Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Masih Terjebak Sektarianisme?

Presiden Joko Widodo (Foto: JP/Wienda Parwitasari)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti agar TNI-Polri beserta istri-istrinya mewaspadai perbincangan “radikal” dalam grup WhatsApp. Ia bahkan mengingatkan agar TNI-Polri jangan sampai mengundang penceramah radikal. Narasi tentang Islam radikal memang kerap digulirkan pemerintah beberapa waktu ini, mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Beberapa waktu yang lalu, ketika memberikan sambutan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan yang menarik. Ia mengingatkan kalangan TNI-Polri, beserta istri-istrinya untuk tidak asal mengundang penceramah agama atas nama demokrasi. 

Hal ini perlu ditegaskan karena saat ini terdapat penceramah yang terpapar paham radikalisme. Bersamaan dengan itu, Jokowi juga menyoroti sejumlah perbincangan di grup WhatsApp TNI-Polri yang menurutnya saat ini perlu lebih didisiplinkan.  

Mantan Wali Kota Solo tersebut bahkan mewanti-wanti agar TNI-Polri dapat lebih mewaspadai obrolan di grup-grup WhatsApp mereka, terutama perbincangan mengenai undangan penceramah yang radikal dan ketidaksukaan atas sejumlah program pemerintah. 

Ucapan Jokowi tersebut tentu mendapat dukungan dari kalangan TNI. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Dudung Abdurachman mengatakan pesan khusus yang disampaikan Jokowi soal penceramah radikal menjadi salah satu poin yang akan dibahas dalam Rapim TNI AD Tahun 2022.  

Menurutnya, hal tersebut perlu didalami agar radikalisme tidak sampai masuk ke lingkungan keluarga prajurit TNI AD, sehingga ke depannya, pihaknya tidak mengundang penceramah yang rupanya sudah terpapar radikalisme. 

Sebagai lembaga negara yang berurusan langsung dengan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), juga ikut menanggapi pernyataan Jokowi. Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa yang disampaikan Jokowi adalah sebuah peringatan kuat, bahwa “virus radikalisme” sudah menjadi kewaspadaan nasional dan bisa memapar siapa saja. 

Beberapa pihak kemudian merespons narasi penceramah radikal ini. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI), Amirsyah Tambunan mempertanyakan penceramah radikal yang disinggung Jokowi. Ia berharap, ada penjelasan dan klarifikasi yang lengkap dari TNI-Polri tentang apa sebenarnya radikalisme yang menjadi ancaman, agar isu ini tidak menjadi narasi yang simpang siur. 

Kritik juga muncul dari kader Nahdlatul Ulama (NU), Umar Hasibuan atau Gus Umar. Ia ikut mempertanyakan, apa sebenarnya ukuran “radikal” dalam seorang penceramah? Umar pun menyinggung soal KSAD Dudung yang semakin hari tampak semakin vokal dalam membicarakan agama dan radikalisme. 

Dari sini kemudian muncul pertanyaan, mengapa radikalisme dalam Islam selalu dipermasalahkan? 

Sejatinya Permasalahan Politik Sektarianisme? 

Semenjak serangan teror pada gedung kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat (AS), 9 September 2001 lalu, stigma Islam radikal yang negatif marak menyebar ke seluruh dunia. Banyak pihak kemudian menyamakan aksi-aksi teror yang terjadi adalah sebagai representasi dari ide-ide radikal dalam agama Islam. 

Padahal, aksi terorisme justru banyak dilakukan kelompok non-Islam. Pandangan itulah yang disampaikan oleh pengamat terorisme senior dari Universitas Oslo, Tore Bjørgo. Dalam bukunya yang berjudul Root Causes of Terrorism, Bjørgo mengambil kesimpulan dari sejumlah penelitian yang dilakukan oleh pengamat terorisme dari seluruh dunia, bahwa terorisme tidak pernah disebabkan oleh pandangan dalam agama Islam.  

Lebih lanjutnya, Bjørgo menegaskan bahwa mayoritas bom aksi bunuh diri justru berasal dari individu dan kelompok sekular yang ekstrem. Bahkan tidak sedikit juga berasal dari kelompok yang mengatas namakan agama-agama non-Islam.  

Lalu bagaimana tentang ide-ide radikal dalam Islam itu sendiri? Bukankah radikalisme pada intinya adalah sesuatu yang berbahaya?  

Pengamat politik ternama, Rocky Gerung, yang baru-baru ini dijadikan saksi ahli untuk meringankan dugaan tindak pidana terorisme pada terdakwa bernama Munarman, menilai bahwa radikalisme kini telah menjadi istilah yang bermakna negatif dan melenceng dari pemahaman yang sebenarnya.  

Istilah radikalisme, menurut Rocky, selalu menjadi santapan gurih bagi headline berita, dan mirisnya, narasi yang muncul telah membuat banyak orang Indonesia takut menjadi radikal. Padahal, ia menilai radikalisme sesungguhnya berfungsi untuk mengaktifkan dialektika yang sifatnya membangun, dengan berdiskusi tentang arti dari nilai-nilai fundamental suatu ajaran.  

Terkait pernyataan Jokowi yang menyinggung tentang paham radikal dalam grup WhatsApp, Rocky mengatakan bahwa sejatinya WhatsApp adalah ibarat kampus, di mana platform tersebut telah menjadi ruang diskusi untuk berbagai macam topik. Lebih jauhnya, ketika orang-orang mendiskusikan soal khilafah di ruang WhatsApp, Rocky menilai itu sesungguhnya bukan menjadi sebuah permasalahan, dan bahkan perlu didorong. 

