Site icon PinterPolitik.com

Jokowi “Main Mata”, Puan Cemburu

Sudah setia menemani dan membantu mendongkrak karir, namun kursi tambahan malah diberikan pada yang lain. Bagaimana hati ini tak nyeri?


PinterPolitik.com 

[dropcap]J[/dropcap]ika penambahan kursi Menteri adalah sebuah kisah cinta, apa yang dilakukan Presiden Jokowi tentu menghasilkan rasa sakit. Bayangkan saja, sudah didukung, didongkrak, dan diangkat dari hanya Walikota Solo, lalu jadi Gubernur Jakarta, sampai namanya meroket ke tingkat nasional sebagai Presiden RI oleh PDIP. Kini, malah mengistimewakan partai yang datang belakangan.

Gampang ditebak, dialah Partai Golkar. Kini, posisi menteri di Kabinet Kerja Jokowi dari Partai Golkar diisi oleh Airlangga Hartarto di Kementerian Perindustrian, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) di Kementerian Kelautan dan Kemaritiman, serta yang terbaru, Idrus Marham sebagai Menteri Sosial (Mensos) menggantikan Khofifah. Selain mereka bertiga, ada pula Nusron Wahid yang saat ini duduk sebagai Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Posisi baru yang diberikan kepada Idrus Marham sebagai Mensos tentu saja membuat senewen partai pendukung lain yang sudah berada di belakang Jokowi sejak awal. Sebut saja Nasdem, PKB, PKPI, PKP, Hanura, dan tentunya PDIP.

Sudah begitu, baik Idrus Marham, Nusron Wahid, dan Airlangga bahkan tak harus menanggalkan jabatannya di Golkar pula. Hingga saat ini, Idrus disinyalir masih menjabat sebagai Kepala Bidang Eksekutif dan Legislatif Golkar. Jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Golkar sudah digantikan oleh Lodewijk Friederick Paulus.

Nah, kalau Airlangga sudah jelas-jelas menduduki kursi Ketua Umum Golkar. Lalu Nusron Wahid, saat ini masih aktif pula menjabat sebagai Ketua Koordinator Pemenangan Pemilu Jawa dan Kalimantan partai Golkar.

Luhut Binsar Panjaitan bersama Presiden Jokowi (sumber: istimewa)

Yang berbeda dengan ketiga tokoh di atas, memang LBP. Sejak awal, pria Batak ini sudah menolak jabatan sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar sejak ditempatkan Jokowi di Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), sebelum akhirnya digeser Wiranto ke Menko Kelautan dan Kemaritiman.

Barangkali patut diingat pula bila di masa awal pemerintahan, Jokowi dan PDIP sepakat untuk melarang adanya rangkap jabatan pada menteri-menterinya. Jokowi kerap berseru, “Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua,” katanya. Tentu saja apa yang diucapkannya dulu tak bisa dibandingkan dengan  saat ini.

Jokowi beralasan, mempertahankan Airlangga dan Idrus Marham atas dasar efektiftas. Menurutnya pergantian kabinet malah akan membuat kabinet tak efektif, karena masa pemerintahan sudah tersisa setahun ke depan. sementara anggota kabinet baru masih perlu belajar dulu selama 6 bulan, sampai mumpuni dengan jabatannya.

Apapun dalihnya, keistimewaan itu melahirkan kritik dari beberapa pihak, salah satunya PAN. Wakil Ketua Umum PAN, Hanafi Rais, meminta agar Jokowi seharusnya terus konsisten dengan larangan rangkap jabatan menterinya. Tapi seperti halnya PAN yang dikenal sebagai partai pembelot atau partai yang ‘berselingkuh’ dengan oposisi, sikap Jokowi sendiri sebetulnya tak jauh berbeda dengannya.

Bagaimana tidak? Kursi tambahan malah diberikan kepada mantan oposisi yang ‘membelot’ menjadi pendukung pemerintah. Kadernya pun dilepaskan dari kewajiban rangkap jabatan. Bagaimana keistimewaan tersebut tak dianggap sebagai ‘main mata’ Jokowi kepada Golkar? Bukankah sudah ada PDIP yang sejak awal setia berada di sisinya?

Dari sana, wajar saja jika PDIP cemburu dan kecewa. Itu bisa tercium dari pernyataan Hendrawan Supraktikno jika Puan Maharani akan kembali aktif dalam kegiatan partai. “Ya bisa, boleh aktif. Tidak harus, tapi boleh, karena Presiden sudah memberi kelonggaran ya,” jelas Hendrawan.

