Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Makin Tak Terbendung?

jokowi makin tak terbendung

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Ageman Songkok Singkepan Ageng dalam Upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2023. (Foto: Sekretariat Presiden)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/03/terbendung-full.mp3
Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta sejumlah jatah menteri kepada Prabowo Subianto. Mungkinkah Jokowi makin tak terbendung?


PinterPolitik.com

“Cakra manggilingan.”

Kebudayaan Jawa menyimpan banyak nilai dan prinsip yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah pepatah Jawa yang tertera di awal tulisan.

Frasa “cakra manggilingan” secara harfiah berarti sebuah roda yang berputar. Dengan bentuk sirkular, roda akan berputar terus menerus selama masih ada gaya yang menggerakkannya.

Namun, pepatah ini juga memiliki makna yang metaforis. Secara tidak langsung, cakra manggilingin menjelaskan bagaimana roda kehidupan terus berputar. Terkadang, seseorang akan berada di atas dan juga ada di bawah. 

Meski begitu, pepatah ini juga menjadi pengingat bahwa apa yang dilakukan di hari ini akan membawa konsekuensi di masa depan. Dalam arti lain, tindakan-tindakan yang diambil juga akan mempengaruhi nasib seseorang.

Bukan tidak mungkin, ini juga termasuk tindakan-tindakan dalam politik. Seperti yang diketahui, calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto, dan calon wakil presidennya (cawapres), Gibran Rakabuming Raka, diumumkan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024 kemarin.

Hasil Pilpres 2024 ini juga tentunya akan membawa dampak pada cakra kehidupan bangsa dan negara ini ke depannya. Salah satu nasib negara ini akan ditentukan melalui kebijakan apa dan siapa saja yang akan mengisi pemerintahan nantinya.

Terkait hal ini, dinamika lanjutan yang terjadi adalah penentuan jatah kursi menteri di pemerintahan Prabowo. Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto, misalnya, sudah mulai membicarakan jatah kursi untuk partainya yang menjadi salah satu anggota koalisi pengusung Prabowo-Gibran.

Tidak hanya Airlangga, seorang individu-pun disebut-sebut juga menuntut jatah kursi menteri dari Prabowo. Individu tersebut kabarnya adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), ayah dari Gibran.

Kabarnya, Jokowi meminta setidaknya empat hingga lima kursi menteri untuk sejumlah nama yang telah disiapkan, seperti Bahlil Lahadalia yang kini menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Listyo Sigit Prabowo yang kini menjabat sebagai Kapolri, dan Pratikno yang kini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).

Selain jatah kursi menteri, ada wacana juga bahwa putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, juga tengah dipersiapkan untuk jabatan tertentu. Kaesang yang kini menjadi Ketum PSI diwacanakan untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Bukan tidak mungkin, bila rumor-rumor ini benar, ini menandakan bahwa bagaimana politik kekuasan elite Jawa masih begitu dominan dalam perpolitikan modern Indonesia.

Namun, mengapa semua ini bisa terjadi? Mungkinkah kekuatan sang presiden semakin ke sini semakin tidak bisa terbendung?

Jokowi Mirip Tribhuwana?

Jika berbicara mengenai pola kekuatan dalam budaya politik Jawa, rasanya tidak afdol bila tidak berbicara mengenai sejarah kerajaan-kerajaan dan pola kekuasaan mereka. Salah satunya yang bisa dibahas dalam hal ini adalah Kerajaan Majapahit yang pernah berdiri di bumi Nusantara pada tahun 1293–1527 M.

Kerajaan ini mulai memasuki zaman keemasannya pada abad ke-14, yakni ketika Maharani Tribhuwana Wijayatunggadewi berkuasa. Kala itu, Majapahit disebut mulai melaksanakan ekspansi ke banyak wilayah.

Pada tahun 1334, Sang Maharani menobatkan Gadjah Mada sebagai patih Majapahit. Gadjah Mada-pun mengeluarkan Sumpah Palapa-nya yang terkenal, yakni sumpah untuk menyatukan Nusantara, saat Tribhuwana berkuasa.

Namun, Tribhuwana akhirnya memutuskan untuk turun takhta dan mempersiapkan putranya, Hayam Wuruk, untuk melanjutkan kepemimpinannya pada tahun 1350. Untuk mewujudkannya, Tribhuwana akhirnya menyerahkan Hayam Wuruk untuk dibimbing oleh Gadjah Mada.

Bukan tidak mungkin, ini sejalan dengan pola kekuasaan politik Jawa dalam mempertahankan status dan kekuasaan. Dalam bukunya yang berjudul Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, Benedict Richard O’Gorman Anderson menjelaskan bahwa ada beberapa cara yang dilakukan oleh elite Jawa dalam mempertahankan kekuasaan.

Salah satunya adalah dengan memegang kendali atas struktur politik. Boleh jadi, Tribhuwana juga melakukan hal ini dengan mempercayakan upaya persiapan kontrol atas struktur tersebut melalui Hayam Wuruk dan Gadjah Mada.

Bukan tidak mungkin, hal yang mirip kini juga tengah terjadi. Jokowi kini tengah mempersiapkan Gibran melalui “patihnya”, Prabowo. Bila mengacu pada buku Anderson tadi, manuver politik seperti ini terlihat menjadi upaya untuk mempertahankan kendali atas struktur politik yang ada, misal untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi di masa mendatang.

Namun, tentu saja, upaya kekuatan politik ala Jawa ini bukan tanpa penolakan. Banyak pihak mulai mempermasalahkan anggapan pembesaran trah politik dari sang presiden.

Gibran mungkin bisa menjadi langkah pertama. Namun, akankah hanya berhenti di situ? Mungkinkah upaya mengendalikan struktur politik ini akan terus berlangsung, misal dengan menempatkan orang-orang tertentu di pemerintahan Prabowo?

Jokowi Tak Terbendung?

Hari itu terjadi pada 30 September 1938. Saat itu, pemimpin-pemimpin negara Eropa bertemu di Munich, Jerman, yakni Perdana Menteri (PM) Britania (Inggris) Raya Neville Chamberlain, PM Prancis Édouard Daladier, Kanselir Jerman Adolf Hitler, dan PM Italia Benito Mussolini.

Kala itu, Inggris dan Prancis memutuskan untuk mengalah guna menghentikan agresi Jerman Nazi. Kesepakatan itu akhirnya memberikan Jerman Nazi wilayah bernama Sudetenland di Cekoslovakia.

Tujuannya sebenarnya mulia, yakni guna menghentikan agresifnya Jerman Nazi. Harapannya, Jerman Nazi di bawah Hitler akan berhenti melakukan invasi ke negara-negara Eropa lainnya.

Namun, kebijakan appeasement ini ternyata salah. Hitler justru melanjutkan invasinya dengan menguasai Cekoslovakia sepenuhnya. Jerman Nazi akhirnya menginvasi dan menduduki Praha pada tahun 1939.

Mengacu pada penjelasan Norrin M. Ripsman dan Jack S. Levy dalam tulisan mereka yang berjudul “Wishful Thinking or Buying Time? The Logic of British Appeasement in the 1930s”, appeasement ini akhirnya tidak berhasil karena Hitler memiliki ambisi yang lebih agresif.

Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Cukupkah “Gibran” menjadi “appeasement” untuk ambisi politik, katakanlah Jokowi?Well, itu semua kembali pada sejauh mana ambisi politik tersebut. Yang jelas, jika ambisi itu meluap, bukan tidak mungkin pengaruh dan manuver politik akan menjadi semakin tidak terbendung. (A43)


Exit mobile version