Gelombang masalah terus mendera pemerintahan Jokowi di periode kedua. Terbaru, berbagai elemen masyarakat mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) karena menilai pemerintahan tengah berjalan dengan tidak semestinya. Lantas, mungkinkah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tengah mengalami Great Disruption?
“Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat demokrasi di era informasi sekarang ini adalah apakah mereka bisa terus menerus memelihara tatanan sosial dalam menghadapi perubahan teknologi dan ekonomi” – Francis Fukuyama dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order
Pada 20 Juli lalu, Anis Matta bersama dengan pengurus Partai Gelora lainnya berkesempatan menyambangi Istana untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seusai pertemuan, mantan politisi PKS tersebut mengungkapkan bahwa sang presiden kehilangan berat badan sampai 3 kg karena memikirkan pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis multi-aspek.
Kendati mungkin dimaksudkan untuk melempar canda ke awak media, pernyataan Ketua Umum Partai Gelora tersebut agaknya menggambarkan bagaimana beratnya situasi Presiden Jokowi akibat pandemi Covid-19 saat ini.
Getirnya, tidak hanya perihal pandemi, deretan masalah serius turut menyambut periode kedua kepemimpinan mantan Wali Kota Solo tersebut. Sejak masa kampanye, berbagai isu SARA seperti anti kelompok Islam, keturunan asing, hingga isu PKI menjadi santapan sehari-hari.
Ketika pemilihan pasangan untuk menemaninya di gelaran Pilpres 2019, dengan berbagai tekanan politik yang ada, pilihan kepada Mahfud MD juga harus diurungkan karena Ma’ruf Amin dinilai lebih memberikan jaminan kemenangan.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang pun masalah tetap mendera. Kita tentu masih ingat perihal demonstrasi mahasiswa terbesar sejak reformasi akibat penolakan terhadap berbagai rancangan produk hukum, seperti revisi UU KPK dan RKUHP.
Dan kini, di tengah usaha pemerintahan Jokowi-Ma’ruf untuk membuktikan kinerja dengan mendorong laju perekonomian, hantaman pandemi Covid-19 justru mendera.
Tidak hanya soal bencana kesehatan, situasi diperparah karena pandemi juga berimplikasi pada bencana ekonomi. Bagaimana tidak, pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi, berbagai usaha menjadi lesu bahkan terpaksa mati suri, hingga adanya ancaman resesi di depan mata.
Merespons situasi pelik ini, berbagai elemen masyarakat kemudian mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada 18 Agustus lalu. Tegas mereka, pemerintahan telah berjalan jauh dari semestinya karena kontras dengan jiwa, semangat dan nilai Pembukaan UUD 1945.
Selaku staats fundamental norm atau norma fundamental negara, rasionalisasi bahwa pemerintahan tidak berjalan menurut Pembukaan UUD 1945 tentunya merupakan alasan konstitusional dan filosofis yang begitu kuat.
Lantas, mungkinkah deklarasi KAMI tersebut merupakan indikasi kuat bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tengah mengalami Great Disruption?
Great Disruption
Pada April lalu, International Monetery Fund (IMF) mengeluarkan peringatan serius karena pandemi Covid-19 dinilai dapat mengakibatkan krisis ekonomi terbesar sejak terjadinya Great Depression pada 2008-2009 lalu. Krisis ini sendiri disebut dengan Great Lockdown.
Sebagaimana diketahui, istilah Great Lockdown terinspirasi dari kebijakan lockdown (karantina wilayah) yang menjadi ciri khas penanganan pandemi Covid-19. Kata Great kemudian dilekatkan untuk menciptakan makna yang setara dengan Great Depression, sekaligus menjadi pengubah makna istilah lockdown itu sendiri.
Sama halnya dengan penciptaan istilah Great Lockdown, Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order juga menggunakan metode serupa untuk menciptakan istilah Great Disruption.
Tidak seperti penggunaan umumnya yang menekankan Disruption terkait dengan perubahan signifikan tatanan – baik dalam ekonomi maupun teknologi – akibat perkembangan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan, Great Disruption dimaksudkan Fukuyama untuk menjelaskan fenomena di mana pemerintah tengah mengalami defisit kepercayaan yang meluas di tengah masyarakat.
Sama halnya dengan Disruption, Great Disruption juga bertolak dari kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengubah tatanan kehidupan sosial. Menurut Fukuyama, kemajuan teknologi tersebut tidak hanya mengubah cara manusia berekonomi dan menuntut adaptasi, melainkan juga turut berdampak pada perubahan sosial, seperti meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
Mengutip sosiolog Jerman Ferdinand Tönnies, Fukuyama menjelaskan transisi dari gemeinschaft (komunitas) menuju gesellschaft (masyarakat) karena kemajuan teknologi yang melahirkan revolusi industri telah mengubah tatanan sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri perkotaan.
