HomeNalar PolitikJokowi Kurang Tegas Menghadapi Tiongkok?

Jokowi Kurang Tegas Menghadapi Tiongkok?

Kedatangan ratusan TKA Tiongkok dikritik habis oleh berbagai kalangan. Pasalnya kehadiran TKA bertepatan dengan larangan mudik yang ingin menekan penyebaran Covid-19. Lantas, mengapa pemerintah bertindak demikian? Apakah ini berhubungan dengan buruknya negosiasi pemerintahan Jokowi dengan Tiongkok terkait proyek BRI?


PinterPolitik.com

Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok telah hadir di Indonesia bersamaan larangan mudik berlaku. Sekiranya ada lebih dari 300 TKA yang datang untuk bekerja pada proyek strategis nasional  (PSN).

Pemerintah dinilai gagal memunculkan sense of justice di masyarakat. Diberlakukannya larangan mudik memaksa masyarakat untuk tidak melakukan mobilisasi antar daerah untuk menekan penyebaran Covid-19. Di saat yang sama pemerintah malah menerima kedatangan TKA dan tidak memberlakukan alasan potensi penyebaran Covid-19 sebagai bahan konsiderasi penerimaan TKA.

Anggota Komisi Kesehatan DPR Saleh Partaonan Daulay menyayangkan sikap pemerintah dan menilai pemerintah tidak mendengar suara masyarakat. Saleh mengatakan di saat kehadiran TKA yang ditolak oleh masyarakat, kehadiran TKA malah semakin banyak.

Menanggapi berbagai kritik, Juru bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aditya Irawati mengatakan bahwa pemerintah sudah menghentikan pesawat carter yang membawa TKA sejak 5 mei lalu. Namun, TKA tetap terus berdatangan setelah 5 Mei.

Diketahui TKA datang dalam tiga kloter di Bandara Soekarno-Hatta, yaitu Selasa (04/05), Kamis (06/05), dan Sabtu (08/05). Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga menyoroti kedatangan 110 TKA Tiongkok pada saat Lebaran, tepatnya pada 13 Mei 2021.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempi Suyatna mengatakan bahwa kedatangan TKA dipengaruhi oleh implementasi Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Pada klaster ketenagakerjaan, ada klausul terkait TKA tidak perlu menunggu izin tertulis Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), tetapi perusahaan pengguna TKA melaporkan rencana kedatangan TKA.

Lalu, apa yang dapat dimaknai dari polemik kedatangan TKA ini?

Lack of Crisis?

Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi mengatakan kehadiran TKA Tiongkok merupakan hal yang wajar. Tiongkok sebagai investor proyek infrastuktur PSN melibatkan tenaga kerjanya yang memiliki keahlian tertentu untuk menyelesaikan proyeknya.

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan juga menyatakan hal yang serupa. Luhut mengatakan bahwa TKA yang diprioritaskan hanya tenaga ahli.

Baca Juga: Luhut, “Anak Manja” Tiongkok?

Pernyataan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2001 sebagai turunan UU Cipta Kerja tentang penggunaan tenaga kerja asing. Pada PP tersebut disebutkan bahwa TKA yang boleh dipekerjakan adalah mereka yang skillful atau ahli teknologi untuk transfer pengetahuan.

Namun, hal ini berbeda dengan kenyataan. Tidak semua TKA yang hadir di Indonesia merupakan tenaga ahli. Jika dilihat dari data perusahaan Tiongkok PT VDNI, terdapat 90 persen TKA Tiongkok lulusan SD, SMP, dan SMA. Sementara lulusan S1 dan D3 yang disebut sebagai tenaga ahli hanya sekitar 9 persen saja.

Berangkat dari data tersebut, tentu Tiongkok dapat menggunakan masyarakat lokal sebagai pekerja. Pemerintah juga bisa memberdayakan tenaga kerja lokal dalam proyek infrastruktur, menimbang adanya peningkatan angka pengangguran selama pandemi.

