Sejak Januari 2020, Presiden Jokowi menerapkan larangan ekspor nikel yang membuat Uni Eropa mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO). Apakah terdapat lobi Tiongkok di balik keputusan tersebut?
“Economics is the art to meet unlimited needs with scarce resources.” – Laurence J. Peter, pendidik asal Kanada
Soekarno. Siapa yang tidak mengenal sosoknya? Ada gelegar di setiap orasinya — penuh karisma, semangat, pikiran yang dalam, dan kecerdasan. Sampai sekarang, sang proklamator terus dikenang, dirujuk berulang kali, serta dijadikan role model dalam berpikir.
Menurut budayawan Hilman Farid, satu hal yang membuat nama Soekarno masih begitu menarik adalah karena konsep, gagasan, dan pemikirannya dianggap masih relevan hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah konsep Trisakti yang memiliki tiga rumusan, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Dalam kacamata studi ekonomi, konsep Trisakti adalah apa yang disebut dengan proteksionisme. Ini adalah kebijakan perlindungan ekonomi yang mengetatkan perdagangan atau membatasi persaingan dengan negara-negara lain melalui cara-cara pembatasan arus ekspor dan impor. Gagasan proteksionisme misalnya jelas terlihat dalam orasi Soekarno berikut:
“Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tapi budak.”
Nah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya menunjukkan gagasan Trisakti tersebut. Melalui Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel sejak Januari 2020.
Sontak saja, kebijakan ini mendapat resistensi dari Uni Eropa (UE), hingga melakukan gugatan ke World Trade Organization (WTO). Yang menarik adalah, alih-alih bersikap akomodatif, Presiden Jokowi justru memberikan jawaban tegas.
“Meskipun kita dibawa ke WTO oleh Uni Eropa. Silakan enggak apa-apa. Ini nikel kita kok. Dari bumi negara kita kok. Silakan,” ungkapnya.
Tidak hanya menghentikan ekspor bijih nikel, baru-baru ini Presiden Jokowi juga meresmikan pabrik smelter di Konawe, Sulawesi Tenggara. Menurutnya, smelter akan meningkatkan nilai bijih nikel hingga 14 kali lipat.
Ketegasan tersebut sontak mengingatkan publik terhadap sosok Soekarno. “Tegas sekali Pak Jokowi… lanjutkan,” ungkap warganet di berbagai lini media sosial.
Lantas, apakah ketegasan tersebut merupakan apa yang disebut Erhard Eppler sebagai “kembalinya negara”?
Kebangkitan Negara?
Dalam bukunya The Return of the State?, Erhard Eppler memberikan catatan kritis terhadap globalisasi yang melanda ekonomi dunia. Menurut Eppler, di satu sisi globalisasi memang membawa manfaat ekonomi yang besar, seperti membuka lapangan pekerjaan, tetapi di sisi lain, globalisasi semakin mengikis peran negara. Secara sadar atau tidak, globalisasi semakin membawa negara menjadi “negara penjaga malam”.
Imbasnya, menurut Eppler, terjadi ketimpangan ekonomi-sosial di mana-mana. Ketika kemakmuran hadir, lonjakan kemiskinan uniknya selalu mengikuti di belakang. Jeremy Seabrook dalam bukunya Kemiskinan Global: Kegagalan Ekonomi Neoliberalisme juga menekankan poin serupa.
Menurut Seabrook, kemiskinan telah menjadi figuran di tengah drama agung kemajuan konglomerasi global. Berbeda dengan kemiskinan pada masa-masa sebelumnya yang disebabkan oleh kelangkaan sumber daya, saat ini kemiskinan merupakan buah dari sistem karena segenap kekayaan diberikan kepada orang kaya.
Konteks yang disebutkan Seabrook dapat dilihat manifestasinya dalam teori sistem dunia (world-systems theory) yang dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein. Carl Strikwerda dalam tulisannya berjudul From World-System to Globalization: Theories of Transnational Change and the Place of the United States, menjelaskan negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu negara core (inti), semi–periphery, dan periphery.
Jika negara core diisi oleh negara-negara maju dengan perekonomian kuat, dua lapisan lainnya diisi negara dengan tingkat perekonomian menengah, dan menengah ke bawah.
Dalam konteks ini, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara semi–periphery dan Uni Eropa merupakan negara core. Yang menarik adalah, menurut Strikwerda, tidak selamanya negara dengan kekuatan ekonomi menengah ke bawah bergantung dengan negara kaya tetapi bisa terjadi sebaliknya.
Dengan kata lain, tampaknya Presiden Jokowi tengah berusaha menunjukkan daya tawarnya dengan cara tidak gentar terhadap gugatan Uni Eropa. Kembali mengutip Eppler, konteks ini dapat disebut sebagai the return of the state, yakni kembalinya negara dari ombang-ambing globalisasi ekonomi.
