HomeNalar PolitikJokowi Lampaui Trump dan Boris Johnson?

Jokowi Lampaui Trump dan Boris Johnson?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #17

Kabar Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang terjangkit Covid-19 menimbulkan diskursus komparasi perbandingan proyeksi kebijakan pemimpin negara bernasib serupa, khususnya pada ekspektasi kebijakan penanganan pandemi yang lebih baik. Lantas, mengapa komparasi semacam ini menjadi penting? Serta apa yang Indonesia melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat refleksikan?


PinterPolitik.com

Meskipun bukanlah pemimpin negara pertama yang terjangkit Covid-19, virus yang kali ini hinggap di tubuh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat perbincangan mengenai dampaknya terhadap dinamika politik secara umum jauh lebih menggema.

Beriringan dengan harapan terbaik bagi kesembuhan Trump, konteks sebagai pemimpin negara adidaya plus tengah bertarung sengit dengan Joe Biden dalam menyongsong Pilpres mendatang, menjadikan sejauh mana dampak Covid-19 berpengaruh bagi tindak tanduk Trump di satu sisi tampak cukup menarik untuk diterka oleh banyak kalangan.

Sejumlah media mulai dari New York Times, Time, The Guardian, hingga BBC secara khusus menyoroti perbandingan sejumlah pemimpin negara yang pernah terkonfirmasi positif Covid-19 dan seperti apa dampaknya terhadap politik dan kebijakan domestiknya kemudian.

Dalam The Global Public Square (GPS) CNN malam tadi, Fareed Zakaria terlebih dahulu membandingkan bagaimana ihwal tersebut terjadi pada mantan Presiden AS Woodrow Wilson yang pada lebih dari seabad lalu ikut menjadi korban pandemi Flu 1918 atau Flu Spanyol.

Sementara untuk sampel kekinian, secara spesifik Zakaria menilik bagaimana Covid-19 yang sempat menjangkiti Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson dan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro berpengaruh pada visi personal dan kebijakan domestiknya.

Dari gambaran umum yang dikemukakan, paling tidak terdapat satu kesamaan bahwa baik Trump, Johnson, dan Bolsonaro merupakan tiga pemimpin yang dikatakan menganggap remeh Covid-19 di saat awal merebaknya, meski dalam perjalanannya – termasuk pasca terinfeksi Covid-19 – dua dari mereka mengalami sedikit perbedaan secara personal politik dan kebijakan.

Lalu, mengapa diskursus mengenai komparasi pemimpin negara yang terinfeksi Covid-19 terhadap proyeksi kebijakannya menjadi penting? Serta jika ditarik ke tanah air, apakah esensi perbandingan dan hubungan kausalitas tersebut dapat Presiden Joko Widodo (Jokowi) refleksikan bagi Indonesia?

Penyakit Berbuah Taubat Politik?

Berbagai macam komparasi pengaruh Covid-19 terhadap kepemimpinan politik dan kebijakannya mungkin saja berangkat dari sebuah publikasi Scott DeRue dalam Ned Wellman yang berjudul Developing Leaders via Experience: The Role of Developmental Challenge, Learning Orientation, and Feedback Availability.

DeRue dan Wellman menggarisbawahi pengalaman sebagai faktor determinan yang dapat memengaruhi kepemimpinan dalam perubahan berbagai konteks dan dimensi.

Secara teoretis, paling tidak terdapat tiga kondisi atas konstruksi pengalaman yang dapat berpengaruh pada kepemimpinan seseorang, yakni dinamika tanggung jawab yang melekat, interaksi yang terjadi, hingga peristiwa atau momentum tak terduga yang terjadi.

Arah dari perubahan kepemimpinan serta tindakannya itu sendiri sangat bergantung pada learning orientation atau orientasi pembelajaran atas apa yang dialami dan feedback availability atau ketersediaan input eksternal bagi sang pemimpin.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Pada konteks bagaimana sebuah abnormalitas berupa penyakit tertentu berpengaruh pada kepemimpinan dan kebijakan, berdasarkan catatan sejarah memang dapat terjadi, termasuk pada level pemimpin negara.

Sejarawan, Timothy Naftali dalam acara GPS CNN yang dipandu Fareed Zakaria menyebut bahwa untuk memulai komparasi pengaruh pengalaman berupa suatu virus terhadap sebuah kepemimpinan dan kebijakan, kita dapat berangkat dari bagaimana Presiden ke-28 AS Woodrow Wilson juga mengalami apa yang Trump rasakan pada pandemi Flu 1918.

Dan tampaknya memang demikian, ketika itu pagebluk yang menjangkiti Wilson saat perumusan Perjanjian Versailles di Paris pada tahun 1919 dinilai turut mengubah orientasi kepemimpinan dan kebijakannya.

Dalam sebuah tulisan di Smisthsonian Magazine, Meilan Solly menyatakan bahwa virus turut menguras stamina dan menghambat konsentrasi Wilson, serta memengaruhi cara berpikirnya menjadi lebih dalam.

Hal tersebut salah satunya tercermin pada learning orientation Wilson dalam menelurkan kebijakan, termasuk anjuran selownya bagi Sekutu bahwa mereka harus “go easy” dalam menyikapi Kekaisaran Jerman demi terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pasca Perang Dunia I.

Sementara pada sampel terkini, terinfeksinya PM Inggris Boris Johnson dan Presiden Brazil Jair Bolsonaro dianggap memberikan dua impresi berbeda terhadap kepemimpinan dan kebijakannya.

