Ancaman perang siber dengan Rusia terus mendekat, seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Presiden 2019.
PinterPolitik.com
“Putin adalah mantan orang KGB. Dia seorang penjahat. Dia terpilih dengan Pemilu yang menurut banyak orang tidak kredibel”.
-Mitch McConnel, Senator Kentucky-
Sebelum tulisan ini, pinterpolitik.com telah mencoba membaca kemungkinan adanya pengaruh Rusia dalam konstelasi politik nasional terkini. Rusia disebut-sebut berada di pihak oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan kata lain berada di pihak Prabowo Subianto (Baca juga: Intelijen Rusia, Pembunuh Indonesia)
Beberapa indikasi mengarah kepada banyaknya kepentingan bisnis dan militer Rusia di Indonesia. Hal ini begitu terlihat khususnya dalam empat tahun terakhir—terutama sejak akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai tiga tahun pemerintahan Jokowi. Kedekatan ini sudah dimulai sejak tahun 2007, di mana Putin pertama kali mengunjungi Indonesia dan memulai bisnis jual beli alutsista dalam jangka panjang.
Kedekatan ini juga ditambah dengan semakin maraknya sentimen pro-Rusia yang diangkat lagi ke permukaan. The New York Times menceritakan soal pengaruh komunis Soviet dalam arsitektur dan kehidupan sehari-hari di Indonesia. Tulisan tersebut cukup ramai dibahas beberapa waktu lalu.
Tapi, selain daripada yang terlihat di permukaan, ancaman intelijen Rusia (SVR) pun sangat mungkin tengah terjadi di Indonesia. Hal ini logis bila melihat adanya power-shifting yang terjadi dengan intelijen Amerika Serikat (AS) katakanlah melalui CIA dan NSA di Indonesia, yang memungkinkan intelijen Rusia turut ambil bagian dalam permainan.
Seperti kata pepatah lama, di mana ada CIA, di situ ada pula KGB. Rusia tidak akan jauh-jauh membuntuti AS.
Dan di era informatika ini, intelijen akan menggunakan teknologi dan menghasilkan perang siber (cyber-warfare), yang sangat mungkin tengah terjadi di Indonesia.
Lalu, bagaimana kita sebagai masyarakat, juga pemerintah, mendeteksi dan mengantisipasi ancaman intelijen siber tersebut?
Ancaman Siber: Dari Hacktivist sampai Rusia
Perlu dipahami, bahwasanya masyarakat Indonesia adalah pengguna internet dengan jumlah terbesar di dunia. Ada lebih dari 132 juta peselancar dunia maya dari Indonesia, menurut data tahun 2016. Karena besaran itu, Indonesia pun begitu rentan menjadi korban kriminalitas siber, baik yang dilakukan oleh aktor negara, non-negara, bahkan masyarakat sendiri.
Untuk memahami lebih dalam, kriminalitas siber dapat dibagi menjadi kriminalitas dengan motif non-politik dan dengan motif politik. Beberapa kejahatan siber menghasilkan kerugian bagi pengguna-pengguna kecil berupa pencurian uang maupun pemerasan.
Kejahatan lainnya menghasilkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan besar, entah karena dinilai merugikan masyarakat, atau murni karena motif ekonomi sang peretas.
Sementara di sisi lain, ada pula ancaman siber yang memiliki motif politik yang kuat. Misalnya, terorisme siber dan persekusi siber yang banyak terjadi di Indonesia saat ini. Semua itu adalah ancaman domestik yang mungkin terjadi di Indonesia.
Karena ancaman yang beragam tersebut, pemerintah akhirnya mengambil sikap untuk melawan beberapa masalah terlebih dahulu, katakanlah isu hoaks dan hacking (peretasan). Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah telah berhasil meringkus sindikat politik-bisnis hoaks bernama Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA).
Saracen adalah sindikat yang fokus kepada penyebaran hoaks, sementara MCA punya pekerjaan menyebarkan hoaks sekaligus hacktivisme. Pekerjaan peretasan MCA dapat dilihat dalam kasus situs Telkomsel beberapa waktu lalu.
Pemerintah pun telah bersikap menyoal isu ratusan ribu kartu sim seluler yang dibeli oleh pihak anonim. Isu yang beredar dari sumber pemerintah mengatakan, jumlah nomor perdana sebanyak itu digunakan sebagai buzzer kelompok tertentu, yang ramai membuat isu-isu politik beberapa waktu lalu – walaupun informasi ini masih perlu ditelusuri lagi kebenarannya.
Semua masalah peretasan, hoaks, SMS palsu, social engineering melalui internet, dan masalah-masalah sejenis adalah satu kesatuan masalah siber di mata pemerintah.
Namun, di samping itu semua, ada pula kesatuan masalah siber lain yang harus ditangani oleh pemerintah. Ancaman intelijen dari pihak luar, terutama dari Rusia, adalah ancaman yang sangat mungkin menyerang Indonesia.
Yang paling sederhana, Rusia memiliki kapasitas untuk melakukan social media attack dengan secara masif dan terus menerus melemparkan isu politik yang kontroversial dan menyerang pemerintah.
