Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Luhut dan Political Amnesia

Jokowi, Luhut dan Political Amnesia

Jokowi dan Luhut (Foto: Karna.id)

Kunjungan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan ke pabrik perakitan kendaraan listrik Tesla mencuri perhatian banyak pihak. Selain karena pertemuannya dengan orang terkaya di dunia sekaligus pendiri Tesla, Elon Musk, keberadaan Luhut di momen tersebut menandai posisi pentingnya di kabinet Presiden Jokowi. Luhut juga menjadi simpul sosok pengusaha dan militer yang masih punya posisi penting dalam pemerintahan saat ini. Menariknya, dalam sejarah republik ini, banyak kali kekuasaan berkelindan dengan militer dan pengusaha – fakta yang kerap dilupakan.


PinterPolitik.com

“Democracy is when the indigent, and not the men of property, are the rulers”.

::Aristotle (184-322 SM)::

Selain berbicara soal industri mobil listrik, Luhut memang juga mengundang Elon Musk untuk hadir dalam rangkaian acara G20 yang akan terjadi pada November 2022 mendatang. Posisi undangan itu penting karena Indonesia memang sedang ada dalam posisi menjadi tuan rumah dari forum penting ini.

Jelas, Presiden Jokowi sangat mempercayai Luhut, sehingga Menko Maritim dan Investasi itulah yang diminta untuk bertemu Musk. Ini juga jadi pembuktian posisi penting Luhut di hampir semua kebijakan-kebijakan besar yang dibuat oleh Presiden Jokowi.

Jika mengikuti pemberitaan dalam 2 tahun terakhir, setidaknya Luhut telah berperan besar dalam penanganan pandemi Covid-19, urusan investasi dari negara macam Tiongkok, perbaikan ekonomi, hingga yang beberapa waktu terakhir jadi perbincangan utama terkait narasi presiden 3 periode.

Dari semua isu tersebut, narasi 3 periode mungkin menjadi poin yang paling terasa nuansa negatifnya dari kehadiran Luhut yang mendorong isu tersebut. Ini karena 3 periode adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998 – sebuah tonggak bersejarah ketika rezim otoritarian yang militeristik berhasil ditumbangkan oleh darah dan air mata.

Isu ini pulalah yang menjadi simpul pertanyaan besar yang diajukan terhadap kekuasaan Presiden Jokowi: apakah kita sudah melupakan sejarah dan pengalaman-pengalaman buruk di masa lampau?

Bukan tanpa alasan, kondisi di mana indeks demokrasi yang terus menurun, ketiadaan oposisi kekuasaan yang seimbang, kebebasan dan hak masyarakat sipil yang tergerus dan berbenturan dengan kepentingan kekuasaan, dan lain sebagainya, adalah bukti nyata amnesia politik terhadap sejarah masa lampau. Tak heran, beberapa pengamat menilai era Jokowi adalah pemerintahan terkuat pasca Reformasi 1998.

Dengan faktor keberadaan Luhut dalam kekuasaan – di mana ia pun terlibat benturan dengan beberapa aktivis macam Haris Azhar dalam kasus tambang di Papua – tentu pertanyaannya adalah apakah memang Indonesia sedang mengalami political amnesia alias amnesia politik?

Badai Political Amnesia

Istilah political amnesia salah satunya pernah ditulis oleh editor untuk media Australia Financial Review, Laura Tingle, dalam esainya berjudul Political Amnesia: How We Forgot To Govern untuk jurnal Quarterly Essay. Dalam esai yang terbit tahun 2015 tersebut, Tingle berargumentasi soal pemerintahaan Australia yang disebutnya lupa bagaimana caranya memimpin.

Ia berangkat dari bagaimana dalam kurun waktu 5 tahun antara 2010-2015, Australia mengalami pergantian Perdana Menteri sebanyak 5 kali. Tokoh-tokoh yang terpilih pun dianggap tak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga seolah menghapus memori kebesaran kepemimpinan di Australia, katakanlah di era Perang Dingin lewat sosok macam Robert James Lee Hawke dan Paul John Keating.

Tingle menyebut bahwa memori soal kepemimpinan politik ini seolah menghilang karena adanya perubahan yang terjadi secara institusional, salah satunya dengan makin kuatnya posisi macam ministerial advisers atau para penasehat kekuasaan. Hubungan yang tidak seimbang dan tidak efektif di antara para pemangku kekuasaan, pada akhirnya memang membuat kepemimpinan di Australia seolah berjalan dalam garis waktunya sendiri dan lupa pada bagaimana negara itu dipimpin di masa lalu.