Saat pandemi, angka pengangguran di Indonesia meningkat secara signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran meningkat tajam selama setahun sebanyak 1,82 juta orang. Pada Februari 2020 hanya ada 6,93 juta orang. Sementara pada bulan Februari 2021, tercatat ada 8,75 juta orang.

Baca juga :  Pak Bas Sang Pengurus IKN

Tingkat pengangguran usia muda Indoneia masih tertinggi di Asia Tenggara. Dari data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) penduduk 15-24 tahun merupakan kelompok pengangguran tertinggi. Pengangguran TPT mencapai 19 persen per Februari 2021. Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang berada di bawah 15 persen.

Menerima unskilled TKA di tengah kebijakan larangan mudik dan tingkat pengangguran tinggi menggambarkan kebijakan pemerintah yang pudar akan sense of crisis.

Tulisan Steve Barrett yang berjudul A sense of urgency is vital to cope with Covid-19 menjelaskan pentingnya sense of crisis pada masa pandemi. Sense of crisis atau kepekaan terhadap krisis menentukan kesiapan suatu negara dalam menghadapi pandemi. Hal tersebut juga penting bagi masyarakat agar taat pada protokol kesehatan (prokes).

Adanya absensi sense of crisis pemerintah dalam menghadapi pandemi tentu dapat menimbulkan kekecewaan di masyarakat.

Sikap pemerintah ini terlihat bertentangan dengan pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Februari lalu. Jokowi mengatakan pentingnya sense of crisis agar pemerintah dan masyarakat memiliki perasaan bahwa situasi yang dihadapi sedang tidak biasa-biasa saja. Perihal sense of crisis juga sempat disinggung Jokowi di hadapan para menteri sekitar Juni 2020 lalu.

Sense of crisis yang disebutkan berulang kali oleh Jokowi menunjukkan pentingnya hal tersebut saat pandemi. Walaupun begitu, mengapa pemerintah tetap memutuskan untuk menerima TKA? Apalagi hal tersebut bersamaan dengan penerapan larangan mudik dan tingginya angka pengangguran yang tentu menuai kontroversi di tengah masyarakat.

Negosiasi yang Buruk?

Kehadiran TKA Tiongkok di Indonesia untuk menyelesaikan proyek Tiongkok pada program PSN. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan izin kerja untuk para TKA Tiongkok. Di bawah pertimbangan menteri dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM  Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, TKA Tiongkok memperoleh legalitas untuk bekerja di Indonesia, walaupun pelarangan mudik berlaku.

Tiongkok memang mengambil andil yang cukup besar dalam proyek infrastruktur di bawah pemerintahan Jokowi. Tiongkok merupakan salah satu investor terbesar. Bersama dengan Tiongkok, Indonesia menjalankan proyek infrastruktur masif di bawah Chinese Belt and Road Initiative (BRI).

Baca Juga: Jokowi Riding The Dragon Tiongkok

Indonesia menetapkan lima syarat bagi pengusaha Tiongkok yang ingin investasi di Indonesia. Salah satu syarat tersebut adalah Tiongkok harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia.

Selain itu, sebagai penerima utang BRI tentunya ada sejumlah syarat yang ditentukan oleh Tiongkok. Biasanya negara yang menerima utang BRI diberikan syarat untuk membeli 70 persen material dari Tiongkok. Selain itu, harus mempekerjakan tenaga kerja dari Tiongkok.

Kehadiran TKA di Indonesia memperdalam sentimen masyarakat terhadap Tiongkok. Hal ini juga diperburuk bahwa banyak TKA Tiongkok yang memiliki keterampilan rendah, sehingga banyak masyarakat yang merasa posisi tersebut bisa diisi oleh tenaga lokal.

Berdasarkan laporan Centre for Strategic and International (CSIS) tahun 2019, kedatangan TKA Tiongkok di lokasi proyek BRI menimbulkan ketegangan dengan penduduk lokal. Beberapa pejabat daerah bahkan meminta pemerintah pusat untuk membatasi pekerja asing yang masuk karena banyak tenaga kerja lokal di daerah yang merasa kehilangan pekerjaan.

