Tahun 2017 bagi Jokowi tidak jauh berbeda dengan 2014 sampai 2016. Konservatisme masih merajai wacana publik dan merongrong pemerintahannya.
PinterPolitik.com
Kampanye anti-LGBT yang begitu ramai di media sosial dan media mainstream belakangan ini, diduga kuat diinisiasi oleh kalangan konservatif. Mereka adalah orang-orang yang sama yang membuat ramai reuni alumni 212 dan marah-marah membakar foto Trump dalam Aksi Bela Palestina. Bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi), status quo LGBT dan status quo Kabinet Kerja memiliki satu oposisi yang sama, yakni kalangan konservatif. (Baca juga: CELUP, Kampanye Pertahanan Konservatisme)
Bila ditarik-tarik ke belakang, sejak Pemilu 2014, Jokowi memang selalu ditekan oleh kalangan ini. Isu-isu esktrim seperti tudingan keturunan Tionghoa, Kristen, dan keturunan PKI menghujam Jokowi secara membabi buta. Ada kekuatan besar yang tidak ingin Jokowi—yang disebut Anies Baswedan tak punya dosa masa lalu—untuk berkuasa, karena Jokowi mungkin akan membersihkan kekuatan besar tersebut.
Belum lagi, kompatriot Jokowi di ibu kota, Ahok semakin menjadi sasaran empuk kampanye rasis dan intoleran kalangan konservatif. Pilkada DKI 2017 dan kasus penistaan agama kemudian menjadi momentum kalangan konservatif untuk mendemo Ahok, dengan motif terselubung—yang menurut Allan Nairn—untuk juga melengserkan Jokowi.
Sama sekali tidak salah untuk menyebut konservatisme sebagai oposisi Jokowi. Kekuatan nasionalis Jokowi dan kekuatan progresif loyalis Jokowi adalah musuh konservatisme itu.
Lalu, seperti apa gerakan konservatif di Indonesia, dan bagaimana konsolidasi kekuatan mereka selama beroposisi dengan pemerintahan Jokowi?
Apa Itu Konservatisme di Indonesia
Konservatisme menurut Andrew Heywood dalam Political Ideologies (2012), adalah ideologi yang mendukung bertahannya kemapanan tradisi, hierarki, dan otoritas. Bertolak belakang dengan kalangan liberal-progresif, konservatif menolak perubahan-perubahan yang mengganggu tatanan.
Wajar bila kalangan konservatif memiliki motif kuat untuk terus mempertahankan kemapanan politik. Menurut Heywood, orang-orang konservatif adalah orang-orang yang memiliki privilege (hak khusus) dan prosperity (kemakmuran). Hak khusus dan kemakmuran dalam hidup mereka, yang lahir dari sistem politik yang menguntungkan mereka, adalah yang akan mati-matian mereka pertahankan.
Dalam konteks Indonesia, konservatisme memiliki dua bentuk, yakni oligarki (memiliki kemakmuran) dan Islam (memiliki hak khusus). Mari telaah keduanya.
Pertama, oligarki, adalah kelompok persen terkecil dalam masyarakat yang menguasai berpuluh kali lipat kekayaan dari persen terbesar masyarakat. Oligarki adalah minoritas yang memiliki kekuatan politik atas mayoritas oleh karena kekayaannya.
Dalam konteks Indonesia, menurut Jeffrey Winters, oligarki dilahirkan oleh sistem hegemonik yang dijalankan Orde Baru. Soeharto melahirkan oligarki dengan memperkaya keluarganya, orang-orang kepercayaannya, pebisnis pribumi-non pribumi, hingga ABRI. Pasca Soeharto mengundurkan diri dan reformasi politik terjadi, oligarki tetap eksis.
Akan tetapi, oligarki berada di dalam ancaman, karena tidak memiliki akses langsung ke pemerintahan, seperti akses mereka kepada Soeharto pada era Orde Baru. Tuntutan demokrasi yang mensyaratkan penguatan masyarakat sipil juga turut mengancam mereka. Harus ada cara-cara high politics yang dilakukan oligarki untuk dapat mempertahankan kekayaannya dan membersihkan mereka dari ‘dosa-dosa masa lalu’.
Sementara yang kedua, kelompok Islam, adalah kelompok persen terbesar umat beragama di Indonesia. Pada masa Orde Baru, organisasi massa Islam tidak mendapatkan tempat untuk menunjukkan aspirasi politik, terutama pada fase di tahun 1977-1985. Pada tahun-tahun tersebut, konservatisme Islam tidak terbentuk, melainkan reformisme Islam-lah yang ada. Tokoh-tokoh lintas golongan Islam seperti Gus Dur, Buya Ma’rif, dan Cak Nur adalah para pemimpin Islam reformis ini.
Namun, sebagian kelompok Islam yang ditekan oleh Orde Baru berubah menjadi konservatif pada era reformasi. Artikel buatan Greg Fealy berjudul A Conservative Turn yang juga dimuat dalam buku Contemporary Development in Indonesian Islam (2012), melihat bahwa Islam mengambil giliran untuk berkuasa selepas reformasi. Ada kecenderungan kepemimpinan otoritarian dari para pemuka dan kecenderungan memahami Islam secara tekstual-fundamen dari para umat.