Namun, pertanyaannya, mengapa baru sekarang ketegasan tersebut terlihat? Mengapa baru sekarang Presiden Jokowi menghentikan ekspor bijih nikel?
Menimbang ini perkara timing, untuk menjawabnya kita perlu merunut kronologi kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Isu pelarangan ekspor bijih nikel sudah membuat gempar setidaknya sejak Agustus 2019. Saat itu, pelarangan yang disebut akan dilakukan pada 2022 justru dipercepat menjadi Oktober 2019.
Menurut Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim), pelarangan dilakukan untuk menggenjot hilirisasi mineral dalam negeri.
Mengutip CNBC Indonesia, saat itu beredar kabar terdapat lobi Tiongkok di balik percepatan pelarangan tersebut. Disebutkan, gagasan melarang ekspor bijih nikel muncul setelah pertemuan antara para investor smelter Tiongkok dengan Presiden Jokowi pada Juli 2019.
Tentu sukar mengonfirmasi kebenaran informasi itu tetapi kita dapat membuat deduksi untuk menguji koherensinya.
Bagi penikmat film Sherlock pasti mengetahui Sherlock Holmes membuat blog tentang The Science of Deduction. Yang membuat Sherlock unik adalah, berbeda dengan detektif kebanyakan yang hanya mengandalkan uji empiris yang disebut induksi, Sherlock mengembangkan metode deduksi atau uji logis.
Nah, untuk menguji kabar tersebut, kita harus bertanya pada Presiden Jokowi maupun otoritas Tiongkok, namun ini tentu sangat sulit dilakukan. Oleh karenanya, kita dapat membuat deduksi sebagai alternatif dengan cara merunut benang logisnya.
Proyeksi Masa Depan Tiongkok?
Jika benar Tiongkok berada di balik pelarangan ekspor bijih nikel, maka negeri Tirai Bambu pastilah mengeluarkan investasi besar di pabrik smelter.
Mengutip pernyataan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak pada 23 Agustus 2019, telah dikonfirmasi bahwa fasilitas pengolahan atau smelter nikel di Indonesia didominasi oleh investasi dari Tiongkok.
Di titik ini, mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya investasi smelter dengan larangan ekspor bijih nikel?
Jawabannya sederhana, yakni konsep sunk cost fallacy. Konsep ini banyak dikutip dalam studi Ekonomi Perilaku (Behavioral Economics) untuk menjelaskan perilaku investor. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan sunk cost fallacy adalah bias kognitif yang berdiri di balik keinginan kuat seseorang (investor) dalam mempertahankan investasinya.
Bertolak dari sunk cost, investasi besar yang telah dikeluarkan akan membuat Tiongkok melakukan berbagai upaya lobi untuk menjaga pasokan bijih nikel. Caranya tentu dengan mempercepat pelarangan ekspor.
Dengan demikian, mungkin dapat dikatakan, ketegasan Presiden Jokowi melawan Uni Eropa karena mendapat beking dari Tiongkok. Mengutip Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, saat ini Tiongkok tampil begitu percaya diri di panggung dunia karena keberhasilan metode ekonomi mereka.
Presiden Tiongkok Xi Jinping juga menegaskan bahwa negaranya tidak akan tinggal diam apabila kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan negaranya diganggu. “Biarkan dunia tahu bahwa rakyat Tiongkok sekarang terorganisir dan tidak boleh dianggap enteng,” ungkap Xi pada 23 Oktober 2020.
Jika benar Tiongkok adalah beking sikap tegas Indonesia di balik pelarangan ekspor nikel, Giedrius Česnakas dalam tulisannya Energy Resources in Foreign Policy: A Theoretical Approach dapat memberikan penjelasan penting.
Menurut Česnakas, sumber daya energi adalah salah satu elemen kekuatan penting jika suatu negara berusaha untuk memperluas pengaruhnya di luar negeri. Dengan kata lain, proyeksi tingginya nilai nikel tengah menjadi pertimbangan Tiongkok saat ini.
Seperti yang diketahui, nikel adalah salah satu unsur logam yang penting dalam pembuatan baterai listrik. Mengutip John Frazer dalam tulisannya Are Batteries The New Oil, di masa depan orang mungkin lebih banyak menggunakan baterai daripada minyak. Apa yang dilakukan Tiongkok adalah mengamankan sumber daya yang akan menjadi komoditas penting di masa depan.
Well, sebagai penutup perlu untuk digarisbawahi, simpulan Tiongkok berdiri di belakang ketegasan Presiden Jokowi merupakan suatu deduksi semata, dan hanya pihak-pihak terkait yang dapat mengetahui kebenarannya. Sekalipun demikian, menarik untuk mengamati langkah proteksionisme terhadap bijih nikel. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.