Baca juga :  Gibran: Like Father Like Son

Pada 2018, sekitar 30 persen dari semua TKA di Indonesia atau sekitar 32.000 orang berasal dari Tiongkok. TKA Tiongkok sendiri merupakan kelompok terbesar dalam pekerja asing di Indonesia. Sayangnya, banyak dari pekerja tersebut bukan tenaga ahli.

Pemerintah seharusnya melakukan negosiasi yang lebih baik dengan Tiongkok, terutama terkait penerimaan TKA Tiongkok yang memiliki keterampilan rendah. Walaupun Luhut mengatakan TKA Tiongkok yang diprioritaskan adalah mereka yang memiliki tenaga ahli, tapi data yang ada sepertinya berkata lain.

Tulisan Muhammad Zulfikar Rakhmat yang berjudul Indonesia to allow 500 Chinese workers to enter the country amid Covid-19 pandemic: Why it is a bad move mengatakan bahwa Indonesia harus lebih tegas dalam melakukan kesepakatan negosiasi dengan Tiongkok.

Indonesia perlu mencontoh negara lain, seperti beberapa negara Teluk. Perusahaan Tiongkok yang bermitra dengan perusahaan nasional diwajibkan untuk merekrut pekerja lokal dalam posisi manajerial. Selain itu, perusahaan Tiongkok juga harus memberikan pelatihan kerja yang dibutuhkan.

Jika perjanjian menimbulkan banyak kerugian untuk pemerintah, Indonesia perlu belajar dari Malaysia yang bisa melakukan perjanjian ulang dengan Tiongkok. Hal ini dilakukan oleh Malaysia untuk menghindari penalti dari Tiongkok sebesar US$ 5 miliar dari biaya penghentian proyek.

Indonesia perlu belajar dari negara lain dalam menetapkan ketentuan untuk kerja sama bilateral dengan Tiongkok. Jika Tiongkok tidak bersedia memenuhi ketentuan tersebut, maka pemerintah harus berani memberikan ultimatum untuk tidak melanjutkan proyek.

Lantas mengapa Indonesia belum terlihat lebih berani menetapkan sejumlah ketentuan terhadap Tiongkok? Apakah sikap tersebut berisiko? Apakah Indonesia memiliki daya tawaryang cukup?

Tiongkok Butuh Indonesia

Sebagai negara yang memiliki modal, sumber daya manusia (SDM) dan teknologi, tentu Tiongkok dibutuhkan Indonesia untuk menjalankan program infrastrukturnya. Menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok menjadi jawaban untuk merealisasikan target pembangunan pada PSN, terlebih Indonesia memiliki keterbatasan kapital.

Walaupun begitu, Indonesia juga harus menyadari bahwa Tiongkok membutuhkan Indonesia. Tiongkok perlu menyelesaikan proyek infrastrukturnya untuk merealisasikan proyek BRI yang mereka  cita-citakan.

Proyek ambisius ini tentu tidak bisa terealisasi tanpa Indonesia. Pasalnya Tiongkok perlu melewati wilayan maritim Indonesia untuk membangun proyek BRI tersebut. Indonesia memegang posisi strategis untuk mewujudkan konektivitas jalur sutra Tiongkok. Maka dari itu, BRI tidak akan rampung tanpa Indonesia.

Baca Juga: Saatnya Jokowi “Kelabui” AS-Tiongkok?

Pada kesimpulannya, Indonesia perlu lebih hati-hati dan memperhatikan situasi jika ingin menerima TKA Tiongkok. Tindakan pemerintah yang menerima TKA Tiongkok di saat pelarangan mudik dan tingginya angka pengangguran tentu menjadi langkah yang tidak elok. Pemerintahan Jokowi juga harus lebih tegas dalam melakukan negosiasi dengan Tiongkok dan memperketat infiltrasi TKA Tiongkok yang memiliki keterampilan rendah. (R66)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...