Ada pengamat sekaligus mantan praktisi yang pernah terjun langsung dalam birokrasi, mengatakan bahwa kehadiran Peraturan Menteri (Permen) sebetulnya sering didasarkan pada favoritisme kementerian terhadap negara tertentu.
PinterPolitik.com
“Anger is sign that something needs to change” – Mark Epstein.
[dropcap size=big]K[/dropcap]emarahan adalah tanda bahwa sesuatu harus berubah. Demikianlah kata-kata Mark Epstein – seorang psikoterapis dari Amerika Serikat yang berhasil mengkombinasikan pendekatan agama Budha dengan pemikiran Sigmund Freud (1856-1939) untuk penyembuhan trauma. Tentu saja kita tidak akan membahas mengenai trauma. Saat ini hal yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia adalah mengenai kemarahan, dan kemarahan itu datang dari orang nomor satu di negara ini: Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada apa?
Sebelumnya diberitakan Presiden Jokowi terlihat agak marah pada saat rapat paripurna kabinet untuk membicarakan pagu (alokasi) indikatif untuk APBN 2018, pada April 2017 lalu di Istana Negara. Jokowi menyebut hambatan-hambatan investasi masih datang dari sejumlah aturan yang dibuat oleh kementerian-kementerian. Jokowi bahkan menyebut hal tersebut sebagai ‘penyakit’.
Jokowi Marah! Minta Hambatan Investasi Dari Kementrian Dihapuskan https://t.co/Mjewk9l44t via @YouTube
— enak2aja (@eboykokoy) April 4, 2017
Kemarahan Jokowi ini seolah menyengat para menterinya. Jokowi menganggap banyak aturan yang dibuat oleh kementerian justru menghambat investasi. Banyak pihak yang berniat untuk investasi, namun terhambat oleh aturan-aturan yang dikeluarkan oleh kementerian. Jokowi menyebutkan ada 23 aturan baru yang dikeluarkan oleh kementerian, padahal ia ingin kementerian-kementerian justru memangkas aturan-aturan yang telah ada. Aturan dari kementerian mana saja itu? Dan mengapa Jokowi begitu getol ingin menghapus aturan-aturan yang menurutnya menghambat tersebut?
Jokowi Marah, Ada Apa?
Jokowi memang terkenal sebagai tokoh yang jarang mengungkapkan kemarahannya. Namun, kalau berbicara tentang pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat – yang adalah salah satu tugas utama pemimpin negara – Jokowi ternyata bisa marah-marah. Ia bahkan menyebutkan bahwa kementerian yang masih mempertahankan aturan-aturan lama yang mengikat tidak lebihnya hanya menjalankan rutinitas, dan rutinitas itu tidak akan membawa perubahan.
Kepala Staf Presiden, Teten Masduki mengungkapkan 23 regulasi baru di tingkat kementerian yang dianggap menghambat investasi adalah regulasi yang bersifat tata niaga, yakni regulasi yang terkait langsung dengan larangan pembatasan ekspor-impor di luar kerangka Paket Kebijakan Ekonomi.
Selain itu, ada regulasi yang disebutkan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet paripurna yang sifatnya pembatasan. Teten juga menyebutkan, regulasi lainnya merupakan aturan baru dan ada regulasi yang isinya adalah aturan yang belum sesuai paket kebijakan ekonomi. Teguran Presiden Jokowi soal 23 regulasi tersebut akan mempengaruhi ekonomi dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun kedepan.
Akibat teguran Presiden Jokowi, setiap menteri di kabinet yang akan membuat regulasi atau aturan baru di lingkungan kementeriannya kini harus melaporkan langsung rencana tersebut kepada Presiden Jokowi. Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.
Alasannya, Presiden Jokowi ingin regulasi disederhanakan dalam rangka memberi kemudahan kepada investor yang akan masuk ke Indonesia. Rencana penerbitan regulasi oleh menteri juga harus dibahas di dalam rapat terbatas yang dihadiri juga oleh Presiden dan Wakil Presiden. Wow, artinya menteri-menteri tidak bisa lagi seenaknya membuat aturan.
