Meski banyak pihak mengontraskannya dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam dinamika politik, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tetap saja mengucapkan terima kasih kepada sang presiden dalam grand launching Jakarta International Stadium (JIS) beberapa waktu lalu. Mengapa ucapan ini sebenarnya bisa memiliki implikasi politis yang lebih luas?
“Jangan benci bilang cinta. Jangan marah bilang sayang. Jangan mendustai hati bila engkau memang suka” – Radja, “Benci Bilang Cinta” (2006)
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa banyak penonton televisi (TV) di Indonesia menyukai kisah-kisah drama yang disajikan di sinetron dan film TV (FTV). Meskipun terkadang kisah-kisah yang dibangun terdengar absurd, sejumlah masyarakat tetap menggemarinya – mulai dari ibu-ibu hingga sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Terlepas dari alasan di balik kegemaran terhadap sinetron ini, ada satu alur kisah yang kerap dan mudah ditemui dalam produk-produk budaya populer ini. Tanpa disadari, salah satu klise tersebut adalah fenomena “benci jadi cinta”.
Berapa kali coba penonton sinetron dan FTV menjumpai kisah cinta yang bermula dari kecelakaan kecil – misal ditabrak oleh sang calon kekasih? Atau, mungkin, juga bisa dijumpai beberapa kisah cinta yang bermula dari “permusuhan” yang mulanya membuahkan rasa benci pada satu sama lain – tetapi ujung-ujungnya juga cinta.
Banyak judul sinetron sebenarnya memiliki alur demikian – mulai dari Benci Jadi Cinta (2006-2007), Benci Bilang Cinta (2006-2007), Cinderella (Apakah Cinta Hanyalah Mimpi?) (2007), Siapa Takut Jatuh Cinta (2017-2018), Cinta Tapi Benci (2020), dan masih banyak lagi. Beberapa sinetron ini juga dibintangi oleh bintang-bintang ternama, seperti Cinta Laura dan Baim Wong.
Mungkin, banyaknya tema-tema “benci jadi cinta” dalam sinetron-sinetron ini menunjukkan bagaimana sebenarnya preferensi penonton soal alur kisah yang paling laku. Bukan tidak mungkin, kisah-kisah seperti inilah yang paling didambakan oleh masyarakat agar bisa terjadi di dunia nyata.
Nah, bagaimana kalau alur kisah demikian bisa terjadi – katakanlah antara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan? Pasalnya, meski kerap dikontraskan satu sama lain, fenomena-fenomena kedekatan antara keduanya terkadang terjadi.
Kala berpidato di grand launching Jakarta International Stadium (JIS), misalnya, Anies mengucapkan terima kasih kepada presiden karena telah mempercayai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menyelesaikan proyek stadium tersebut. Tidak hanya sekali, Anies juga pernah berterima kasih kepada Jokowi kala sempat menghadiri perhelatan Formula E pada awal Juni 2022 lalu.
Tentu, fenomena-fenomena ini bakal menimbulkan banyak tanya ketika banyak pendukung masing-masing justru saling mengolok satu sama lain. Apakah mungkin ini bentuk fenomena “benci jadi cinta” layaknya apa yang banyak dijumpai di sinetron dan FTV?
Bila memang keduanya adalah musuh dalam politik, lantas, mengapa Anies merasa perlu untuk mengucapkan terima kasih kepada Jokowi? Mungkinkah ada implikasi strategis dari ucapan-ucapan terima kasih Anies?
Speech Act ala Anies?
Ada sebuah ungkapan menarik yang datang dari Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin Delano Roosevelt (FDR). Kata beliau, “dalam politik, tidak ada hal yang terjadi secara tidak sengaja. Bila sesuatu terjadi, kalian bisa bertaruh bahwa itu telah direncanakan demikian.”
Bukan tidak mungkin, hal yang sama juga berlaku bagi ucapan terima kasih yang dilontarkan Anies kepada Jokowi. Boleh jadi, ucapan terima kasih itu memiliki makna-makna tertentu di baliknya.
Manuver-manuver politis yang diungkapkan melalui ucapan seperti ini bisa diamati dengan menggunakan speech act theory. Speech act sendiri merupakan sebuah frasa yang digabungkan dari kata “speech” yang artinya “bicara” dan “act” yang artinya “tindakan”.
Jadi, secara tidak langsung, sebuah speech act merupakan upaya untuk berbicara sekaligus menciptakan tindakan – utamanya reaksi yang ditimbulkan pada pendengar atau penonton. Mengacu pada penjelasan Mitchell Green dalam tulisannya yang berjudul Speech Acts, speech act merupakan ucapan yang digunakan untuk mengekspresikan (perform): permintaan, peringatan, undangan, janji, permintaan maaf, prediksi, dan sebagainya.
Bukan tidak mungkin, ucapan terima kasih Anies kepada Jokowi juga mengandung ekspresi tertentu. Ini pun bisa dijelaskan secara lebih mendalam dengan berbagai tingkatan speech act.
