HomeNalar PolitikJokowi Khianati Projo dkk?

Jokowi Khianati Projo dkk?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tengah berselancar di antara dua karang yang sama-sama penting, yakni karang partai politik (PDIP) dan karang kelompok relawan (Projo dkk). Namun, benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“Open water, my location is remote. Shout out Yachty but this ain’t a lil’ boat” – Drake, “Both” (2016)

Petualangan mengarungi laut merupakan sebuah petualangan yang menantang. Bahkan, bagi seorang kapten atau nakhoda yang berpengalaman, amukan air laut dan samudra memang terkadang sulit dikontrol.

Mungkin, inilah mengapa Moana dalam film berjudul sama, Moana (2016), dilarang oleh keluarga dan sukunya untuk pergi berlayar ke lautan luas karena bahaya bisa saja mengintai. Kapal Titanic yang merupakan kapal pesiar penumpang terbesar pada masanya, misalnya, bahkan tenggelam pada tahun 1912 silam karena menabrak sebuah gunung es di Samudra Atlantik Utara.

Belajar dari tenggelamnya kapal Titanic yang begitu megah, bisa saja akan banyak hambatan atau aral melintang yang tidak disangka-sangka. Gunung es, laut, dan samudra memang menyimpan misteri-misteri lain, mulai dari karang-karang yang besar hingga monster-monster laut.

Ini mengapa ketika Indonesia merdeka, pemerintah membawa “sistem navigasi” yang bernama prinsip “bebas dan aktif”. Prinsip seperti ini digunakan agar kapal besar Indonesia bisa mengarungi “samudra” politik internasional yang begitu luas dan penuh dengan ketidakpastian.

Tentu, dalam ketidakpastian tersebut, korps diplomatik Indonesia yang mewakili negara dan bangsa di luar negeri harus tetap waspada dengan hal-hal yang sudah terlihat – dalam hal ini adalah dua karang besar yang mengintai kapal besar Indonesia, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet yang merupakan dua negara besar pada era Perang Dingin. Sederhananya, Indonesia harus mendayung di antara dua karang.

Nah, upaya untuk mengarungi di antara dua karang ini tampaknya juga terjadi dalam dinamika politik domestik, khususnya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setidaknya, pendapat seperti ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari.

Menurut Qodari, dua karang tersebut adalah karang partai politik (parpol) yang merujuk pada PDIP dan karang kelompok relawan yang merujuk pada Projo dkk – yang mana berencana untuk menggelar Musyawarah Rakyat (Musra). 

Karena dianggap sama pentingnya, Jokowi akhirnya harus berselancar di antara keduanya. Projo dkk dianggap sebagai kelompok-kelompok relawan yang turut membesarkan nama Jokowi. Sementara, Jokowi juga masih membutuhkan PDIP dalam politik parlemen.

PDIP Posesif ke Ganjar

Namun, sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Apakah benar bahwa PDIP dan Projo dkk adalah dua karang yang saling mengancam – setidaknya bagi Jokowi? Mungkinkah ada kesalahan nalar di balik pernyataan Qodari?

Baca juga :  Gibran: Like Father Like Son

Laut Tenang vs Laut Badai?

Sebuah konteks menarik yang diangkat oleh Qodari ini ialah dua karang yang harus diarungi Jokowi dengan berselancar. Pasalnya, frasa “dua karang” yang digunakan oleh Qodari adalah frasa yang umum digunakan pada era Perang Dingin.

Berangkat dari buku yang ditulis mendiang Wakil Presiden (Wapres) pertama Mohammad Hatta berjudul Mendayung antara Dua Karang, istilah ini akhirnya dianggap menjadi asal-usul prinsip “bebas dan aktif” dalam politik luar negeri Indonesia.

Namun, frasa “dua karang” yang dimunculkan Hatta sebenarnya masuk akal karena Indonesia bisa saja hancur bila satu karang jatuh atau bahkan berbenturan dengan “kapal besar” Indonesia. Situasi yang berbeda justru ada dalam pendapat Qodari.

Bila membayangkan situasi yang digambarkan Hatta, anarki lah yang akan muncul sebagai area persaingan dua karang tersebut. Anarki dalam hal ini ialah sebuah ruang di mana tidak ada satu kekuatan utama yang memegang otoritas tertinggi.

Bagaimana pun, meski ada organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia (WB), atau International Monetary Fund (IMF), negara tetaplah pemegang kedaulatan utama – meskipun ketimpangan kekuatan (power) eksis di antara mereka.

Ini juga yang menyebabkan hukum internasional kerap dianggap bukan sebagai hukum. Banyak aturan hukum internasional – seperti perjanjian, traktat, hingga konvensi – hanya berangkat dari persetujuan (consent) negara-negara untuk mematuhi aturan tersebut. 

