“Reformasi itu dicapai dengan susah payah, dengan pengorbanan darah dan nyawa manusia. Mestinya Pak Jokowi melaksanakan enam agenda reformasi.” ~Maria Katarina Sumarsih, ibu korban Semanggi I
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]ari Kamis ke Kamis, payung-payung hitam terus berjejer di depan Istana negara. Selama lebih dari satu dekade, para pejuang HAM memperjuangkan hak-hak mereka kepada penguasa. Mereka yang ditinggal pergi keluarga tanpa berita, terus meminta penjelasan kepada pemerintah. Kini, di masa 20 tahun reformasi, aksi tersebut tampak masih belum dianggap serius pihak pemerintah.
Salah satu peserta aksi, Maria Katarina Sumarsih tampak kecewa dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di 20 tahun reformasi ini. Tidak hanya kecewa karena Aksi Kamisan tidak pernah ditanggapi pemerintah, tetapi ia juga menilai Jokowi tidak pernah menyinggung peringatan 20 Tahun Reformasi.
Kekecewaan Sumarsih boleh jadi memiliki dasar. Reformasi 1998 memang sebuah peristiwa yang harus dibayar dengan nyawa dan darah banyak orang. Nyawa anaknya adalah salah satu yang terenggut dalam peristiwa bersejarah tersebut. Bagi orang seperti Sumarsih, minimnya pengakuan dari orang nomor satu di Indonesia ini tentu menyakitkan.
Jokowi tampak seperti melupakan sebuah peristiwa penting dan monumental tersebut. Padahal, jika ia mau, peristiwa ini tidak hanya bisa menjadi awal penyelesaian masalah, tetapi juga bisa ia kapitalisasi untuk pencitraannya. Mengapa Jokowi bisa luput untuk urusan ini?
Minimnya Perhatian Pemerintah
Sebenarnya Jokowi tidak benar-benar melewatkan peristiwa penting 20 tahun reformasi. Ia sempat mengirimkan ucapan selamat Hari Kebangkitan Nasional bersamaan dengan peristiwa tersebut melalui akun Twitter-nya. Meski begitu, ucapan tersebut masih tampak umum dan tidak mengglorifikasi momen penting 20 tahun tersebut.
Selain cuitannya, memang tidak ada hal lain yang dibuat oleh orang nomor satu tersebut. Tidak ada upaya khusus untuk memperingati peristiwa tersebut apalagi membuat langkah yang dapat menyelesaikan berbagai kasus kerusuhan jelang reformasi.
Mari kita maknai hari kebangkitan nasional dg kesadaran kita bangsa yg besar, bangsa pemenang, yg bisa makmur dan sejajar dg bangsa2 besar lainnya. Kuncinya adalah persatuan dalam keragaman yang ada & bekerja keras. Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2018 & 20 Tahun Reformasi -Jkw
— Joko Widodo (@jokowi) May 20, 2018
Selain itu, tidak ada pula tindakan khusus yang dilakukan oleh jajaran menteri atau orang-orang lingkar satu Istana. Umumnya, mereka hanya berkomentar bahwa Jokowi tengah bekerja dan menganggap hal ini sebagai bentuk dari upaya meneruskan cita-cita reformasi.
Hal ini tergambar misalnya dari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Mantan Panglima TNI tersebut mengatakan bahwa Jokowi tengah menjalankan agenda reformasi dengan sebaik-baiknya. Meski begitu, ia tidak merinci agenda reformasi mana yang tengah dijalankan. Misalnya saja, tidak nampak upaya penyelesaian kasus HAM sebagai salah satu agenda utama reformasi.
Terlihat bahwa peristiwa itu menjadi tidak penting di mata Jokowi dan jajaran Kabinet Kerja. Jangankan menuntaskan berbagai agenda, hal-hal yang bersifat seremonial pun tidak nampak dari pemerintah. Bagi beberapa kalangan, hal ini tergolong mengecewakan.
Panitia Bersama #20TahunReformasi misalnya, sangat berharap bahwa agenda tersebut dapat segera diselesaikan. Dalam aksinya, mereka menitipkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) kepada pemerintahan Jokowi agar agenda reformasi dapat segera tuntas. Sayang, PR tersebut terancam tidak dikerjakan karena pemerintah seperti terserang sindrom lupa reformasi.
Politik Melupakan
Ada sebuah konsep yang dikemukakan oleh Leela Fernandes, yaitu politics of forgetting atau politik melupakan. Menurut Fernandes, politics of forgetting merujuk pada proses politik diskursif di mana kelompok tertentu yang termarjinalisasi menjadi tidak terlihat di dalam budaya politik nasional yang dominan.
Negara dan masyarakat kelas tertentu memiliki peran dalam proses pelupaan terhadap masyarakat yang termarjinalisasi tersebut. Akibatnya, masyarakat yang termarjinalisasi tersebut kehilangan ruang di dalam pembicaraan politik nasional.
Jika merujuk pada pandangan Fernandes tersebut, maka lupa reformasi ala Jokowi ini bisa jadi ada sebabnya. Ada kelas-kelas masyarakat yang menikmati keuntungan di era pra-reformasi yang kini menjadi pejabat negara di bawah kendali Jokowi. Beberapa nama bahkan tergolong nama-nama top di era Orde Baru.
