Pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi polemik kasus hukum terbaru di Indonesia. Pasalnya, vonis 13 tahun penjara yang diputus oleh pengadilan digugurkan oleh para hakim Mahkamah Agung (MA). Banyak pihak menduga kasus ini punya nuansa politis di belakangnya, pun dalam konteks dampak yang ditimbulkan jika Syafruddin dipenjara. Pasalnya, kasus BLBI yang menjerat Syafruddin dianggap bukan korupsi biasa dan disebut-sebut sebagai salah satu political corruption. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“Corrupt politicians make the other ten percent look bad.”
:: Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS ::
Kasasi yang diajukan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung telah dikabulkan oleh MA. Putusan ini mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah dalam gugatan di tingkat kasasi.
Sebelum-sebelumnya, MA umumnya menolak kasasi yang diajukan para koruptor, utamanya kasus yang diusut oleh KPK. Bahkan yang paling sering terjadi adalah lembaga tersebut memperberat hukuman yang dijatuhkan.
Hal yang lebih aneh lagi adalah karena putusan yang dibatalkan oleh MA adalah putusan bersalah yang telah ditetapkan oleh pengadilan, di mana tak tanggung-tanggung, vonis yang diberikan kepada Syafruddin adalah 13 tahun penjara.
Syafruddin sebelumnya memang diputuskan bersalah dan memperkaya pihak-pihak tertentu ketika menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada beberapa bank dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pembebasan ini juga mengakhiri rekor 100 percent conviction atau 100 persen pencapaian KPK dalam kasus-kasus korupsi yang diusutnya. Sebelum-sebelumnya lembaga antirasuah itu selalu berhasil membuktikan tuduhan korupsi yang diusutnya sampai di tingkat tertinggi, dalam hal ini MA.
Tak heran banyak yang menilai aneh putusan tersebut. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif misalnya, menyorot perbedaan pendapat (dissenting opinion) majelis hakim yang membuat putusan tersebut menjadi aneh dan ajaib.
Seperti diberitakan, ketua majelis hakim Salman Luthan sepakat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahwa Syafruddin terbukti bersalah dalam memperkaya pihak tertentu lewat kebijakannya menerbitkan SKL.
Namun, hakim lain memberikan pendapat berbeda. Hakim Syamsul Rakan Chaniago misalnya, memandang perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata, sedangkan hakim Mohamad Askin memandangnya sebagai perbuatan hukum administrasi.
Akibatnya, muncul tudingan bahwa kasus hukum ini punya dimensi yang jauh lebih kompleks di belakangnya. Beberapa kalangan memang menilai bahwa kasus mega korupsi ini bisa merembet ke banyak pihak jika Syafruddin “digali” terus oleh penegak hukum, terutama oleh KPK. Artinya, menyatakannya “tidak bersalah” dianggap sebagai “solusi” untuk mencegah dampak hukum yang lebih luas.
Hal ini salah satunya disampaikan oleh Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. Ia mengaku terkejut dengan putusan MA tersebut. Bahkan, Boyamin menduga adanya intervensi hukum yang ada di balik kasus ini.
Menurutnya, jika Syafruddin divonis bersalah dan dipenjara, maka dampaknya akan juga terasa untuk bank-bank lain yang mendapatkan “keuntungan” dari SKL yang diterbitkan oleh BPPN kala itu. Seperti yang diketahui oleh publik, sejauh ini KPK telah menetapkan mantan pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim sebagai tersangka dalam kasus ini.
Konteks politiknya semakin kuat jika melihat fakta bahwa SKL yang dikeluarkan oleh BPPN tidak berdiri sendiri dan merupakan produk yang berujung dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang memberikan kepastian hukum pada para obligor BLBI. Inpres tersebut kala itu diterbitkan oleh Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah akankah kasus BLBI tetap terus menggantung dan tidak akan pernah ada ujungnya?
BLBI, Political Corruption
Kasus BLBI memang bukan korupsi yang kecil. Kasus ini berawal ketika Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1998 yang berisi pemberian pinjaman uang kepada bank-bank swasta.
Kala itu, krisis ekonomi memang sedang terjadi di Asia. International Monetary Fund (IMF) yang membantu Indonesia kemudian mengeluarkan rekomendasi yang meminta pemerintah menutup 16 bank swasta yang dianggap bermasalah.
Aksi tersebut berdampak besar. Karena merasa nasib uangnya tidak aman, nasabah di hampir semua bank menarik uang dalam jumlah besar-besaran, aksi yang disebut rush of money. Kondisi ini menyebabkan bank-bank swasta mengalami krisis likuiditas.
Soeharto kemudian mengucurkan dana sebesar Rp 144, 53 triliun untuk 48 bank swasta yang kala itu mengalami kesulitan likuiditas. Namun, yang terjadi adalah banyak dari pengusaha perbankan itu tidak mampu mengembalikan pinjaman, dan tidak sedikit dari dana tersebut dibawa kabur oleh para pengusaha bank yang membiarkan banknya collapse.
Kasus ini memasuki babak baru saat kekuasaan berpindah ke Megawati Soekarnoputri dengan terbitnya Inpres nomor 8 tahun 2002 tentang Jaminan Kepastian Hukum bagi Obligor BLBI. Namun, Inpres megawati ini berdampak pada lahirnya release and discharge termasuk bagi mereka yang belum melunasi utang-utangnya.
