Apakah benar pemerintah dan orang Indonesia itu anti-kritik?
PinterPolitik.com
[dropcap]F[/dropcap]oto Onan Hiroshi dengan pose menundukan kepala seperti menyembah (dogeza), perlahan tapi pasti meredakan persekusi yang membanjiri akun twitternya. Sikap tersebut dilakukannya sebagai bentuk permintaan maaf karena telah dianggap menghina Presiden Jokowi.
Peristiwa yang berlangsung beberapa minggu lalu tersebut, tak direspon mendalam oleh Presiden. Namun masyarakat ramai menyerbu akun twitter Onan Hisroshi karena Jokowi disebut sebagai ‘Presiden Pengemis’.
Dua wakil Ketua DPR, Fadli Zon maupun Fahri Hamzah, bahkan memberi respon yang mempertanyakan apakah pria asal Jepang tersebut dapat dikenai pasal penghinaan kepada Presiden.
Pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden – yang disebut oleh dua wakil Ketua DPR kontorversial tersebut – ada dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Di dalamnya, posisi Presiden dan Wakil Presiden disamakan sebagai simbol negara yang tak boleh dihina.
Selama ini, simbol negara yang pantang dihina adalah bahasa, bendera, dan lagu kebangsaan. Tetapi dalam draf RKUHP, terdapat pasal tambahan, yakni Pasal 264 yang berisi penghinaan terhadap Presiden melalui teknologi informasi dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dengan maksimal hukuman lima tahun penjara.
Walau Jokowi sempat ‘ragu’ dan memilih menunda menandatangani RKUHP dan UU MD3, kedua rancangan undang-undang yang membuat heboh tersebut tetap saja akan lolos dalam beberapa hari lagi, dengan atau tanpa tanda tangannya.
Dengan demikian, sikapnya yang menempatkan diri – baik secara langsung dan tidak langsung – sebagai simbol negara dan haram untuk dihina, apakah Jokowi lantas anti-kritik? Di mana pula batas antara kritik dan hinaan berada? Lalu, apakah benar masyarakat Indonesia sangat alergi terhadap kritik?
Ciptakan Batas Terlebih Dahulu
Aristoteles berkata, hanya satu cara menghindari kritik, yakni tak melakukan apapun, tak berkata apapun, dan tak menjadi apapun (there is only one to avoid criticism; do nothing, say nothing, and be nothing).
Secara tersirat, Aristoteles ingin menyampaikan jikalau kritik tak selalu buruk. Sebaliknya, kritik diperlukan untuk membuat seseorang menjadi lebih berkembang dan maju. Tetapi bagaimana kita membedakan mana kritik dan hinaan? Bila tak tahu perbedaannya, jangankan mengambil kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik, memenjarakan pihak yang buat reputasi buruk barangkali adalah langkah terlampau mudah.
Inilah hal yang bolong dari RKUHP yang membawa pasal tambahan seputar penghinaan kepada simbol negara. Karena sumir dan tak ada batas antara hinaan dan kritik yang jelas, nantinya siapa saja bisa dikenai hukuman oleh pasal tersebut. Ujung-ujungnya, pasal tersebut hanya akan menjadi pasal karet.
Larry Gellman, seorang pengamat keuangan dari Amerika Serikat (AS) juga pernah dilempari label sebagai Penghina Presiden George W. Bush karena terus menulis soal dampak ekonomi yang buruk dari kebijakan Presiden AS ke-43 tersebut.
Dari sana, Gellman tak ‘sudi’ bila disebut sebagai penghina presiden, sebab apa yang dikatakannya berbasis pada fakta, data valid, penelitian cermat, dan contoh-contoh peristiwa riil yang terjadi. Gellman menambahkan dirinya juga tak pernah memakai kata-kata kasar (slurs) dalam menyampaikan pendapatnya kepada Bush.
