Belakangan ini beredar isu bahwa Presiden Jokowi ditawari kursi Ketua Umum Partai Gerindra sebagai “bayaran” untuk mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Apakah itu mungkin?
PinterPolitik.com
“You can’t sit on two chairs at once.” — Andrei Sakharov
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul PDIP Gelisah Jokowi Dukung Prabowo?, telah dijabarkan bahwa terdapat tanda-tanda kuat PDIP tengah mengalami kegelisahan. Itu karena kader terbaik mereka saat ini, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) disinyalir lebih mendukung Prabowo Subianto ketimbang Ganjar Pranowo di Pilpres 2024.
Jika simpulan dalam artikel itu tepat, tentu pertanyaannya, apakah Jokowi tidak khawatir dengan statusnya sebagai kader PDIP? Bukankah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beberapa kali mengingatkan Jokowi soal statusnya sebagai “petugas partai”?
Secara cepat, tentu jawabannya adalah “khawatir”. Namun, bagaimana jika Jokowi sudah memiliki kapal penyelamat? Belakangan ini tengah beredar isu menarik. Setelah sebelumnya dirumorkan dapat menjadi suksesor Megawati, Jokowi justru disebut akan menggantikan posisi Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Disebutkan, Jokowi akan mendapatkan kursi Ketua Umum Partai Gerindra sebagai “bayaran” untuk mendukung Prabowo di Pilpres 2024.
“Jika Prabowo menang di Pilpres 2024, bukan tidak mungkin Jokowi yang menggantikan Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra, sekaligus Ketua Dewan Pembina,” ungkap pengamat politik Igor Dirgantara pada 7 Juli 2023.
Kalkulasi Jokowi
Jika isu itu benar adanya, manuver politik yang dilakukan Jokowi dapat dijelaskan melalui skema reward and punishment. Robert Seidman dalam bukunya The State Law and Development, menjelaskan bahwa motivasi seseorang untuk melanggar aturan sebenarnya adalah kalkulasi matematis.
Ketika si pelanggar menghitung keuntungan (insentif) dari ketidakpatuhannya lebih besar dari kepatuhannya, ia akan menilai tindakannya sebagai pilihan rasional.
Pada konteks Jokowi, sebagai kader PDIP, tentu ia dapat dikategorikan sebagai “pelanggar” apabila lebih mendukung Prabowo ketimbang Ganjar. Lantas, kalkulasi apa yang kira-kira ada di benak Jokowi?
Setidaknya ada dua keuntungan yang dapat dipetakan.
Pertama, mengutip tulisan Wahyudi Soeriaatmadja yang berjudul Jokowi leaning towards endorsing populist party chairman for Indonesia president: Analysts di The Straits Times, Jokowi merasa lebih nyaman dan aman.
Soeriaatmadja menyebut karier politik anggota keluarga Jokowi akan lebih aman jika mendukung Prabowo, daripada mendukung Ganjar yang berada di bawah bayang-bayang PDIP dan Megawati.
Selain itu, laporan Tempo juga menyebutkan hubungan Jokowi dan Megawati retak setelah deklarasi Ganjar sebagai bacapres PDIP. Jokowi disebut tidak dilibatkan dalam penentuan waktu deklarasi, serta masukannya soal cawapres tidak digubris Megawati.
Kedua, peluang menjadi Ketua Umum Partai Gerindra terbilang jauh lebih besar ketimbang menjadi Ketua Umum PDIP. Sebagai partai yang lekat dengan trah Soekarno, Jokowi akan mendapat berbagai gelombang hantaman untuk menjadi suksesor Megawati.
Keuntungan kedua ini juga berkorelasi kuat dengan keuntungan pertama. Dengan menjadi Ketua Umum Partai Gerindra, dapat dikatakan Jokowi dapat “menjamin” karier politik keluarganya. Apalagi, anak bungsunya, Kaesang Pangarep, disebut akan maju di Pilwalkot Depok 2024.
Durian Runtuh Prabowo?
Selain keuntungan untuk Jokowi, deal ini bisa dikatakan juga sangat menguntungkan Prabowo. Keuntungan itu adalah mendapatkan suksesor.
Tanpa diragukan lagi ketokohan Jokowi sangat luar biasa. Selalu menang pemilu, pengalaman memimpin yang luas, sangat populer, tingkat kepuasan masyarakat tinggi, dan memiliki pendukung yang militan.
Sebagaimana diketahui, usia Prabowo sudah tidak muda lagi. Mantan Danjen Kopassus kelahiran 17 Oktober 1951 itu telah menginjak usia 71 tahun. Ini hanyalah soal waktu sampai Prabowo harus mencari suksesornya.
Lahir pada 21 Juni 1961 atau masih berusia 62 tahun, Jokowi terbilang masih memiliki energi yang panjang. Dengan segala modal politik dan pengalamannya, Jokowi dapat menjadi Ketua Umum Partai Gerindra yang menjanjikan.
Selain soal usia, faktor penting lainnya adalah situasi Prabowo yang tidak sama dengan Megawati. Berbeda dengan Megawati yang anak-anaknya terjun di politik, anak satu-satunya Prabowo adalah seorang desainer.
Sekalipun nantinya terjun ke politik, tentu sulit membayangkan Didit Prabowo untuk bisa langsung memimpin partai sebesar Gerindra.
Well, singkatnya, jika isu ini benar, deal yang ada bisa dikatakan memberikan keuntungan besar untuk Jokowi dan Prabowo. Kita lihat saja kelanjutannya. (R53)