Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-Luhut “Diperdaya” Elon Musk?

jokowi luhut diperdaya elon musk

CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk (kiri), menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan ketika bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (tengah) di Boca Chica, Texas, Amerika Serikat (AS), pada Mei 2022 lalu. (Foto: Istimewa)

Film dokumenter From Dreams to Dust (2022) mengungkapkan dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas tambang nikel di Tapunggaeya, Sulawesi Tenggara (Sultra). Mungkinkah Indonesia telah “diperdaya” oleh kemegahan industri mobil listrik seperti Tesla yang dikomandoi CEO Elon Musk?


PinterPolitik.com

“(Dulu) masih pasir, bagus. Sekarang sudah merah” – Pola, From Dreams to Dust (2022)

Kita semua tahu bahwa film merupakan sebuah media visual – biasanya juga disertai audio – yang menyampaikan sebuah cerita (story) yang menghibur dan menggugah. Tanpa disadari, film turut mengundang reaksi dari para penontonnya.

Salah satu film Indonesia yang paling baru yang berjudul Ngeri-Ngeri Sedap (2022), misalnya, bisa membuat para penonton terhanyut dengan kisah sedih, drama, dan tema yang diangkat oleh film yang disutradarai Bene Dion ini.

Dalam film itu, diceritakan bagaimana sepasang orang tua berusaha meyakinkan anak-anaknya yang telah merantau untuk pulang ke kampung halaman. Di sinilah, letak story yang disajikan Ngeri-Ngeri Sedap bisa membuat banyak penontonnya merasa relate – khususnya mereka yang sudah lama merantau tanpa bisa bertemu dengan keluarga di kampung halaman.

Nah, kebanyakan film yang bagus dan berhasil menarik perhatian adalah film yang menyajikan stories yang relatable bagi banyak orang. Selain dua film di atas, mungkin ada film lain yang juga bisa membuat merasa orang relate, yakni sebuah film dokumenter yang berjudul From Dreams to Dust (2022).

Film yang disutradarai oleh Stephanie Tangkilisan, BA, MA, dan ko-sutradara bernama Muhammad Fadli tersebut mengikuti cerita seorang mantan nelayan yang beralih profesi menjadi sopir yang bernama Pola di tambang nikel yang terletak di desa Tapunggaeya, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Pola dan keluarganya akhirnya harus menghadapi situasi yang berbeda setelah perusahaan tambang nikel tiba di desa mereka. Ancaman-ancaman bencana alam – seperti banjir dan tanah longsor – menjadi kekhawatiran konstan yang mereka rasakan ketika hujan deras turun. 

Mungkin, perasaan sedih yang relatable inilah yang kemudian muncul di benak para hadirin dalam Bedah Ilmiah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20 Oktober 2020, lalu. 

Dalam kegiatan yang mengundang Stephanie Tangkilisan sebagai pakar film dokumenter tersebut, dijelaskan bagaimana industri mobil listrik yang kerap digadang menjadi solusi atas perubahan iklim ternyata tidak sebersih itu. “Ada cost (sosial dan lingkungan) yang dibayarkan,” ungkap Stephanie kepada para peserta mahasiswa dan mahasiswi UIN Jakarta.

Bukan tidak mungkin, fakta yang diungkapkan oleh Stephanie melalui film tersebut sebenarnya adalah kenyataan “gelap” yang selama ini membayangi Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri – melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan – juga berusaha mendekati CEO Tesla Elon Musk yang memang mengatakan bahwa perusahaannya membutuhkan lebih banyak nikel.

Menariknya lagi, mengacu pada pernyataan Luhut, Musk juga disebut telah sepakat untuk membeli nikel dari Indonesia. Sayangnya, pembelian itu justru tidak melalui pemerintah Indonesia.

Cukup ironis apabila akhirnya hilirisasi nikel malah berujung pada kerusakan lingkungan yang juga malah tidak melibatkan pemerintah Indonesia yang seharusnya bertanggung jawab pada masyarakat – termasuk penduduk sekitar pertambangan.

Mengapa ini semua bisa terjadi? Pola politik apa yang sebenarnya melatar-belakangi fenomena ini? Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah terhadap persoalan nikel ini?

“Diperdaya” Elon Musk?

Kehadiran perusahaan-perusahaan asing dalam pertambangan minyak dan mineral seperti nikel sebenarnya bukanlah hal baru di dunia. Ini seakan-akan sudah menjadi sebuah sistem dan cara kerja dunia, termasuk di Indonesia.

Terdapat sebuah teori menarik yang dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein dalam tulisannya yang berjudul “World-systems Analysis” dalam buku World System History. Melalui teori itu, Wallerstein membagi dunia menjadi tiga macam negara, yakni negara core, negara semi-periphery, dan negara periphery.

Klasifikasi ala Wallerstein ini didasarkan pada pola hubungan yang terjalin di antara negara-negara tersebut. Negara-negara core adalah negara-negara maju dan industrial yang menjadi pusat tersebarnya modal (kapital) hingga mencapai dominansi dalam ekonomi – mulai dari produktivitas, fnansial, hingga perdagangan.

Sementara, negara-negara periphery adalah negara yang memiliki posisi yang lebih lemah dalam hal ekonomi. Disertai dengan institusi negara yang lemah serta kesenjangan sosial yang menganga, negara periphery biasanya menjadi tempat di mana negara-negara core mendapatkan barang-barang mentah (raw materials).