Amerika Serikat memang tak akan menangkap dan memenjarakan individu yang mengkritik presiden. Di negara yang sangat bebas tersebut, siapapun bisa mengkritik bahkan menghina presiden tanpa khawatir ditangkap. Namun, Gellman juga tak mau disamakan dengan para penghina presiden yang dianggapnya asal mengutarakan kebencian tanpa objektif yang jelas.
Berkaca pada Gellman, tidakkah jauh lebih bijaksana bila pemerintah membentuk dahulu perbedaan jelas antara kritik dan penghinaan? Bagaimanapun, presiden adalah objek kritik yang kebijakannya harus terus dipantau. Pemantauan terhadap kerja presiden sudah pasti akan melahirkan kritik, di samping celaan pula.
Apakah nanti kritik buruk akan langsung dicap sebagai hinaan, walau di dalamnya terdapat data valid, sumber terpercaya, dan hasil penelitian cermat? Jika kemajuan mau terjadi, pemerintah seharusnya mau menerima kritik yang datang, dan memilah dengan bijak apa yang diartikan sebagai hinaan pada simbol negara.
Lalu, bagaimana pemimpin dunia menghadapi kritik dari negaranya masing-masing?
Pemimpin Dunia Menghadapi Kritik
“Kalian, orang Katolik, jika percaya kepada pastor dan uskup, silakan tinggal bersama mereka. Jika kalian ingin masuk surga, silakan bergabung dengan mereka. Tetapi jika ingin mengakhiri Narkoba, saya akan pergi ke neraka maka silakan bergabung bersama saya.”
Ucapan tersebut dilantangkan Rodrigo Duterte untuk merespon Gereja Katolik Filipina yang menuduhnya telah melanggar HAM dan membunuh banyak orang miskin dalam pemberantasan Narkoba.
Cara Duterte menghadapi kritik memang terbilang unik, bila tak mau disebut nyeleneh. Selain mengajak rakyat Filipina masuk neraka bersama, ia juga santai menanggapi hujatan karena menyebut Mantan Presiden AS, Barack Obama ‘putangina’ yang dalam bahasa Filipina berarti ‘brengsek’. Ia hanya berkata jika dirinya menyesal, dan terus meminta ‘diingatkan’ bila dirinya melakukan kesalahan.
Hal berbeda dilakukan oleh Belanda. Sebagai salah satu negara dengan kebebasan media yang tinggi, Belanda ternyata masih memberlakukan hukuman bagi pengkritik atau penghina pemimpin negara – raja dan ratu Belanda, tepatnya. Hukum yang dikenal sebagai Lese Majeste (penghinaan terhadap kepala monarki atau penguasa) ini pernah memenjarakan seorang pria berusia 44 tahun selama 30 hari karena menuding Raja Wilem Alexander sebagai pembunuh, pencuri, dan pemerkosa di Facebook.
Belanda masih sangat wajar memberlakukan hukuman Lese Majeste sebab negaranya menganut sistem monarki yang memang lebih keras melindungi pemimpinnya. Hal yang sama terjadi pula di Thailand. Pengadilan Thailand pernah memenjarakan enam orang karena membakar potret Raja Maha Vajilangkorn dan mendiang Raja Bhumibol Adulyadej.
Hukum Lese Majeste Thailand itu termaktub dalam Pasal 112 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam Raja, Ratu, Putera Mahkota, atau Bangsawan akan dihukum penjara tiga sampai 15 tahun.” Sebuah hukuman terberat di dunia yang dikenakan bagi penghina keluarga raja.
Sementara di Malaysia, sebagai negara monarki konstitusional, lebih santai menghadapi kritik yang datang. Walau di tahun 2008 sempat heboh karena Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi berkata tiap media dan individu harus punya lembaga sensor sendiri, penangkapan orang karena penghinaan kepala negara di Malaysia tak pernah terdengar.