Jika Puan bisa menjawab pula, barangkali jawaban yang tepat diucapkannya adalah, “jika mereka bisa, mengapa saya tidak?”  Sebagai anak kandung dari punggawa Pantai Banteng, Puan seharusnya punya keistimewaan lebih daripada ‘teman-teman baru’ dari beringin hitam. Jika PDIP tak berada di belakang Jokowi sejak awal, belum tentu pria asal Solo tersebut berhasil menjadi Presiden RI saat ini.

Lebih dari itu, Puan sendiri sebetulnya pun sudah berkorban untuk masuk ke dalam Kabinet Kerja Jokowi, sebab bersama PDIP prestasi dirinya lebih wangi dikenang, daripada saat berada di Menko PMK.

Bersama PDIP, Puan Terpuji

Saat awal menerima jabatan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan diketahui menjabat sebagai Ketua DPP bidang Politik dan Keamanan PDIP.

Awalnya, ia memang membutuhkan waktu agak lama saat memutuskan untuk melepaskan jabatan yang dipikulnya di Partai Banteng. Hingga akhirnya, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang juga ibunya, menitahkan untuk melepaskan jabatannya di partai dan fokus bersama Kabinet Kerja. Tak hanya Puan, elit PDIP lainnya yang memutuskan non aktif dari kegiatan partai. Ada juga Tjahjo Kumolo yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PDIP.

Ketidaktergesa-gesaan Puan untuk melepas jabatannya di PDIP, merupakan bentuk kesetiaan pada PDIP. Partai yang dibesarkan oleh Ibunya tersebut, haruslah menjadi pertimbangan utamanya, karena bersama PDIP ia bisa masuk sebagai anggota DPR RI Komisi VI yang membawahi BUMN, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah (UMKM) di tahun 2009 – 2014.

Berkat PDIP pula, Puan akhirnya mendapatkan perolehan terbanyak kedua nasional untuk kembali duduk di kursi DPR RI, yakni sebesar 242. 504 suara di tahun 2014. Namanya bertengger bersama dengan politisi PDIP lainnya seperti Rieke Dyah Pitaloka dan juga Karolin Margret Natasa. Bersama dengan PDIP, rakyat lebih menerima dan ‘ramah’ kepadanya.

Saat Puan menjabat sebagai Ketua Bidang Perempuan dan Pemberdayaan Masyarakat DPP PDIP periode 2005 – 2010, ia juga aktif memberi penyuluhan seputar KB kepada masyarakat di daerah Jawa Tengah dan menyandang gelar ‘progresif’. Lalu yang paling cemerlang, adalah kemampuannya menaikkan elektabilitas Ganjar Pranowo dan Heru pada Pilkada Jateng 2013 hingga mencapai 33,2% ‘hanya’ dalam tempo tiga bulan.

Mengingat Jokowi yang saat itu sangat lantang melarang adanya rangkap jabatan, sementara posisi dan nama Puan di PDIP sedang harum-harumnya, jelas memilih bekerja bersama Kabinet Kerja Jokowi bukanlah keputusan mudah. Namun begitu, ia akhirnya melepaskan jabatan elitnya di PDIP, beserta nama ‘harumnya’ di sana.

Puan Maharani, Megawati, dan Presiden Jokowi bersama dengan Raja Salman. (sumber: Antara)

Sementara itu, sepak terjang Puan di Menko PMK, lebih banyak mengundang cibiran ketimbang pujian. ‘Pengorbanannya’ untuk melepas segala kenyamanan di PDIP untuk bekerja bersama Jokowi, lebih banyak meninggalkan kesan “tak terdengar” di masyarakyat. Sekalinya terdengar, hal itu malah berujung kritik dan pertanyaan panjang.

Salah satu diantaranya adalah klaim soal penurunan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Walau benar adanya, tetapi hal itu tak terlalu siginifikan bahkan sangatlah tipis, seperti respon Ketua Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartarti. “Walaupun penurunannya tipis, it’s okay memang menurun,” kata Enny.

Enny melanjutkan, jika data yang dikeluarkan Puan, belum mencangkup pendapatan buruh di sektor pertanian dan pembangunan yang mengalami penurunan. Enny menganggap tingkat pengangguran yang dianggap menurun, tak bisa dibandingkan apple to apple. Belum lagi sepak terjang Puan mengetuai Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang kerap disebut gaib karena tak pernah terlihat eksekusinya.

