Capres petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kemarahannya terhadap maraknya hoaks soal dirinya. Mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan akan melawan hoaks setelah selama 4,5 tahun sebelumnya memutuskan hanya diam.
PinterPolitik.com
“Madness is what you demonstrate and that’s exactly how anger works and operates” – Black Eyed Peas, grup musik asal Amerika Serikat
[dropcap]D[/dropcap]alam acara deklarasi dukungan Alumni Jogja Satukan Indonesia pada Sabtu lalu di Stadion Kridosono Yogyakarta, Jokowi terlihat geram dengan berbagai hoaks yang menimpa dirinya. Capres nomor urut 01 itu pun menunjukkan ekspresi perlawanannya setelah selama ini hanya memutuskan diam.
Juru Bicara TKN Jokowi-Ma’ruf Amin, Ace Hasan Syadzily mengkonfirmasi kembali pernyataan Jokowi dalam pidato tersebut dan menjelaskan bahwa berita-berita bohong memang sering kali merugikan Jokowi karena dapat menggantikan fokus masyarakat dari prestasi-prestasi pemerintahannya.
Ungkapan kemarahan Jokowi juga tidak luput dari komentar pihak lawan. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon berkomentar bahwa kemarahan yang diungkapkan Jokowi merupakan retorika yang kurang menyejukkan. Selain itu, Fadli juga menyebutkan bahwa justru kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno-lah yang sering kali menjadi korban hoaks dan fitnah.
Terlepas dari komentar Fadli tersebut, beberapa pihak menyebut kemarahan Jokowi adalah muara dari penurunan elektabilitas yang tergambar dalam survei Litbang Kompas beberapa hari lalu. Salah satu penyebab penurunan elektabilitas itu disebut-sebut karena maraknya hoaks yang menyerang kandidat petahana tersebut.
4,5 sudah ketidak nyamanan hidup di negara ini saya rasakan. Para pendusta tukang bully dan tukang fitnah tumbuh bagai jamur beracun yang menebar spora spora beracun.
Hari ini saya nyatakan AKAN SAYA LAWAN..!!
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) March 24, 2019
Lantas, bagaimanakah ungkapan kemarahan Jokowi ini mampu memengaruhi elektabilitasnya? Apakah ada dampak dari retorika kemarahan Jokowi ini terhadap perbaikan dukungan politik terhadap dirinya?
Upaya Lawan Hoaks
Dalam kaitannya dengan Pilpres 2019, ungkapan emosional Jokowi tentu menjadi taktik baru untuk meraih suara yang dimasukkan dalam strategi kampanyenya menghadapi berbagai serangan hoaks.
Kenneth S. Zagacky dan Patrick A. Boleyn-Fitzgerald dalam tulisannya yang berjudul Rhetoric and Anger menjelaskan bahwa retorika kemarahan dilakukan guna membuat audiens juga mengungkapkan kemarahannya pada pihak lain, agenda, atau kebijakan tertentu.
Kemungkinan strategi ini pun sejalan dengan penjelasan Jennifer Jerit dalam salah satu tulisannya yang menjelaskan bahwa retorika kemarahan dapat memobilisasi para pendukung kandidat tertentu untuk meningkatkan fokus perhatian terhadap ketegangan utama dalam politik. Emosi kemarahan pun tidak hanya berdampak pada pendukungnya, melainkan juga terhadap individu-individu lain yang minim pengetahuan politik.
Dengan kata lain, Jokowi bisa saja mengungkapkan kemarahan untuk meningkatkan mobilisasi para pendukungnya serta memainkan posisi sebagai korban dalam pertarungan politik untuk menarik simpati masyarakat secara keseluruhan.
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi juga mengajak pendukungnya untuk turut melawan penyebaran berita bohong tentang dirinya.
Upaya mobilisasi pendukung Jokowi ini bisa jadi disebabkan oleh lemahnya kekuatan kubu Jokowi-Ma’ruf dalam kampanye darat – sebutan untuk kampanye pada tingkatan akar rumput. Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo menjelaskan bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf masih kalah banyak dalam hal militansi pendukungnya dibandingkan kubu Prabowo-Sandiaga.