Suara Karya (23/3) Hal 3 "Menteri Diminta Sederhanakan Aturan" cc: @hanifdhakiri pic.twitter.com/YFohT515Wh
— Kementerian Naker (@KemnakerRI) March 23, 2016
Pramono menyebutkan ada lima hingga enam menteri yang dianggap menghambat investasi melalui regulasi-regulasi baru. Kementerian mana saja itu? Pramono tidak memberi penjelasan yang lengkap. Adapun 23 aturan baru yang dibicarakan oleh Presiden Jokowi tersebut pun akan dicabut.
Jika ditelusuri lebih dalam, beberapa aturan yang dianggap berseberangan dengan paket kebijakan ekonomi Jokowi tersebut misalnya terdapat di kementerian pertanian. Aturan yang mana? Satgas Percepatan Paket Kebijakan Ekonomi yang melakukan evaluasi terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh kementerian mengungkapkan salah satu aturan yang bertolak belakang dengan Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi adalah Peraturan Menteri Pertanian No. 29 Tahun 2016 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pertentangan tersebut, berkaitan dengan rekomendasi. Prinsip dalam peraturan presiden, rekomendasi investasi di sektor pertanian tidak diperlukan lagi. Namun, di peraturan menteri pertanian tersebut, rekomendasi investasi itu tetap diminta. Lha, kok aturan bisa saling berseberangan seperti itu. Aturan-aturan yang demikian inilah yang menyebabkan Jokowi marah-marah.
Jokowi dan Jurus Tebas Aturan
Bukan hanya kali ini Jokowi ingin menghapus aturan-aturan yang menurutnya menghambat investasi. Sebelumnya juga ada wacana untuk menghapus hampir 3.000 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah yang banyak di antaranya juga dianggap tidak sejalan dengan rencana percepatan pembangunan.
Antar perda yg tumpang tindih . Ada sekitar 3000 perda yg dihapus krn menyebabkan hambatan – Wiranto #KE2JANYATA
— Ditjen IKP Kominfo (@djikp) October 26, 2016
Kita juga ingat bagaimana rekam jejak Jokowi yang sangat tidak suka pada aturan-aturan yang menghambat, sejak ia menjabat sebagai walikota dan gubernur. Jokowi selalu punya jurus tebas aturan yang bertele-tele dan tidak efektif. Maka, tidak heran kebijakan tebas aturan yang menghambat ini pun diterapkan Jokowi saat menduduki kursi presiden. Lalu, untuk apa jurus tebas aturan itu dilakukan?
Setelah ditelusuri, ternyata Presiden Jokowi sangat ingin meningkatkan angka kemudahan berbisnis di Indonesia. Saat ini, rating Ease of Doing Business (kemudahan untuk melakukan usaha) di Indonesia masih sangat rendah. Dari 190 negara di dunia, rating Indonesia masih ada di peringkat 91 – walaupun posisi ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tanpa adanya kemudahan melakukan usaha, maka peningkatan ekonomi akan semakin sulit dilakukan.
Bahkan, jika terus dibiarkan, iklim usaha di negara ini akan semakin sulit untuk diperbaiki. Hal inilah yang ingin diubah oleh Jokowi lewat kebijakan-kebijakannya yang membatasi berbagai aturan yang menghambat investasi. Bahkan target Jokowi adalah meningkatkan angka Ease of Doing Business di Indonesia sampai pada peringkat 40 hingga 50 di dunia. Dengan adanya kemudahan untuk melakukan bisnis di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lebar peluang lahirnya lapangan kerja baru.
Seringkali banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh kementerian justru mempersulit iklim usaha di Indonesia. Jokowi bahkan ingin aturan-aturan yang sudah ada dicabut jika memberatkan iklim usaha. Kita ingat pada Februari lalu, Kementerian Perdagangan juga mencabut aturan tentang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Kebijakan tersebut disambut secara positif oleh banyak pengusaha di tanah air.
