak perlu terlalu berbangga dengan indikator-indikator ekonomi yang stabil atau meningkat. Idealnya, mereka harus mengetahui bahwa ada perkara tidak rasional berupa subjective well-being yang ada di dalam masyarakat. Padahal, angka yang dipaparkan pemerintah belum tentu dirasakan oleh masyarakat.

Angka bisa saja menipu, apalagi jika unsur kebahagiaan lebih dominan. Jika sudah begitu, kampanye yang fokus pada capaian indikator ekonomi bisa saja membuat Jokowi dan tim kampanyenya terjebak dan mengalami kesulitan di hari pencoblosan nanti. (H33)

Exit mobile version