Perdana Menteri Najib Razaq bahkan beberapa waktu lalu sempat dihujani kritik karena berkata lebih senang mengkonsumsi quinoa (sejenis biji-bijian mahal dari Peru) dibandingkan nasi. Alih-alih marah karena ucapannya dipelintir, Najib hanya berkata bila quinoa merupakan rekomendasi dari dokternya.
Bila Malaysia bisa lebih santai menghadapi kritik, mengapa Indonesia tidak? Lantas, bandingkan pula dengan Duterte sebagai pemimpin yang ‘keras’, ternyata malah meminta untuk terus dikritik.
Mengapa Sulit Menerima Kritik?
Dalam buku Power in Motion karya Jeffrey Winters diceritakan bagaimana Indonesia memang agak ‘sulit’ saat berhadapan dengan kritik.
Di tahun 1980, pejabat Indonesia mendapat kritik dari World Bank karena dianggap memanipulasi data transmigran. Menerima pernyataan tersebut, menteri-menteri dari Indonesia tak bergeming dan malah bertingkah sebagai korban (playing victim) dari negara dunia ketiga.
Atas kelakuan ‘ajaib’ tersebut, World Bank akhirnya menyerah dan membuat sendiri mekanisme untuk mengurus Indonesia. Lebih lanjut, salah satu Staf World Bank mengeluh, “Indonesia sulit sekali menerima kritik seolah-olah itu bukan budaya dari Indonesia.”
Sementara itu, Coen Husein Pontoh, pengamat politik dalam negeri, menulis dalam Nasionalisme Progresif VS Nasionalisme Reaksioner bila kritik yang datang kepada negara dan pemimpin bangsa, sangat erat kaitannya dengan nasionalisme dan patriotisme.
Menariknya ada dua jenis nasionalisme yang ada, yakni reaksioner dan progresif. Jenis reaksioner adalah jenis nasionalisme yang sama sekali tak membawa kepentingan rakyat keseluruhan. Nasionalisme jenis ini harusnya ditentang. Contoh nasionalisme reaksioner, disebut oleh Coen Husein Pontoh, salah satunya tergambar dalam aksi kebencian terhadap Malaysia, seperti propaganda “Ganyang Malaysia”.
Sementara nasionalisme progresif sebaliknya, berhubungan dengan sikap setia pada bangsa dan tanah air, sambil tak lupa membawa ide dan kepentingan rakyat keseluruhan. Bila menyebutkan contohnya, nasionalisme jenis ini banyak membakar semangat rakyat saat pembebasan nasional dari tindasan kolonial. Coen menambahkan, nasionalisme progresif akan menjunjung kritik yang ada pula.
Kedua jenis nasionalisme ini, walau berbeda, membawa patriotisme yang sama. Yakni perasaan untuk membela sesuatu karena merasa menjadi bagian dari suatu negara. Dalam Human Rights in Developing Countries, semangat nasionalisme dan patriotisme ini pula yang dibawa oleh Presiden Soekarno dalam kebijakan anti Amerika, proteksionisme, dan berdikari. Hal ini terus dibawa sampai pemerintahan selanjutnya. Hal tersebut secara tak langsung, sedikit banyak membentuk kultur masyarakat Indonesia saat berhadapan dengan kritik dari negara lain.
Perasaan patriotisme dan nasionalisme ini adalah yang juga membuat rakyat Indonesia beramai-ramai membela Presiden Jokowi dari komik Onan Hiroshi.
Sementara itu dalam RKUHP, kebijakan pemerintah sangat sarat akan nasionalisme reaktif, di mana di dalamnya tak mencangkup kepentingan rakyat keseluruhan. Bahkan menurut Human Rights Watch, RKUHP sarat menjadi Lese Majeste ala Indonesia.
Nah, apakah rakyat siap berhadapan dengan hukum ala monarki yang diterapkan dalam negara republik? Apakah dengan ini Jokowi takut keok karena kritik atau hinaan? Berikan pendapatmu. (A27)