Bertolak dari lonjakan kasus Covid-19, berbagai pihak mendesak pemerintah menerapkan lockdown. Namun dalam pidato terbarunya, Presiden Jokowi tampak secara halus menolak usulan tersebut. Apakah opsi lockdown memang tidak mungkin diambil?
“Could you imagine looking at a magnificent rainbow and complaining that one of the colors wasn’t perfect?” – Mel Schwartz L.C.S.W., dalam The Problem with Perfection: Why would you seek being perfect?
Di bulan Maret 2020, berbagai pihak mendorong pemerintah menerapkan lockdown untuk memutus penularan Covid-19. Namun, seperti yang diketahui, saran tersebut berujung pada pergantian istilah menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapannya pun tarik-ulur dan terkesan setengah-setengah.
Kini, di tengah lonjakan kasus Covid-19, khususnya setelah varian Beta dan Delta yang lebih menular masuk, saran untuk melakukan lockdown kembali menggema.
Baca Juga: Mengapa PSBB Anies Ditentang Pusat?
Terlihat geram dengan situasi yang ada, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono bahkan menyebut Indonesia telah lama dalam kondisi herd stupidity. Jika herd immunity adalah imunitas komunal, herd stupidity adalah kebebalan komunal.
Ini karena Pandu melihat telah lama perilaku masyarakat dan pejabat yang tidak optimal menerapkan 5M dan juga terdapat pihak yang menolak vaksinasi. Mobilitas yang tinggi juga mendorong replikasi virus, memperbanyak diri dan berubah menjadi lebih mudah menular.
Kembali pada saran lockdown, dalam keterangan terbarunya, Presiden Jokowi tampak menolak saran tersebut secara halus. Menurutnya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro dan lockdown memiliki esensi yang sama. Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, dan politik, PPKM Mikro dinilai sebagai kebijakan yang paling tepat untuk menghentikan laju penularan Covid-19.
Lantas, apakah lockdown bukanlah opsi yang mungkin untuk diambil? Lalu, apakah ini semakin mempertegas preferensi pemerintah pada ekonomi?
Kondisi yang Ada
Dengan melihat konteks dan dinamikanya, tampaknya terdapat perbedaan antara penolakan penerapan lockdown di awal pandemi dengan saat ini. Di awal pandemi, penolakannya lebih ke kesalahan kalkulasi. Pasalnya, saat itu, dengan penularan yang masih rendah dan anggaran yang masih mencukupi, jika Jakarta di-lockdown selama satu sampai tiga bulan, kasus Covid-19 mungkin tidak seperti sekarang.
Sementara saat ini, persoalannya mungkin lebih karena mempertimbangkan realitas kemampuan yang ada. Saat ini penularan telah menyebar ke seluruh daerah. Jika ingin melakukan lockdown, ada tiga tantangan hebat, yakni anggaran, data dan aparat.
Seperti yang pernah ditegaskan Presiden Jokowi pada 22 April 2020, untuk Jakarta saja dibutuhkan anggaran Rp 550 miliar per hari. Dengan kondisi ekonomi saat ini, sekiranya pemerintah tidak memiliki anggaran sebesar itu.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), utang pemerintah disebut telah lebih dari Rp 6.000 triliun, tepatnya Rp 6.527,29 triliun. Bahkan BPK memiliki kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
Bayangkan saja, rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen. Ini melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi International Moneter Fund (IMF) sebesar 90 hingga 150 persen.
Terkait persoalan anggaran, mungkin ada yang menyebut alokasi anggaran, misalnya dengan menyetop proyek infrastruktur. Ya, katakanlah itu dilakukan dan didapatkan dana sekian triliun, masalah selanjutnya adalah data. Kasus bansos kemarin dengan jelas memperlihatkan bagaimana kacaunya data pemerintah.
Pada 30 April, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini bahkan datang ke KPK untuk melaporkan 21 juta data ganda penerima bansos. Coba bayangkan, dengan data yang masih kacau, anggaran sekian triliun tersebut akan kembali mengulang kesalahan kemarin, akan banyak bansos tidak tepat sasaran.
Kemudian terkait aparat, fenomena mudik kemarin adalah bukti kuat bagaimana aparat tidak mencukupi jika lockdown dilakukan, apalagi se-Indonesia. Di kasus berhasilnya lockdown di Tiongkok, sala satu kuncinya adalah penurunan aparat militer untuk mengamankan kondisi. Selain itu, birokrasi di negeri Tirai Bambu begitu efisien, tidak seperti Indonesia.
Ketiga kondisi tersebut mendorong kita untuk melihat pemikiran pragmatisme dari filsuf Amerika-Jerman, Nicholas Rescher. Dalam bukunya The Pragmatic Vision: Themes in Philosophical Pragmatism, Rescher memberikan pembelaan penting terkait berbagai kritik keras terhadap metode induksi yang digunakan dalam ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan metode deduksi yang menarik kesimpulan berdasarkan rangkaian struktur premis, induksi adalah metode penarikan kesimpulan yang menitikberatkan pembuktian tesis berdasar pada observasi empiris.