Kontras antara pujian dan kritik yang diterima Puan, sudah tentu lebih berat dipikulnya saat bersama Kabinet Kerja, dibandingkan saat masih bersama PDIP. Justru bersama Sang Banteng, pujian-pujian kerap dilemparkan kepadanya. ‘Pengorbanan’ Puan ini, sangatlah wajar jika melahirkan kekecewaan dan kecemburuan, sebab ternyata Jokowi lebih meng-anak emas-kan Golkar dan dua elitnya, ketimbang dirinya.

Hak Prerogatif Jokowi

Namun begitu, perubahan sikap Jokowi soal rangkap jabatan, yang juga banyak mengundang cibiran dan kekecewaan, tak bisa pula dinilai sebagai bentuk ketidakadilan. Bagaimana pun, itu adalah salah hak prerogatifnya sebagai presiden. Jika Puan merasa kecewa terhadap perubahan janji politik Jokowi terkait rangkap jabatan, hal itu lebih besar didasari oleh kecemburuan politik.

Dalam The Politic of Jealousy, Rich Kalgaard berkata bahwa kecemburuan politik bukanlah hal baru. Kecemburuan politik lebih sering disebabkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok mencapai atau memiliki suatu hal yang dimiliki atau dicapai oleh orang atau kelompok lain.

Saat menyingkap contohnya, Kalgaard menyisipkan kecenderungan kelompok berideologi kiri yang kerap mengkritik hal-hal yang dimiliki oleh orang berduit. Ini disebut oleh penulis Forbes tersebut sebagai bentuk dari kecemburuan politik. “Jika mereka (kelompok kiri) benar-benar peduli dengan keadilan sosial, ketimbang mengkritik di sana-sini, mengapa tak fokus saja beramal?” tulisnya.

Idrus Marham dan Airlangga Hartarto (sumber: istimewa)

Contoh yang dipaparkan Kalgaard memang tak bisa diterima bulat-bulat, namun teorinya soal ketidakmampuan kepemilikan, bisa dikaitkan dengan kecemburuan politis Puan. Perempuan berusia 43 tahun tersebut, cemburu dengan posisi Golkar yang lebih diistimewakan Jokowi, padahal dirinya sudah mengorbankan posisi elitnya di PDIP dan sudah membantu Jokowi sejak awal.

Bagaimana tidak panas hati Puan, terang-terangan menyaksikan aksi main mata antara Jokowi dengan Partai Golkar yang jelas baru ‘kemarin sore’ bergabung? Jika mau membawa ego previlese-nya, ia bahkan bisa ‘menuntut’ Jokowi kepada ibunya.

Barisan Sakit Hati

Jika merunut lebih panjang, pihak yang berhak cemburu dan kecewa tentu tak hanya Puan seorang. Ada Wiranto, Hanif Dhakiri, Siti Nurbaya, hingga Lukman Hakim Saifuddin. Mereka ini juga adalah ‘korban’ dari peraturan larangan rangkap jabatan sebelum masa ‘bias’ terjadi.

Wiranto tercatat mantap melepaskan jabatan sebagai Ketua Umum Hanura saat diangkat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menkumham). Hanif Dhakiri yang menjabat sebagai Sekjen DPP PKB juga melepaskan jabatannya saat ditunjuk sebagai Menteri Ketenagakerjaan.

Siti Nurbaya, selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga ikut mencopot jabatannya sebagai Ketua DPP NasDem. Sementara Lukman Hakim Saifuddin juga merupakan Wakil Ketua Umum PPP, melepaskan jabatannya saat ditunjuk menggantikan Suryadharma Ali sebagai Menteri Agama karena kasus korupsi.

Barisan sakit hati yang panjang ini, bukan tak mungkin akan membelokkan dirinya sendiri. Jika Jokowi membiarkan menteri dari Golkar rangkap jabatan, hal tersebut bisa saja diterjemahkan oleh partai koalisi lainnya jika rangkap jabatan tak lagi berlaku. Dengan demikian, tiap kader bisa kembali aktif di ‘dua alam’, yakni di kementerian dan partai.

Nah, jika kecemburuan dan kekecewaan mengalir pelan dan senyap, bukan tak mungkin keoptimalan kerja dan komitmen akan rusak. Main mata memang mengasyikkan, namun hati-hati ketika terbawa jauh siap-siap saja bubar jalan. (Berbagai Sumber/ A27)

Exit mobile version