Masih dalam GPS Fareed Zakaria, jurnalis senior Britania Raya, Annne McElvoy mengatakan bahwa pasca pulih dari Covid-19, Johnson seolah telah bertransformasi dan tampak tak “seenerjik” maupun tak sesaklek sebelumnya.

Apa yang dikatakan McElvoy juga diamini oleh sejumlah media Inggris, yang meskipun masih belum sempurna, setelah pulih dari Covid-19, Johnson dikatakan berusaha lebih akomodatif secara politik dalam arah penanganan pandemi domestik yang optimal, jika dibandingkan sikap sebelumnya yang terkesan menyepelekan.

Namun berbeda dengan Johnson yang memang mengalami efek Covid-19 cukup serius, kesembuhan dari virus dengan gejala ringan justru dinilai menjadikan justifikasi dan kesan downplay atau menganggap remeh dampak pandemi Bolsonaro selama ini tak keliru.

Billy Perrigo dalam Will Trump’s COVID-19 Infection Change the Way He Manages the Pandemic? bahkan menyebut pengalaman pulih dari Covid-19, tampaknya hanya memperkuat retorika ekstrem Bolsonaro.

Pada konteks Trump, faktor-faktor yang dapat menjadi learning orientation maupun feedback availability yang dapat menjadi pengalaman pengubah dirinya dapat dikatakan memang terlihat.

Selain simpati dari berbagai pihak termasuk seorang Joe Biden sebagai faktor eksternal, Trump secara personal dikabarkan mencerminkan sebuah refleksi diri mendalam.

Dalam 48 jam pertama setelah divonis positif Covid-19, Trump sempat menanyakan apakah dirinya akan berakhir seperti koleganya, Stan Chera, yang terlebih dahulu meninggal dunia akibat Covid-19 pada April lalu.

Jika mengacu pada komparasi Wilson, Johnson, dan Bolsonaro, gejala tersebut tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada Trump secara personal maupun pada sejumlah kebijakan dengan berbagai derajat perubahan tertentu.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Lantas jika menariknya pada konteks dalam negeri, esensi seperti apa yang sekiranya dapat direfleksikan Presiden Jokowi di Indonesia atas apa yang terjadi pada rekan sejawatnya itu?

Jokowi Lebih Baik?

Jika sejumlah analis cukup antusias dengan komparasi pengaruh infeksi Covid-19 terhadap kepemimpinan maupun kebijakan sosok kepala negara, Profesor Ilmu Politik Manchester University, Rob Ford memilih untuk lebih berhati-hati dalam melihat domain tersebut.

Ford mengatakan bahwa terdapat variabel lain yang mungkin saja dapat saling determinan satu sama lain terutama konteks politik domestik yang sedang terjadi.

Apa yang dikatakan Ford tampaknya memiliki relevansi tersendiri ketika Johnson dan Bolsonaro seolah menampilkan karakteristik downplay yang serupa saat awal maupun selama pandemi, namun mencerminkan reaksi personal dan kebijakan yang berbeda pasca pulih dari Covid-19 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Johnson dan Bolsonaro, dan termasuk Trump dalam konteks ini, memang merupakan tipe pemimpin politik beraliran populis kanan.

Kendati demikian, sedikit perbedaan yang telah tampak pada Johnson dan Bolsonaro membuat kombinasi pengalaman terinfeksi Covid-19 plus mazhab politik tersebut sepertinya tak menjadi penentu utama perubahan kepemimpinan ataupun kebijakan.

Berbeda dengan Johnson, Bolsonaro, dan Trump yang terkesan saklek, Presiden Jokowi dinilai dapat mengambil sari terbaik dari kisah dampak infeksi Covid-19 ketiganya.

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi pun dinilai memiliki kesamaan dengan ketiga pemimpin tersebut saat di awal pandemi sempat serupa lekat dengan impresi downplay atau menganggap remeh Covid-19, misalnya dengan memberikan insentif pariwisata dan sebagainya.

Yang jelas, munculnya diskursus komparasi tiga kepala negara yang terinfeksi Covid-19 beserta dampaknya dinilai berusaha mengemukakan pelajaran berharga secara umum yang dapat diambil pemimpin negara lainnya.

Meski tak menapaki aliran ekstrem Bolsonaro atau kontroversi nyentrik Trump dan Johnson, tentu pelajaran yang dapat pula menjadi refleksi personal yang konstruktif bagi gestur dan arah perbaikan berbagai kebijakan Presiden Jokowi yang suka tidak suka acapkali belum optimal dalam penanganan pandemi sampai sejauh ini.

Mulai dari polemik berlangsungnya Pilkada 2020, serangkaian regulasi yang mendapat resistensi di tengah pandemi, hingga hubungan panas dingin dengan ahli epidemiolog dan para pakar kesehatan dinilai masih menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi, yang salah satunya tentu dapat diperbaiki dengan bercermin dan memilah yang terbaik dari apa yang terjadi pada Trump, Johnson, maupun Bolsonaro.

Seperti yang Zakaria haturkan bahwa di tengah pandemi terburuk dalam satu abad terakhir ini, realita bahwa kepala negara pun dapat “dikalahkan” dapat menjadi sebuah pengingat penting bagi sang pemimpin untuk melaluinya bersama rakyat dengan kebijakan yang positif.

Dapat mengesampingkan kepentingan politik demi prioritas bersama penanganan pandemi yang progresif tentu menjadi harapan semua pihak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?