Mengapa Rusia? Nyatanya, negara inilah yang mampu mengintervensi pesta demokrasi di AS. Rusia melakukannya di Pemilu AS 2016, dengan meretas 10.000 akun Twitter dan memasukkan malware ke piranti penggunanya. Malware tersebut berguna agar Rusia dapat mengatur pengguna e-voting Pemilu AS 2016. Suatu aktivitas, yang menurut TIME sebagai pelecehan kepada demokrasi AS.
Rusia pun memiliki teknologi penyadapan yang sangat maju, jauh daripada zamannya. Sejak era Perang Dingin, Rusia sudah dikenal dengan alat-alat penyadap canggih mereka yang ditopang dengan dengan kabel bawah laut raksasa, yang melintang melalui Laut Pasifik, Hindia, sampai daratan Afrika.
Tak cuma itu. Rusia juga memiliki kemampuan untuk meretas email pejabat tinggi negara, persis seperti yang mereka lakukan dengan Hillary Clinton, yang saat itu masih menjabat Menteri Luar Negeri. Dan tentu saja, tak hanya meretas email Clinton, Rusia juga sukses meretas e-voting Pemilu AS yang entah sudah secanggih apa dijaga dengan cyber-defense milik negara Paman Sam itu.
Karenanya, kalau AS saja bisa diobrak-abrik seperti itu, bagaimana dengan Indonesia?
Dengan segala kemampuan teknologi intelijen Rusia dan kepentingan mereka yang mungkin berseberangan dengan pemerintah Indonesia saat ini, maka Rusia sudah pasti jadi ancaman serius untuk Indonesia.
Strategi Membentengi Ruang Siber
“It’s not the people who vote that count. It’s the people who count the votes.”
-Joseph Stalin-
Strategi apa yang paling tepat untuk menangkal ancaman intelijen superpower seperti itu?
Bila berkaca kepada kejadian di Pemilu AS lalu, maka kekuatan intelijen Rusia saat ini adalah peretasan dan ditaruhnya malware untuk memengaruhi proses pemilihan. Rusia sangat ahli dalam memainkan perang siber.
Lalu, model analisis apa yang paling cocok untuk menangkal ancama siber ini?
Game theory, mungkin saja, dijadikan model teoritis oleh pemerintahan Presiden Jokowi untuk memetakan masalah keamanan siber ini. Dengan game theory, beberapa pertanyaan mengenai kemungkinan-kemungkinan ancaman siber dapat dijawab dan diantisipasi secara dini.
Misalnya, siapa-siapa saja pihak yang mengancam? Ancaman seperti apa saja yang akan datang? Kapan ancaman akan datang? Apa langkah-langkah yang dapat diambil untuk menangkal ancaman-ancaman itu?
Lalu, katakanlah, jika diasumsikan pihak yang mengancam secara riil adalah Rusia, maka ancaman yang akan datang adalah peretasan data-data pribadi pejabat negara serta peretasan akun media sosial dan pembuatan isu politik, menjelang pemilihan umum.
Oleh karena itu, langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut. Langkah seperti pembentukan Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) tak lama setelah panas-panasnya isu Aksi Bela Islam yang disebut-sebut salah satunya didanai oleh NSA dan Rusia, bisa jadi adalah contohnya.
Jokowi memang nampaknya benar-benar memahami ancaman siber ini. Terbukti, anggaran BSSN pun jauh lebih besar dari badan lain yang mengurusi masalah keamanan siber, misalnya jika dibandingkan dengan Direktorat Keamanan Informasi Kemkominfo dan Direktorat Siber Bareskrim. BSSN punya anggaran mencapai 2 triliun rupiah per tahun.
Walaupun demikian, dalam aspek diplomasi dengan Rusia, Indonesia harus tetap berhati-hati. Kepentingan Indonesia akan bisnis dan militer terhadap Rusia sama besarnya dengan ancaman yang bisa hadir dari kerja sama tersebut.
Bila merujuk Erik Gartzke dalam bukunya The Myth of Cyberwar: Bringing War in Cyberspace Back Down to Earth, maka hubungan dengan Rusia justru harus tetap dijaga. Dengan menjaga hubungan positif dan membiarkan Rusia terus dekat, keseimbangan intelijen dapat terjadi. Operasi kontra-intelijen Indonesia melawan intelijen Rusia dapat lebih efektif dengan menjaga Rusia tetap di bawah kerja sama bilateral.
Kembali ke game theory. Fakta kedekatan dua mata koin dengan Rusia ini harus diantisipasi dengan analisis kebijakan luar negeri yang baik. Indonesia harus menyadari bahwa kedekatan secara diplomatik, berarti juga kerentanan secara intelijen. Operasi kontra-intelijen maupun intelijen ofensif kepada Rusia harus bisa dilakukan, untuk terus memantau maksud kedekatan Negeri Beruang Merah ini dengan Indonesia.
Indonesia tidak dapat meninggalkan begitu saja kerja sama sebesar 21,3 miliar USD, karena tentu akan menghancurkan pasar investasi dalam negeri. Pun, Indonesia tidak dapat membiarkan masifnya proyek Rusia di Indonesia menjadi duri dalam daging, intelijen yang membunuh perlahan-lahan.
Keep your friend close, and your enemy closer. Setidaknya selama mereka tidak meretas hasil Pemilu 2019 dan mengacak-acak kedaulatan demokrasi kita, nanti. (R17)