Terakhir, ada juga negara-negara semi-periphery. Negara-negara ini merupakan negara-negara berkembang yang mulai melakukan industrialisasi. Meski begitu, negara-negara ini masih memiliki sejumlah karakteristik seperti negara periphery.

Indonesia sendiri – mengacu pada tulisan Jason P. Abbott yang berjudul Economic Development in the East Asian (Semi)Periphery: Reintroducing Dependency as a Conceptual Tool of Analysis – merupakan negara yang dikategorikan dalam klasifikasi negara semi-periphery.

Ekstraksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing terhadap nikel di Indonesia bisa jadi menunjukkan bagaimana Indonesia menjadi salah satu negara semiperiphery yang turut dikeruk raw materials-nya. Tesla yang disebut telah sepakat membeli nikel Indonesia, misalnya, merupakan perusahaan yang berasal dari negara core, yakni Amerika Serikat (AS).

Belum lagi, selain Tesla, masih banyak juga perusahaan-perusahaan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang juga melakukan aktivitas pertambangan di sejumlah daerah di Sulawesi. Beberapa di antaranya adalah Tsangshan Steel Holding dan Huayou Cobalt.

Jika Indonesia akhirnya malah menjadi negara semi-periphery dengan masuknya perusahaan-perusahaan tambang nikel, bukan tidak mungkin masyarakat setempat malah semakin terpinggirkan kepentingannya. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna mengatasi persoalan seperti yang dialami Pola di Tapunggaeya?

Masa Depan Nikel ala Jokowi-Luhut?

Di masa mendatang, nikel disebut-sebut akan menjadi salah satu komoditas terpenting di dunia. Dalam skenario yang mana dunia mencapai emisi net-zero, kendaraan bertenaga listrik akan semakin diandalkan sebagai moda transportasi – baik kendaraan pribadi maupun angkutan publik seperti bus listrik yang sudah mulai digunakan di Jakarta.

Setidaknya, pandangan soal bagaimana nikel bisa menjadi “minyak” baru ini diungkapkan oleh CEO Tesla sendiri, yakni Elon Musk. Tidak hanya Musk, Lukas Boer, Andrea Pescatori, Martin Stuermer, dan Nice Valckx dalam tulisan mereka yang berjudul Metals May Become the New Oil in Net-zero Emissions Scenario juga mengatakan demikian.

Logam seperti nikel akan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Ini disebabkan oleh bagaimana teknologi-teknologi rendah emisi seperti kendaraan bertenaga listrik lebih membutuhkan logam daripada kendaraan-kendaraan bertenaga bahan bakar fosil.

Mungkin, inilah mengapa Jokowi dan Luhut begitu gencar dengan kebijakan-kebijakan hilirisasi nikel – menekankan pada bagaimana logam-logam mentah tersebut diproses menjadi nikel di dalam negeri.

Namun, bila pemerintah Indonesia memang ingin mengoptimalkan kesempatan emas ketika nikel menjadi “minyak” baru, apa yang perlu dilakukan bila ternyata industri tambang nikel justru merugikan masyarakat dan lingkungan?

Bila memang nikel adalah “minyak” baru, mungkin kita bisa membandingkannya dengan politik ekonomi minyak itu sendiri. Pasca-Perang Dunia II, banyak negara-negara penghasil minyak – khususnya negara-negara Timur Tengah dan Amerika Latin – membuka sumur-sumurnya kepada perusahaan-perusahaan asing.

Namun, keterbukaan ini perlahan berubah pada beberapa dekade berikutnya, yakni sekitar tahun 1970-an. Manfaat yang diinginkan oleh negara-negara dunia ketiga ini – seperti efek trickle-down (manfaat ekonomi yang turut diturunkan kepada masyarakat kelas bawah dari aktivitas ekonomi kelas atas) – ternyata tidak sepenuhnya terwujud.

Mengacu pada penjelasan Paul Stevens dalam tulisannya yang berjudul National Oil Companies and International Oil Companies in the Middle East: Under the Shadow of Government and the Resource Nationalism Cycle, negara-negara ini akhirnya memiliki justifikasi politik untuk menerapkan kebijakan yang lebih memihak kepada mereka sendiri. Pasalnya, perusahaan-perusahaan asing dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat.

Sebenarnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh negara semi-periphery dan periphery, yakni dengan membuat regulasi agar efek trickle-down tersebut bisa terjadi. Namun, berdasarkan justifikasi tersebut, negara-negara penghasil minyak ini akhirnya menggunakan solusi lain, yakni nasionalisme sumber daya alam (resource nationalism).

Caranya adalah dengan melakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan minyak asing. Salah satu negara Timur Tengah yang melakukan langkah ini adalah Iran, yang mana kini sering menggunakan minyak bumi sebagai salah satu instrumen dalam mempengaruhi politik internasional – disertai dengan keuntungan geografis seperti Selat Hormuz. 

Bukan tidak mungkin, bila skenario net-zero di masa depan sepenuhnya terwujud, Indonesia bisa menggunakan nikel sebagai keping dalam tawar-menawar (bargaining chip) dengan perusahaan asing dan negara-negara lain. Lagipula, persoalan sosial dan ekonomi masyarakat juga perlu menjadi perhatian pemerintah – menciptakan justifikasi politik untuk memainkan politik tawar-menawar dengan pihak-pihak tersebut. 

Apalagi, dampak-dampak lingkungan yang disebabkan nikel bisa saja sulit – mungkin bahkan tidak bisa – dikembalikan seperti semula (irreversible). Kalau bukan pemerintah kita sendiri yang peduli, lantas, siapa lagi? (A43)


Exit mobile version