Power Struggle Jokowi
Kembali ke persoalan aturan yang menghambat investasi, pertanyaan lain pun muncul: apakah para menteri tidak tahu permen atau aturan yang dikeluarkannya justru menghambat investasi? Sebagai manusia biasa, bisa dipahami kalau para menteri mungkin lupa. Namun, haruskah melupakan hal yang penting seperti ini?
Terkait investasi, banyak selentingan yang mengatakan bahwa masing-masing kementerian punya vendor negara tertentu, sehingga seringkali kementerian memprioritaskan kerjasama dengan negara tertentu saja. Sementara itu, aturan-aturan dikeluarkan untuk mempersulit investor dari negara lain.
Ada pengamat sekaligus mantan praktisi yang pernah terjun langsung dalam birokrasi, mengatakan bahwa kehadiran peraturan menteri (permen) sebetulnya sering didasarkan pada favoritisme kementerian terhadap negara tertentu. Artinya ada negara yang menjadi vendor kementerian tertentu, sehingga untuk negara tersebut akan ada kemudahan kerja sama, sementara negara lain akan mengalami kesulitan dengan adanya permen-permen yang memberatkan. Praktik-praktik seperti ini tentu merupakan bagian dari KKN.
Wow, pernyataan itu tentu mengejutkan, mengingat bagaimana pun juga kementerian harus bersinergi dengan rencana program pembangunan yang disusun oleh presiden. Jika masih mengutamakan vendor, maka akan ada hambatan dalam program pembangunan karena ada yang ‘dianak-emaskan’.
Hal lain yang bisa dianalisis dari kemarahan presiden ini adalah tentang power struggle Jokowi. Jika menteri masih terima vendor, itu berarti sang menteri sedang mencari untung. Ketidaksejalanan antara Jokowi dengan menterinya tersebut menandakan kekuasaan Jokowi masih mudah digoyang. Ada power struggle yang menimpa Jokowi. Power struggle ini bisa dijelaskan sebagai konsep yang mengatakan bahwa orang lemah akan cenderung paling sensitif ketika berhadapan dengan perebutan kekuasaan. Bukan rahasia lagi kalau Jokowi adalah presiden terlemah sepanjang sejarah Indonesia setelah Gus Dur – hal yang pernah dituliskan oleh Jeffrey A. Winters di The Wall Street Journal.
Jeffrey Winters : “Jokowi is the weakest president Indonesia has had since Gus Dur” pic.twitter.com/BHB18fpE2Y
— yusejahtera (@yusejahtera) July 13, 2016
Jokowi tidak punya partai politik dan tidak punya backingan militer seperti presiden-presiden terdahulu. Oleh karena itu, ada power struggle yang harus dijalankan oleh Jokowi. Power struggle ini bisa diibaratkan dengan anjing kecil yang biasanya paling kuat menggonggong saat banyak anjing besar di sekitarnya.
Kemarahan Jokowi ini bisa jadi ditunjukkannya karena posisinya yang secara politik tidak begitu kuat. Jokowi ‘menggongong’ para menterinya yang tidak taat pada dirinya. Lemahnya posisi Jokowi ini tentu akan menghambat kinerja pemerintahan dan pembangunan ekonomi yang selama ini diperjuangkannya. Jokowi tentu berusaha untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai presiden, dan oleh karenanya ia pantas marah-marah.
Lalu, akan sering-sering lagi kah kita melihat Jokowi marah-marah di depan menterinya? Semuanya tergantung pada kinerja para menteri tersebut. Banyak yang menilai pemerintahan Jokowi kali ini benar-benar memaksa para menteri untuk kerja keras dan turun ke lapangan, apalagi tahun depan target pertumbuhan ekonomi nasional direncanakan sampai angka 5,6% – hal yang tentu tidak mudah untuk diraih.
Jika kerja para menterinya tidak becus, jangan heran akan ada banyak kemarahan-kemarahan lain yang keluar dari Jokowi – seperi kata Mark Epstein di awal – sampai ada perubahan terjadi. “Kalau nggak ada keberanian, nggak ada perubahan”, begitu kata Jokowi. (S13)