Selain itu, Jokowi juga sering kali menekankan bahwa berita-berita bohong yang tersebar dapat memecah belah persatuan, kesatuan, dan kerukunan masyarakat Indonesia.
Pengaitan berita bohong dengan nilai-nilai kerukunan dan persatuan oleh Jokowi tersebut pun bisa dijelaskan dengan menggunakan kerangka pemikiran Jerit seperti disebutkan sebelumnya. Dalam tulisan tersebut, Jerit menjelaskan bahwa penggunaan retorika emosi yang menekankan dukungannya pada nilai dan tujuan yang diyakini bersama secara luas dapat menarik dukungan dari para pemilih.
Dasar penjelasan Jerit itu pun dapat diperkuat dengan persepsi masyarakat terhadap berita bohong terkait Pilpres 2019. Hasil survei Mastel, sebuah perusahaan telematika, menunjukkan bahwa sebesar 84,5 persen responden merasa terganggu dengan maraknya hoaks dan sebesar 98,7 persen responden menyatakan bahwa maraknya hoaks dapat mengganggu kerukunan di masyarakat.
Selain hasil survei Mastel, Lingkaran Survei Indonesia atau LSI Denny JA juga menunjukkan hasil serupa dengan 75 persen responden merasa diresahkan oleh maraknya hoaks.
Sisi Lain Jokowi Marah-marah
Hoaks memang meresahkan masyarakat dalam diskursus Pilpres 2019. Namun, Jokowi bukanlah satu-satunya pihak yang mendapatkan serangan hoaks. Prabowo juga tidak luput dari serangan berita bohong yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Dengan demikian, pernyataan Fadli Zon bahwa justru kubu Prabowo-Sandiaga yang sering menjadi korban hoaks bisa dibenarkan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Rocky Gerung pada 2017 lalu, yang menyebutkan bahwa pembuat berita bohong terbaik adalah penguasa.
Berdasarkan data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), jumlah hoaks pada Januari 2019 lebih banyak menyasar Prabowo dibandingkan Jokowi. Prabowo pun menjadi sasaran dari 21 hoaks, sedangkan Jokowi menjadi sasaran dari 19 hoaks.
Media sosial, wadah bagi maraknya hoaks, juga disebut dimenangkan oleh Jokowi. Ketua Cakra 19, Andi Widjajanto yang juga menjadi relawan pemenangan Jokowi-Ma’ruf, mengklaim bahwa kubunya telah memenangkan pertarungan udara dengan menguasai 58 persen eksposur di media sosial.
Jika memang memenangkan pertarungan udara di media, lalu mengapa Jokowi masih perlu marah-marah soal hoaks?
Kalau diperhatikan, kemarahan Jokowi pada maraknya hoaks ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Dalam Pilpres AS 2016 melawan Hillary Clinton, Trump juga sering kali mengritik media sebagai berita bohong meskipun kubunya dan pendukungnya juga menyebarkan berita-berita bohong.
Trump pun disebut bertanggungjawab dalam penyebaran berita-berita bohong, seperti isu Obama merupakan seorang Muslim dan imigran-imigran Meksiko merupakan kriminal. Di sisi lain, Trump sendiri juga sering menegasikan media dengan menyebutnya sebagai berita bohong, musuh masyarakat, dan sumber yang tidak dapat dipercaya.
Dua taktik itu menjadi bagian dari strategi kampanye Trump. Penegasian media ini membuat pendukung-pendukungnya menjadi imun terhadap pemberitaan negatif di media. Taktik ini di sisi lain justru membuat dirinya mendapatkan eksposur media lebih banyak dengan pernyataan-pernyataan kontrovesialnya – bisa dilihat dari seberapa sering Anderson Cooper dari CNN atau Jimmy Kimmel di ABC dan Stephen Colbert di CBS membahas ayah dari Ivanka Trump itu.
Hal ini pun sejalan dengan penjelasan Jerit lagi dalam tulisannya. Menurutnya, retorika kemarahan juga dapat meningkatkan semangat media untuk memberikan pemberi retorika di media.
Kaitan eksposur media dengan dinamika suara dalam Pemilu ini juga dijelaskan oleh Jonathan Stray dari Columbia University dalam tulisannya di NiemenLab. Stray pun menjelaskan bahwa eksposur media yang besar pun membuat Trump mendapatkan peningkatan suara dalam setiap pernyataan kontrovesialnya.