Menurut Tönnies, gemeinschaft telah menjadi ciri dari masyarakat petani Eropa yang memiliki jaringan hubungan yang sebagian besar didasarkan pada kekerabatan, kontak langsung, dan tatap muka. Sedangkan gesellschaft yang menjadi cirimasyarakat industri dan perkotaan, individu tidak lagi bergantung satu sama lain untuk saling mendukung, sehingga kurang bertanggung jawab secara moral.
Tidak hanya karena adanya transisi tersebut, Fukuyama secara khusus memetakan faktor-faktor yang mengakibatkan Great Disruption. Dari beberapa faktor tersebut, setidaknya terdapat dua faktor inti yang dapat ditarik, yakni (1) menurunnya usia harapan hidup, dan (2) meningkatnya angka kasus kejahatan.
Pada faktor pertama, ini tentunya berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Tidak sedikit yang menyimpulkan, kendati revolusi industri mendorong peningkatan pesat produksi dan akumulasi kekayaan, nyatanya itu juga berkonsekuensi pada kesenjangan sosial-ekonomi yang kian melebar.
Dan pada faktor kedua, dengan mengacu pada raison d’etre negara untuk menjaga kehidupan warga negaranya, meningkatnya kasus kejahatan tentunya menjadi indikasi bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya. Mengacu pada tidak terbentuknya rasa aman, peningkatan ketidakpercayaan tentunya menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.
Lantas, mungkinkah Great Disruption tengah terjadi di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf saat ini?
Belum Terjadi?
Untuk menyimpulkan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mengalami Great Disruption, setidaknya harus ditemukan dua faktor inti tersebut telah terjadi di Indonesia saat ini.
Pertama, mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS), usia harapan hidup di Indonesia pada 2018 mencapai 71,2 tahun. Angka ini terlihat mengalami peningkatan karena pada 2010 dan 2016, usia harapan hidup mencapai 69,81 dan 70,9 tahun.
Akan tetapi, kendati usia harapan hidup terhitung meningkat, masalah ekonomi klasik seperti kesenjangan pendapatan nyatanya terus menggentayangi. Menurut laporan World Bank pada 2015 lalu, sejak 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya di republik ini.
Tentunya, ini dapat menciptakan persepsi masif di tengah masyarakat bahwa negara telah gagal dalam melakukan distribusi kekayaan, sehingga kesejahteraan bersama tidak terjadi.
Kedua, mengacu pada keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Awi Setiyono pada Juni lalu, angka kriminalitas di Indonesia diketahui meningkat sebesar 38,45 Persen.
Beberapa aksi kriminalitas yang masif terjadi adalah pencurian dengan pemberatan, penggelapan, pencurian sepeda motor, narkotika, dan perjudian.
Kembali menegaskan, dengan meningkatnya angka kriminalitas, tentunya ini berkonsekuensi pada meningkatkan rasa saling curiga di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan kepercayaan menjadi barang yang langka untuk didapatkan.
Selain itu, adanya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah tersebut jamak dinilai kontras dengan upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, Harun Masiku yang sampai saat ini belum ditemukan keberadaannya semakin meningkatkan skeptisisme publik terhadap penegakan hukum.
Eskalasi ketidakpercayaan masyarakat tersebut, sedikit tidaknya dapat kita lihat dari terjadinya deklarasi KAMI. Meskipun dituduh sebagai “barisan sakit hati”, ini tentunya tidak menutup esensi deklarasi sebagai ekspresi ketidakpuasan warga negara terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa.
Akan tetapi, Great Disruption yang disebutkan oleh Fukuyama tampaknya belum terjadi di Indonesia. Menimbang pada survei yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 9 Agustus lalu, 79 persen masyarakat ternyata percaya bahwa Presiden Jokowi mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi.
Menariknya, angka itu terlihat meningkat karena pada survei SMRC Mei lalu, tingkat kepercayaan publik terlihat hanya mencapai 69 persen.
Selain itu, berbagai kritik terhadap deklarasi KAMI juga menjadi indikasi bahwa masih terdapat kelompok masyarakat yang menatap positif pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Di luar tudingan adanya buzzer, dukungan tersebut adalah indikasi bahwa masyarakat belum satu suara, atau setidaknya belum menjadi suara mayoritas untuk menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah gagal.
Pada akhirnya, kita tentu berharap agar Great Disruption yang disebutkan oleh Fukuyama tidak benar-benar terjadi. Masalahnya, di tengah situasi tidak pasti akibat pandemi Covid-19, solidaritas antar masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk segera mengakhiri pandemi.
Akan tetapi, deklarasi KAMI tersebut sudah semestinya menjadi cambuk pengingat bagi pejabat elite di luar sana untuk mengevaluasi kinerjanya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)