Karena bagi Rocky, pengetahuan tentang khilafah, yang umumnya mendapat konotasi negatif dan sering dikaitkan sebagai ide radikal berbahaya, justru harus dipelajari agar bisa kemudian bisa dibandingkan dengan sistem demokrasi. 

Oleh karena itu, sangat disayangkan bila radikalisme hanya digunakan sebagai alat untuk menghalangi munculnya diskusi tentang hal-hal yang perlu dikritisi dari suatu pemerintahan. 

Lantas, jika paham radikal dalam agama Islam tidak bisa diartikan sebagai penyebab aksi terorisme, bahkan justru bisa digunakan untuk membangun diskusi kritis, mengapa kemudian stigmatisasi negatif pada Islam radikal selalu muncul? 

Alexander R. Arifianto dalam tulisannya From Ideological to Political Sectarianism: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, and the State in Indonesia, menilai bahwa segala permasalahan yang berkaitan dengan kelompok berbasis agama di Indonesia, sejatinya bisa ditarik ke persoalan tentang politik sektarianisme. Sektarianisme adalah konflik yang muncul akibat perbedaan pandangan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik. 

Alexander menyebut, sektarianisme menjadi permasalahan yang mengakar dalam politik Indonesia karena ia sangat efektif dipolitisasi. Tentunya, ini karena perbincangan mengenai agama adalah suatu hal yang dapat dengan mudahnya beresonansi dalam benak pikiran mayoritas masyarakat Indonesia. Terlebih lagi dengan fakta bahwa negara kita ini adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak.  

Akar permasalahannya, menurut Alexander, salah satunya adalah karena kapasitas negara yang belum mumpuni, seperti masih lemahnya landasan hukum dalam berbagai sektor. Sementara itu, perdebatan ideologis menurutnya tidak pernah menjadi inti perseteruan antara kelompok-kelompok berbasis Islam di Indonesia 

Dengan demikian, bisa disimpulkan secara spekulatif bahwa narasi tentang radikalisme beragama di Indonesia sangat kental dengan motif politik. Karena kata radikalisme saat ini sudah menjadi kata yang sangat kuat, layaknya label “PKI” yang sering digunakan untuk mengantagoniskan seseorang atau suatu kelompok, tidak heran bila istilah radikalisme juga akan digunakan untuk tujuan yang sama. 

Di sisi lain, kita pun tidak bisa menafikan bahwa ekstremisme dan terorisme adalah masalah yang perlu diselesaikan. Tindak kekerasan seperti yang dilakukan oleh KKB Papua, misalnya, menjadi bukti bahwa pemerintah masih punya pekerjaan rumah yang besar dalam menumpas aksi-aksi teror dan kekerasan.  

Ini kemudian mengacu pada masalah selanjutnya, apakah Indonesia memang sudah memiliki perangkat yang tepat dalam mengidentifikasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme? 

Kekaburan Payung Hukum 

Jika pemerintah benar-benar ingin memberantas radikalisme yang mengarah ke terorisme, maka masalah besar yang sangat penting untuk dibenahi terlebih dahulu adalah payung hukum dalam mengatasi terorisme, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (UU Terorisme).  

Kalau kita lihat UU tersebut, maka kita akan menyadari bahwa definisi tentang radikalisme yang dianggap berpotensi menjadi aksi terorisme sesungguhnya tidak ada. Hal ini kemudian menjadi perhatian utama sejumlah pengamat terorisme. Guru Besar Fakultas Hukum dari Universitas Diponegoro, Suteki, pernah mengatakan bahwa konsep radikalisme pada UU Terorisme bersifat lentur dan tidak jelas. 

Suteki pun menilai, hanya karena berbeda pendapat dengan mayoritas orang maupun pemerintah, tak bisa kemudian seseorang bisa diberi label ekstremis, radikalis, maupun teroris.  

Selain rawan digunakan untuk tujuan politik, hal lain yang perlu kita perhatikan juga dari absennya definisi radikalisme dalam UU Terorisme adalah, selama ini tidak ada payung hukum yang dapat melindungi seseorang ataupun suatu lembaga dalam memberi label radikal. Karena radikal telah menjadi alat antagonisme yang sangat kuat, ini tentu berpotensi menjadi masalah bila pelabelan tersebut nantinya dilakukan tanpa alasan yang kokoh. 

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, dikutip dari artikel Tirto berjudul Pembahasan RUU Terorisme Jadi Panggung Politik Musiman, juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap UU Terorisme.  

Menurut Lucius, UU ini bisa menjadi alat bagi TNI untuk meminta kewenangan lebih dalam penegakan hukum. Ia pun menilai, TNI bisa menjadi alat perpanjangan tangan pemerintah untuk memberantas oposisi-opisisi politiknya. 

Oleh karena itu, penting untuk kita tekankan bahwa perombakan UU Terorisme adalah kunci yang krusial dalam memberantas masalah ekstremisme dan terorisme di Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendefinisikan secara jelas radikalisme seperti apa yang berpotensi merusak bangsa, dan mana yang sesungguhnya dapat membantu iklim demokrasi di Indonesia. (D74)  

Exit mobile version