Hal ini ditandai dengan terbitnya SKL yang kala itu dikeluarkan oleh BPPN – dengan Syafruddin sebagai kepalanya – untuk beberapa obligor yang sebenarnya belum melunasi utangnya. Kejaksaaan Agung bahkan sempat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada sejumlah obligor, misalnya kepada Sjamsul Nursalim pada tahun 2004.
Salah satu resolusi KPK tahun 2018 adalah mengusut tuntas kasus korupsi BLBI. Mungkinkah pengungkapan kasus ini menyeret hingga Presiden Megawati? pic.twitter.com/p8zt7YYtRJ
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) January 4, 2018
Kasus BLBI hingga saat ini memang belum terselesaikan, termasuk belum mampu menjerat pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari bantuan likuiditas tersebut. Dari Rp 144, 53 triliun dana yang dikucurkan, sekitar Rp 138,4 triliun di antaranya tidak dikembalikan.
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli menyebut negara juga masih harus membayar bunga BLBI yang jumlahnya mencapai Rp 60 triliun per tahun.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) juga menyebut kerugian negara dalam kasus BLBI bisa mencapai Rp 2.000 triliun jika dihitung dengan tambahan nilai guna dan nilai tambah aset. Bahkan pada tahun 2033, nilainya bisa mencapai Rp 5.000 triliun.
Laporan dari Fitra yang terbit pada tahun 2015 juga menyebutkan 5 obligor teratas yang belum sepenuhnya menyelesaikan kewajiban pembayarannya. Di antaranya bahkan ada bank besar seperti BCA dengan obligor Salim Group yang disebut 63 persen utangnya dari total Rp 52,7 triliun pinjaman belum dikembalikan.
Kemudian ada Sjamsul Nursalim di BDNI yang belum membayar 82 persen dari total pinjaman sebesar Rp 28,4 triliun.
Lalu ada BUN dengan obligor M. Hasan yang 72 persen dari total utang sebesar Rp 6 triliun belum dikembalikan, Bank Surya milik Sudwikatmo yang belum mengembalikan 62 persen dari total Rp 1,8 triliun pinjamannya, serta Bank RSI dengan obligor Ibrahim Risjad yang belum mengembalikan 44 persen dari total Rp 664 miliar pinjaman.
Bahkan, dari total 32 nama obligor BLBI, besar kemungkinan ada lagi yang bisa ikut terjerat jika ditelusuri satu per satu pinjamannya.
Kalau ditelusuri, Syafruddin memang bertanggung jawab menerbitkan SKL BLBI. Namun, dalam kapasitasnya sebagai Kepala BPPN, posisi Syafruddin tidak berdiri sendiri.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie pernah menyebutkan bahwa kebijakan penerbitan SKL diketahui oleh semua pejabat di sektor ekonomi. Bahkan, sangat mungkin hal ini juga diketahui dan disetujui oleh presiden yang saat itu menjabat, yaitu Megawati Soekarnoputri.
Deal Politik?
Mega korupsi BLBI merupakan contoh kasus yang berhubungan dengan proses pengambilan kebijakan (decision making). Oleh karenanya, kasus ini sering disebut sebagai political corruption.
Inge Amundsen dalam tulisannya untuk Chr. Michelsen Institute, Norwegia menyebut kasus korupsi – terutama political corruption – selalu berhubungan dengan orang-orang yang berada di pucuk kekuasaan dan bertanggungjawab dalam pengambilan kebijakan tertentu.
Dalam kasus SKL BLBI, memang Inpres nomor 8 tahun 2002 yang diterbitkan Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai jalan masuk terjadinya pelanggaran hukum dan lolosnya para obligor.
Akibatnya, pengungkapan kasus ini berpotensi menjerat banyak pihak, termasuk Mega, sekalipun KPK belum menyebutkan apa peran putri Soekarno itu dalam kasus ini.
Konteksnya menjadi lebih rumit lagi karena kasus-kasus korupsi seperti BLBI dan Bank Century – terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – oleh beberapa pihak dianggap dijadikan oleh penguasa sebagai alat penekan.
Memang sulit untuk membuktikan tuduhan tersebut. Namun, jika melihat momen pembebasan Syafruddin yang berdekatan dengan penggodokan menteri yang kini tengah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), maka tak heran jika banyak pihak yang mengait-ngaitkannya dengan hal tersebut.
Apalagi, Megawati menjadi sosok sentral dalam konteks bagi-bagi jatah kekuasaan ini, mengingat PDIP adalah partai pemenang Pemilu 2019 dan pengusung utama Jokowi.
Spekulasi-spekulasi liar tersebut memang tak terhindarkan, apalagi jika melihat pernyataan Megawati yang menyebutkan bahwa dirinya telah menyerahkan sepenuhnya keputusan jatah menteri kepada Jokowi.
Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, bebasnya Syafruddin adalah pukulan telak untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, hal ini menggambarkan masih buruknya kualitas pemerintahan di negara ini, hal yang salah satunya disebutkan oleh Henry Kissinger di awal tulisan ini. (S13)