Karena Islam kembali berkuasa, maka konservatisme nilai agama dipertahankan, dan reformasi atau progresivitas agama seperti Orde Baru tak lagi diperlukan. Banyak kalangan Islam yang dulunya reformis, seperti diprediksikan oleh Fealy, akan beralih menjadi konservatif. Bentrok Amien Rais beserta pengikutnya dengan PP Muhammadiyah adalah contohnya. Atau, persepsi konservatif terhadap Raam Nais PBNU Ma’ruf Amin, yang telah dibantah oleh pihak PBNU.
Tak hanya di level masyarakat, konservatisme Islam oleh beberapa pihak juga disebut telah masuk ke dalam institusi agama seperti MUI. Ini kemudian yang menjelaskan konservatisme MUI—lembaga yang dipimpin Ma’ruf Amin—yang tercermin belakangan ini.
(Oligarki) Oposisi yang Mengendarai Konservatisme
“Partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang konservatif tadi dan di sebelah sana yang liberal. Ide dasarnya itu.”
-Anis Matta, politisi PKS-
Klaim terang benderang Anis Matta sudah cukup menyederhanakan semuanya. Prabowo adalah konservatif dan Jokowi adalah liberal (atau reformis). Tapi, Anda tidak sampai di sini hanya untuk klaim sederhana.
Indonesianis dari Australia, Marcus Mietzner berusaha menjelaskannya. Dalam gambar besar, ia melihat bahwa elit konservatif sedang bertarung dengan masyarakat sipil. Elit konservatif atau oligarki tidak menginginkan adanya demokrasi yang akan memperlemah kekuatan politik mereka dan memperkuat posisi politik masyarakat sipil. Indikasi kebangkitan elit konservatif sempat tercium dengan maraknya fenomena piye jamanku dan kerinduan akan kemakmuran ekonomi di era Orde Baru.
Fenomena Jokowi kemudian dianggap mendobrak elit konservatif dan memberikan semangatpada kalangan progresif yang masih yakin dengan amanat reformasi. Itu sebabnya, banyak kalangan yang menjadi golput, yang dipimpin oleh Arief Budiman, menjadi ikut sadar politik dan ikut memilih Jokowi pada 2014. Dengan menangnya Jokowi, kalangan reformis sempat bersenang hati karena bisa terus memupuk optimisme.
Namun, Pilkada DKI kemudian membuka fakta bahwa ada massa yang amat besar yang beroposisi dengan Jokowi. Konservatisme begitu nampak dan bangkit dalam aksi-aksi masa berjilid-jilid. Kolaborasi aliran dana dari atas, yang diduga dari para oligarki, dengan fatwa MUI serta gerakan kelompok Islam fundamental, menjadi bukti menguatnya konservatisme itu. Walaupun demikian, persoalan tentang aliran dana dan relasi kedekatannya, tetap harus diteliti secara mendalam dan otentik.
Sehingga, konservatisme oposisi Jokowi adalah dua kalangan: elit konservatif yang kekuasaannya tak mau hilang ditelan demokrasi, serta massa konservatif yang amat keras mengusung fundamentalisme Islam.
Melihat itu semua, cukup logis bila mengaitkan banyaknya isu konservatif seperti anti-LGBT dan anti-aliran kepercayaan, dengan Gerindra dan kawan-kawan. Akankah, kembali lagi, ada Eep Saefulloh yang mengkapitalisasi isu—seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak terhadapnya—dan Prabowo Subianto sebagai oposisi de jure yang diuntungkan dari maraknya gerakan konservatisme ini?
Bagaimana Jokowi Melindungi Dirinya dan Demokrasi?
Profesor Vedi Hadiz memang amat meyakini ada pengaruh elit konservatif di belakang fenomena Islam konservatif ini, dia juga mengamini bila aksi akrobat konservatif ini berdampak buruk bagi demokrasi.
Namun, Hadiz juga melihat reaksi Jokowi sama destruktifnya bagi demokrasi. Jokowi justru menegakkan hiper-nasionalisme, seperti pembentukan Perppu Ormas atau UKP Pancasila, yang bertendensi menyerupai Orde Baru. Karena aksinya ini Jokowi, oleh filsuf Rocky Gerung dituding ketakutan dan gelagapan menghadapi aksi massa Islam.
Tapi, sesungguhnya Jokowi hanya bermain aman. Dia tidak mau terlalu terjun simpatik kepada Islam konservatif dan kehilangan pendukung progresifnya. Tapi dia tidak juga cukup progresif untuk berbicara lantang, misalnya juga tentang LGBT. Jokowi adalah nasionalis, dan karena tekanan politik padanya, ia cenderung menjadi hiper-nasionalis. Benar kata Vedi Hadiz.
Namun, bagaimanapun oposisi berkicau, sepertinya pembelaan Jokowi atas administrasinya juga adalah pembelaan atas demokrasi. Jokowi, layaknya pada 2014 lalu, tetap dipercaya akan melindungi demokrasi sebagai amanat reformasi, dari rongrongan konservatisme. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R17)