Musra Mesra Relawan Jokowi

Kepatuhan seperti ini disebut sebagai prinsip pacta sunt servanda (janji harus ditepati) tanpa jaminan penepatan janji secara pasti. Contoh paling nyata adalah bagaimana Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memiliki klaim nine-dash line di Laut China Selatan (LCS) meskipun banyak pakar hukum internasional melihatnya sebagai pelanggaran terhadap hukum laut internasional.

Situasi dalam arena internasional yang seperti inilah yang membuat pernyataan Qodari soal “dua karang” tidaklah benar-benar sama dengan apa yang diselancari oleh Jokowi. Pasalnya, bagaimana pun, hukum menjadi dasar utama dalam penegakan otoritas dalam lingkungan domestik.

Ini pula yang membuat PDIP dan Projo dkk bukanlah dua karang yang sama besarnya – khususnya dalam politik elektoral. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) hanya bisa diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol.

Oleh sebab itu, Projo dkk dan PDIP berada di dua arena yang semakin berbeda. Dengan aturan hukum sebagai bentuk otoritas tertinggi dalam lingkup domestik, “dua karang” ini bukanlah dua batu yang berukuran sepadan.

Projo dkk Hanya Batu Kerikil?

Perbedaan antara PDIP dan Projo dkk tidaklah hanya eksis pada tingkat arenanya saja, melainkan juga ukurannya. Kesalahan berpikir ini juga berlaku apabila Projo dkk dan PDIP diletakkan pada arena anarki seperti dalam politik internasional.

Baca juga :  Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Bila membayangkan dua karang dalam panggung internasional, misalnya, tentu AS dan Uni Soviet – atau AS dan Tiongkok – berada pada tingkatan kemampuan dan kekuatan yang hampir sama. Bila pun tidak dalam satu tingkat yang sama, setidaknya satu pihak bisa menjadi penantang potensial.

Ini sejalan dengan teori pergeseran kekuatan (power transition theory) yang dicetuskan oleh AFK Organski. Dalam teori tersebut, kontestasi besar layaknya fenomena “dua karang” bisa terjadi ketika muncul entitas penantang hegemon yang tidak puas dengan tatanan yang ada.

Projo Jadi Partai Aja

Projo dkk bisa jadi tidak puas dengan tatanan politik elektoral yang didominasi oleh para parpol. Namun, Projo dkk belum sampai pada level penantang terhadap PDIP.

PDIP, sebagai parpol, telah memiliki basis dukungan yang telah menguasai tingkat akar rumput. Selain itu, dalam hal mesin ke-partai-an, tidak dapat dipungkiri PDIP jauh lebih matang – mengingat parpol ini telah eksis sejak dekade-dekade lalu.

Dengan ukuran kekuatan yang lebih kecil – serta tatanan hukum yang tidak menempatkan Projo dkk dalam satu tingkat yang sama dengan PDIP, kelompok-kelompok relawan Jokowi ini jelas bukanlah batu karang yang berukuran sama dengan parpol berlambang banteng tersebut.

Alhasil, Projo dkk yang ingin menggelar Musra ini hanyalah sebuah instrumen dalam diplomasi dan negosiasi yang dilakukan Jokowi dalam arena politik elektoral. Layaknya politik antara negara-negara besar, entitas politik lainnya – seperti negara yang lebih kecil – juga dibutuhkan untuk melancarkan kepentingannya.

Negara-negara proxy, misalnya, menjadi negara yang dijadikan kepanjangan politik luar negeri dari negara yang lebih besar. Di Asia-Pasifik, AS contohnya juga menjalin sistem aliansi yang menguntungkan dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel) – misal untuk menghalau kekuatan Tiongkok di kawasan tersebut. 

Hal yang sama juga bisa berlaku pada Projo dkk. Dengan kekuatan yang tidak sepadan dengan PDIP, kelompok-kelompok relawan ini bisa jadi hanya berperan sebagai proxies melawan kekuatan lainnya – misal jadi proxies yang digunakan untuk menghalau pengaruh PDIP di akar rumput.

Dengan penjabaran di atas, persepsi Qodari bahwa Jokowi berselancar di antara dua karang belum tentu tepat. Mungkin, di laut lepas “elektoral”, Projo dkk hanyalah menjadi batu kerikil yang bisa digunakan Jokowi untuk melempari (baca: mengusik) batu karang yang lebih besar, yakni PDIP. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Dengarkan artikel berikut Acara pembekalan para calon menteri yang dilakukan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto jadi sorotan publik. Kira-kira apa motif di baliknya?  PinterPolitik.com  Dalam dunia pendidikan, kegiatan...

More Stories

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).