Yang menjadi persoalan adalah, terdapat gap yang begitu lebar antara objek yang telah berhasil diobservasi dengan realitas itu sendiri. Artinya, induksi memiliki masalah fundamental karena telah melakukan reduksi realitas.
Baca Juga: Lockdown Tak Mungkin Dipilih Jokowi
Roberto Gronda dalam tulisannya Nicolas Rescher, Pragmatism. The Restoration of Its Scientific Roots; The Pragmatic Vision. Themes in Philosophical Pragmatis menyebutkan Rescher melihat induksi sebagai alat (tool) yang mungkin bukan jawaban terbaik yang ada (best possible answer) tapi merupakan jawaban terbaik yang tersedia (best available answer).
Lengkapnya, induksi adalah jawaban terbaik yang tersedia berdasarkan bukti yang tersedia (best available answer based on available evidences).
Dengan kata lain, memang benar induksi telah melakukan reduksi realitas, sehingga mungkin saja kesimpulan yang didapatkan tidak representatif. Namun, berdasarkan bukti-bukti yang saat ini tersedia, itulah kesimpulan yang paling mungkin didapatkan.
Menurut Gronda, Rescher hendak memberikan jalan tengah atas masalah keterbatasan manusia dalam menjembatani kesenjangan antara data parsial yang telah didapatkan dan pengetahuan obyektif yang hendak dituju.
Merefleksikan penjelasan Rescher, dengan melihat kondisi pemerintah saat ini, mungkin benar PPKM Mikro bukanlah jawaban terbaik, namun itulah best available answer yang ada.
Namun, meskipun telah dipaparkan berbagai keadaan yang ada, tetap saja akan ada yang mendorong penerapan lockdown, misalnya dengan mengacu pada teori atau kewajiban negara dalam menjaga warganya yang tertuang di konstitusi.
Lantas, mengapa dorongan semacam itu tetap ada?
The Impossibility of Perfection
Penjelasan Rescher tidak hanya dapat direfleksikan untuk memahami keputusan pemerintah, melainkan juga dapat menjadi jawaban atas paradoks yang disebut dengan the impossibility of perfection atau ketidakmungkinan kesempurnaan.
Kendati konsep tersebut lebih ditujukan untuk menjelaskan persoalan etis, di mana pencarian kebahagiaan atau nilai yang sempurna dipandang sebagai proyek yang mustahil, impossibility of perfection pada dasarnya terjadi di berbagai lini kehidupan manusia.
Dalam lingkup politik, impossibility of perfection kerap terjadi. Pada persoalan distribusi kekayaan, misalnya, sampai saat ini belum ditemukan metode untuk membagi kekayaan secara merata, namun kritik atas kesetaraan kekayaan selalu dielukan.
Bahkan, katakanlah negara secara paksa membagi kekayaan kepada setiap warganya, itu memiliki konsekuensi moral tersendiri karena mereka yang bekerja keras merasa diberlakukan diskriminatif karena mereka yang bermalas-malasan mendapatkan imbalan yang setara. Para libertarian adalah para penolak tersebut.
Mel Schwartz L.C.S.W. dalam tulisannya The Problem with Perfection: Why would you seek being perfect? menyebut sulit bagi manusia untuk secara proporsional memahami kesempurnaan dan kekurangan. Pasalnya, kedua hal itu sulit dipahami secara bersamaan.
Baca Juga: Chaos Lockdown India Hantui Indonesia?
Seperti pertanyaan Schwartz di awal tulisan, mungkinkah dalam satu waktu kita kagum dengan pelangi, sekaligus mengkritik salah satu warnanya? Sekiranya sangat sulit. Sama halnya jika kita telah melihat sesuatu yang ideal, misalnya lockdown harus dilakukan. Pandangan ideal itu akan membuat kita sulit melihat kekurangan yang ada, seperti anggaran, data, aparat, dan birokrasi.
Mengadopsi the impossibility of perfection dan pembelaan Rescher terhadap induksi, dapat kita gunakan untuk memahami situasi Presiden Jokowi saat ini. Suka atau tidak, mantan Wali Kota Solo itu tengah di kondisi serba salah.
Jika tidak lockdown, penularan sulit ditekan. Namun jika lockdown, ekonomi akan terpukul. Masalahnya, itu lebih besar menghantam ekonomi menengah ke bawah yang merupakan mayoritas. Tidak hanya ekonomi, pukulan terhadap ekonomi juga dapat berubah menjadi gejolak politik karena akan lahir ketidakpuasan meluas di tengah masyarakat.
Pada akhirnya, mungkin kita perlu melihat masalah ini secara proporsional. Dengan segala kekurangannya, mungkin inilah kebijakan terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Semoga. (R53)