Dalam konteks yang berbeda, terminologi political amnesia itu mungkin cocok juga untuk dipakai sebagai refleksi kekuasaan di Indonesia saat ini. Sosok Luhut misalnya, mungkin bisa dianggap sebagai semacam adviser untuk kekuasaan Jokowi, sekaligus influencer yang ikut menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sang presiden.

Konteks amnesia itu juga bisa ditafsirkan dalam kaitannya dengan sejarah kekuasaan di Indonesia. Jelas ada upaya untuk membuat masyarakat lupa bagaimana kekuasaan pernah berjalan tanpa kontrol dan batasan di era Soeharto misalnya.

Dengan demikian, narasi 3 periode yang dibawa Luhut dengan klaim big data yang dipunyainya adalah upaya untuk membuat masyarakat lupa bagaimana kekuasaan yang tak terkontrol pernah berefek sangat dalam dan mengakar di kehidupan masyarakat Indonesia hingga hari ini. Masyarakat dipaksa untuk melupakan kondisi ketika kekuasaan tidak dibatasi dan menjadi absolut.

Tentu pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?

Lupa atau Sengaja Lupa?

Ada 2 jawaban atas pertanyaan terkait alasan political amnesia di Indonesia bisa terjadi. Pertama, jika berkaca dari Reformasi 1998, sebetulnya apa yang terjadi saat ini sudah bisa diprediksi. Kita tahu bahwa Reformasi 1998 adalah sebuah political revolution atau revolusi politik yang hanya mengganti struktur kekuasaan di pucuk tertinggi saja.

Meminjam kata-kata Leon Trotsky dan poin pandangannya soal revolusi, Reformasi 1998 bukanlah revolusi sosial atau revolusi permanen yang mengganti keseluruhan struktur ekonomi dan politik dalam masyarakat. Poin ini penting untuk melihat apakah konteks kekuasaan antara Orde Baru dan era saat ini memiliki pembeda yang signifikan.

Saat ini memang telah ada demokrasi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat juga dilindungi. Namun, jika berkaca dari struktur ekonomi dan politik, kondisi saat ini sebetulnya tak jauh berbeda dibandingkan era Soeharto. Keberadaan oligarki politik masih menjadi intisari yang mempengaruhi keberlangsungan kekuasaan.

Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University pernah mengatakan bahwa Reformasi 1998 hanya membuat para oligarki berkuasa dari era Orde Baru “mengganti baju” mereka dengan yang lebih baru. Padahal isi dan pengaruh mereka tetaplah sama. Maka, tak heran, cukup gampang pembalikan narasi dilakukan, katakanlah dengan merujuk pada apa yang terjadi di era Soeharto. Narasi 3 periode adalah salah satunya.

Sementara alasan kedua adalah karena konteks karakteristik dari kekuasaan itu sendiri. Dr. Dacher Keltner memperkenalkan istilah power paradox atau paradoks kekuasaan. Ini adalah kondisi psikologis yang terjadi dan mengubah cara berpikir kepemimpinan seseorang.

Dalam demokrasi misalnya, seorang penguasa awalnya terpilih lewat sebuah proses politik yang demokratis, mengedepankan asas-asas sosial, mendapatkan empati dari masyarakat, menjunjung keadilan dan fairness, serta mendorong kekuasaannya sebagai wujud dari kolaborasi. Sang pemimpin pun mendorong agar hal-hal tersebut tetap terjadi.

Namun, ketika sudah terpilih, pandangan terhadap kekuasaan menjadi berubah. Akibatnya, lahir sifat impulsif, self-serving action atau tindakan yang menguntungkan diri sendiri, lalu semua fairness dan keadilan seolah terlupakan. Konteks kelupaan – atau pada konteks ini bisa kita anggap sebagai amnesia – lahir karena paradoks dari kekuasaan itu sendiri.

Dengan demikian, memang tak perlu heran jika fenomena seperti ini bisa terjadi pada pemerintahan Jokowi saat ini. Dua alasan tersebut – baik soal tak adanya perubahan struktur ekonomi-politik dan masalah paradoks kekuasaan – memang membuat kekuasaan menjadi gampang lupa.

Yang terpenting bagi masyarakat adalah tetap kritis dan selalu melihat setiap fenomean politik yang terjadi dari sudut gambaran besarnya. Bagaimanapun juga, demokrasi masih menjadi jalan penting bagi pemenuhan hak-hak masyarakat. Sebab, seperti kata mantan Gubernur New York, Al Smith: “All the ills of democracy can be cured by more democracy”. (S13)

Exit mobile version