Lalu, apakah Jokowi juga menggunakan strategi yang mirip dengan strategi Trump?
Jika kita kembali pada konteks Pilpres 2019, Jokowi sendiri pun memiliki kekuatan yang lebih dominan untuk memengaruhi opini publik. Sebagian besar pemilik media besar berada pada barisan pendukung Jokowi, seperti Erick Thohir yang memiliki beberapa saham di media besar, pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo, dan pemilik Metro TV Surya Paloh.
Kekuatan Jokowi di media besar ini tentu dapat membantunya memenangkan kompetisi Pilpres 2019 di medan perang udara – kompetisi narasi di media. Jokowi sendiri pun mengakui akan keunggulannya di udara dengan adanya dukungan dari Hary Tanoe dan Surya Paloh.
Lantas, mengapa Jokowi perlu marah-marah jika pertarungan udara pun telah dimenangkan oleh kubunya?
Jika berkaca pada apa yang dilakukan Trump di AS, ungkapan kemarahan Jokowi bisa jadi adalah upaya kampanyenya – selain untuk memobilisasi pendukung – juga untuk lebih mengamankan posisinya di media. Retorika kemarahan ini bisa saja membuat media semakin memberikan eksposur pada kandidat petahana itu. Selain itu, hal tersebut bisa saja semakin meningkatkan imunitas pendukung kubu Jokowi-Ma’ruf terhadap pemberitaan negatif, termasuk hoaks atas dirinya.
Baiknya, Jangan Marah-marah
Tentu, penggunaan politik kemarahan dapat berdampak buruk di masa mendatang. Sebagai contoh, kita dapat melihat dampak buruknya dalam pemerintahan Trump di AS saat ini.
Setelah memenangkan Pemilu AS 2016, Trump pun masih mempertahankan politik kemarahan dalam menjalankan pemerintahan. Profesor Duane Bratt dari Mount Royal University dalam tulisannya di kolom opini CBC menjelaskan bahwa pemerintahan Trump mendapatkan berbagai masalah dengan politik kemarahannya.
Trump dianggap tidak dapat menjalankan pemerintahan yang baik. Ia dianggap lebih sibuk melawan lawan-lawan politiknya dibandingkan menyalurkan kebijakan-kebijakan nyata yang bermanfaat.
Pemilik Trump Organization tersebut terlihat lebih sibuk bercuit lewat Twitter untuk menyerang lawan-lawan politiknya, seperti media yang dianggap menyebarkan berita bohong, Partai Demokrat AS, orang-orang Partai Republik yang kontra dengan dirinya, pemimpin-pemimpin negara lain, bahkan dengan pemain-pemain National Football League (NFL), dan Federal Bureau of Investigation (FBI).
Selain itu, Kathleen Searles dari Louisiana State University dan Travis N. Ridout dari Washington State University dalam tulisannya yang berjudul The Use and Consequences of Emotions in Politics menjelaskan bahwa politik kemarahan dapat mendorong penerapan kebijakan-kebijakan yang bersifat menghukum dengan meningkatnya tendensi untuk menyalahkan pihak tertentu daripada menanggapi situasi.
Jika Jokowi memenangkan Pilpres 2019 nanti, bukan tidak mungkin dirinya akan menjadi sibuk memerangi lawan-lawan politiknya demi menjaga dan mengamankan kepresidenannya. Berbeda dengan Trump yang bercuit, Jokowi sangat mungkin menggunakan cara lain, misalnya menerapkan kebijakan dan peraturan tertentu.
Bukan hal asing apabila Jokowi menggunakan instrumen hukum untuk menyerang lawan-lawan politiknya – hal yang disebut-sebut sudah terjadi saat ini. Apabila politik kemarahan yang disasarkan pada berita bohong menjadi tema utama kampanyenya, bukan tidak mungkin pula masyarakat mendorong justifikasi penyaluran kemarahannya pada peraturan hukum yang membungkam kritik.
Apabila hal itu benar-benar terjadi, Jokowi tentu dapat dengan mudah menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Apakah ini yang dimaksud dengan bangkitnya Orde Baru yang sempat dikritik oleh kubu Jokowi-Ma’ruf? (A43)