Tingkatan speech act yang pertama adalah locutionary act. Speech act tingkat ini merupakan ungkapan yang mengandung makna sebenarnya. Artinya, bila Anies mengucapkan terima kasih, bisa jadi sang gubernur memang ingin mengucapkan terima kasih.
Tingkat yang kedua adalah illocutionary act. Pada tingkat ini, pemberi speech act memiliki makna dan permintaan tersembunyi yang diikutkan pada ungkapannya secara implisit. Boleh jadi, Anies memberi pesan-pesan tersembunyi di balik ucapan terima kasihnya.
Pada tingkat yang ketiga, Anies bisa saja – baik secara langsung atau tidak langsung – membuat penerima pesan speech act melakukan sesuatu yang diinginkan. Speech act pada tingkatan ini disebut sebagai perlocutionary act – dengan tujuan seperti untuk mengajak, meyakinkan, menakuti, mencerahkan, menginspirasi, dan sebagainya.
Tentu, hanya Anies sendiri yang benar-benar tahu pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikannya. Namun, bila benar ucapan terima kasih Anies kepada Jokowi adalah sebuah speech act, bukan tidak mungkin ini juga berkaitan dengan dinamika politik elektoral yang semakin ramai menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Apalagi, Anies digadang-gadang menjadi salah satu calon presiden (capres) paling potensial untuk diusung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Peran Jokowi – dan sejumlah partai politik (parpol) di belakang Jokowi – bisa jadi menentukan nasib karier politik Anies.
Bagaimana sebenarnya speech act ala Anies ini bisa berkaitan dengan Jokowi? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Anies kepada Jokowi? Lantas, apa dampak yang bisa timbul dasri speech act demikian?
Anies dan Jokowi, Sebuah Love-Hate Relationship?
Ucapan terima kasih Anies kepada Jokowi secara tidak langsung turut menggambarkan bagaimana sebenarnya dinamika politik berjalan di antara kedua sosok ini. Mungkinkah keduanya sebenarnya memiliki hubungan yang dekat meski banyak pihak menyebutkan bahwa mereka berada di dua kubu politik yang bersebarangan?
Mungkin, dinamika hubungan antara Jokowi dan Anies bisa diamati melalui tiga hal – khususnya mengapa speech act melalui ucapan terima kasih dilakukan Anies. Gubernur DKI Jakarta tersebut bisa jadi memiliki sejumlah alasan.
Pertama, ucapan terima kasih Anies kepada Jokowi bisa jadi cara Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk melakukan pre-emptive strike (serangan yang mendahului) – sebuah konsep yang biasanya digunakan dalam dunia militer untuk memutus potensi ancaman.
Speech act tersebut bisa jadi cara Anies untuk menghalau potensi ancaman dari kubu-kubu politik lawannya, misal PDIP dan PSI. Dua parpol ini kerap mengkritik Anies soal kebijakan-kebijakan besarnya – seperti Formula E dan JIS sendiri yang disebut-sebut didukung oleh inisiatif pemerintahan Jokowi.
Kedua, boleh jadi, speech act Anies kepada Jokowi merupakan perwujudan dari strategi politik dalam jangka panjang. Pasalnya, seperti yang telah diketahui, Anies merupakan capres potensial – yang bisa juga didukung oleh Jokowi.
Presiden Jokowi disebut-sebut sedang mencari penerus – dengan munculnya sejumlah koalisi dan manuver kelompok relawan – yang mampu meneruskan kebijakan dan warisannya. Mulanya, dukungan Jokowi di Pilpres 2024 disinyalir mengarah pada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Namun, karier politik Ganjar masih bergantung pada PDIP – yang mana menunjukkan ketidaksukaan mereka pada manuver-manuver politik Ganjar. Anies yang tidak terikat dengan parpol mana pun tentu bisa jadi jawaban bagi Jokowi.
Ketiga, Jokowi dan Anies sendiri sebenarnya memiliki hubungan interpersonal yang dekat – setidaknya pada Pilpres 2014 silam. Anies yang kala itu menjadi bagian dari tim kampanye justru menjadi andalan Jokowi.
Terdapat sebuah cerita yang mengatakan bahwa ketika Jokowi bersiap-siap dalam sebuah kampanye. Saat itu, Jokowi hanya ingin bertemu dengan Anies untuk dimintai saran.
Pengalaman interpersonal ini bukan tidak mungkin menjadi bekal bagi keduanya untuk menjalin hubungan politik yang saling menguntungkan – katakanlah pada Pilpres 2024 mendatang. Di sisi lain, dinamika elektoral yang terjadi saat ini juga bisa menguntungkan keduanya.
Mungkin, mirip lirik lagu “Benci Bilang Cinta” (2006) dari Radja di awal tulisan, ini sudah saatnya Jokowi dan Anies perlu berhenti untuk mendustai hati (bila keduanya memang suka). Bukan begitu?
Namun, Jokowi tentu bukanlah satu-satunya pihak yang perlu didekati Anies. Di tengah perbedaan pandangan soal capres yang diusung di internal PDIP, mungkin ini juga jadi kesempatan Anies untuk mendekati partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut. (A43)