Salah satu yang paling terkemuka adalah Menkopolhukam, Wiranto. Di masa Orde Baru, jenderal bintang empat ini tergolong moncer karirnya dengan menjabat sebagai Panglima ABRI di tahun 1998. Di era kegemilangannya itulah, ia disebut-sebut terlibat dalam berbagai peristiwa jelang reformasi seperti kerusuhan Trisakti, Mei 1998, Semanggi I, dan Semanggi II.
Keberadaan Wiranto di dalam Kabinet Kerja membuat sejumlah pegiat HAM pesimis tragedi-tragedi di masa lalu akan diselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa Wiranto selalu menganjurkan proses rekonsiliasi sebagai solusi dari peristiwa-peristiwa berdarah tersebut.
Kontras menilai bahwa konsep rekonsiliasi ala Wiranto adalah sebuah langkah mundur. Hal ini karena rekonsiliasi yang dimaksud politikus Hanura itu cenderung akan menghilangkan proses pengungkapan kebenaran melalui pengadilan.
Kekhawatiran serupa diungkapkan oleh Amnesty International Indonesia. Menurut mereka, rekonsiliasi ini merupakan indikasi bahwa negara ingin melupakan semua kejadian pelanggaran HAM masa lalu. Berdasarkan anggapan tersebut, terlihat bahwa upaya melupakan merupakan sebuah wacana yang terencana.
Sangat wajar kemudian jika orang seperti Wiranto ingin membentuk wacana atau diskursus politik yang semakin meminggirkan korban-korban peristiwa 1998. Apalagi, menurut Kontras atau lembaga-lembaga lainnya, Wiranto memang terlibat di berbagai peristiwa jelang reformasi. Maka, lupa reformasi seperti yang diperlihatkan Jokowi bisa saja bersumber dari orang-orang seperti Wiranto.
Selama orang-orang tersebut masih memegang posisi penting di negara, orang-orang seperti Sumarsih nampaknya akan terus termarjinalisasi dan tidak mendapat ruang dalam politik nasional. Alih-alih kasusnya selesai, ada upaya untuk melupakan dari negara terhadap eksistensi diri dan beragam tragedi yang menimpa mereka.
Dulu Ingat, Sekarang Lupa
Jika ditarik ke belakang, kondisi tersebut sebenarnya sebuah ironi bagi seorang Jokowi di tahun 2014. Semasa kampanye menjelang Pilpres 2014, mantan Wali Kota Solo tersebut tergolong lebih akrab dengan isu-isu HAM dibandingkan lawannya, Prabowo Subianto.
Pada salah satu kesempatan, Jokowi bahkan pernah menggunakan isu HAM untuk menyerang Prabowo dalam debat resmi Pilpres 2014. Jokowi saat itu tampak unggul karena tidak memiliki persoalan HAM masa lalu ketimbang lawannya tersebut.
Jokowi sendiri memang memiliki janji-janji khusus terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Penyelesaian kasus-kasus besar tersebut tertuang di dalam Nawa Cita dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
[Twit Berantai]#KapanJokowiKamisan
Setiap hari akan ada 1 twit & foto dengan kampanye soal HAM bagi Presiden @jokowi untuk datang ke #AksiKamisan & yg terpenting harus menyelesaikan kasus HAM & menghapus impunitas sebagaimana janji & program aksinya di Nawacita
Yuk ikutan!
— Aksi Kamisan (@AksiKamisan) May 24, 2018
Di masa kampanye, penanganan masalah HAM adalah salah satu prioritas kebijakan utama dalam bidang hukum. Saat itu, pasangan Jokowi-JK berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Talang Sari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965. Jokowi-JK menganggap bahwa kasus HAM masa lalu adalah beban politik bagi bangsa Indonesia.
Kondisi tersebut membuat sejumlah aktivis dan pegiat HAM sempat menaruh harapan besar padanya. Beberapa pejuang HAM bahkan tidak malu untuk memberikan dukungannya di mata publik kepada mantan Gubernur Jakarta tersebut.
Lahir dari kalangan yang berbeda dari lawannya, Jokowi dianggap lebih netral dan bisa memberi solusi dari persoalan menahun tersebut. Saat itu, ada optimisme bahwa isu dan orang-orang yang terpinggirkan akhirnya mendapatkan ruang melalui Jokowi sebagai presiden.
Sayang, optimisme di tahun 2014 tersebut hanya menjadi mimpi di masa lalu. Masuknya nama-nama mentereng Orde Baru ke dalam lingkar satu Jokowi menjadi langkah kontraproduktif bagi janji-janji kampanye di bidang HAM. Suami dari Iriana tersebut seperti tiba-tiba lupa janji-janjinya akibat kehadiran orang-orang tersebut. Tidak hanya lupa, Jokowi tampak seperti berkhianat dan menjadikan isu HAM semata hanya untuk mendulang suara.
Sumarsih dan banyak korban lain sepertinya masih harus termarjinalisasi dan dilupakan dari politik nasional. Selama aktor-aktor Orde Baru masih bebas menjabat posisi penting, politics of forgetting masih akan menjadi bagian dari hidup mereka. (H33)