HomeHeadlineJokowi Kembali ke Pelukan PDIP?

Jokowi Kembali ke Pelukan PDIP?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Peluang rekonsiliasi Joko Widodo (Jokowi) dan PDIP pasca isu ketegangan sepanjang Pemilu dan Pilpres 2024 terbuka dengan momentum dan dinamika politik jelang pergantian pemerintahan. Namun, apakah daya tawar Jokowi  masih relevan bagi PDIP pasca-presidensinya kelak?


PinterPolitik.com

Dinamika dan beberapa variabel politik terkini membuka ruang interpretasi bahwa bisa saja Jokowi akan kembali harmonis dan memperkuat PDIP, baik setelah masa kepresidenannya berakhir.

Praktis hanya kemungkinan yang bertendensi personal, yakni residu intrik beda haluan dengan Megawati Soekarnoputri di Pilpres 2024 yang menjadi soal. Sisanya, Jokowi dan PDIP tampak tak ada masalah.

Mulai dari mempercayakan posisi strategis di kabinet ke kader PDIP, โ€œmerestuiโ€ Pramono Anung di Pilkada Jakarta, hingga realita bahwa tidak ada pernyataan resmi bahwa Jokowi โ€œdipecatโ€ atau bukan kader PDIP.

Bahkan, saat relasi dengan Jokowi dan Megawati menjadi persoalan, pada Agustus lalu, nama terakhir sempat menyebut hubungannya dengan mantan Wali Kota Solo itu baik-baik saja. Tak seperti framing media selama ini.

Rekonsiliasi dan simbiosis mutualisme politik di antara Jokowi dan PDIP pun kemungkinan akan mengubah peta politik dan berpotensi menimbulkan efek domino berupa turbulensi di koalisi pemenang Pilpres 2024. Mengapa demikian?

Segel PDIP Sangat Berguna?

Pasca-presidensi, posisi seorang mantan presiden tidak selalu aman dari berbagai intrik politik, tekanan hukum, atau pergeseran kekuatan politik yang dapat mengancam warisan atau pengaruh yang telah dibangun.

Di sinilah PDIP, sebagai partai pengusung Jokowi selama dua periode kepresidenannya, memiliki posisi yang unik. Tentu dengan pasang surut relasi di antara keduanya.

PDIP tidak hanya menawarkan kendaraan politik bagi Jokowi, tetapi juga potensi sebagai perisai dari gangguan politik yang mungkin timbul.

Secara teoritis, hubungan antara mantan pemimpin dan partai politik pengusungnya dapat dijelaskan melalui konsep patron-klien, di mana PDIP berperan sebagai patron yang menawarkan perlindungan politik bagi Jokowi.

Dalam konteks ini, PDIP memegang kontrol atas sumber daya politik yang krusial untuk mempertahankan posisi mantan pemimpin, seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies, di mana disiratkan bahwa partai politik besar mampu menjadi perisai bagi mantan pemimpin dari ancaman eksternal.

Baca juga :  Pilpres: AHY vs Gibran?

Dalam kasus Jokowi, gangguan politik bisa muncul dalam bentuk investigasi terhadap kebijakan atau akuntabilitas selama masa jabatannya, di mana PDIP bisa menjadi aktor yang melindungi warisannya melalui pengaruh legislatif sebagai parpol pemenang Pemilu 2024.

PDIP pun bisa menjaga nama baik Jokowi melalui kekuatan jaringan politiknya yang telah teruji sejak Orde Baru.

Selain itu, rekonsiliasi hubungan dengan PDIP juga bisa saja dapat menyokong trah Jokowi seperti Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, dan Kaesang Pangarep di panggung politik nasional, baik melalui sinergi politik maupun saling tukar daya tawar.

Akan tetapi, pertanyaan  berikutnya muncul, yakni apa yang bisa diberikan Jokowi untuk PDIP?

โ€˜jokowiโ€™ lahir karena sistemartboard 1 1

Ubah Drastis Peta Politik?

Tak sedikit analis politik tanah air yang tak terlalu memperhitungkan pengaruh Jokowi setelah masa jabatannya berakhir. Akan tetapi, kekuasaan selama dua periode kiranya tetap tak bisa dipandang sebelah mata.

Ada tiga skenario utama yang dapat muncul dari rekonsiliasi Jokowi dan PDIP, yang masing-masing menawarkan keuntungan strategis bagi PDIP.

Pertama, PDIP dapat melakukan kapitalisasi citra Jokowi sebagai bapak pembangunan infrastruktur.

Kendati dapat diperdebatkan, Jokowi secara umum dinilai berhasil mempopulerkan dirinya melalui pembangunan infrastruktur yang masif, mulai dari jalan tol, waduk, hingga pembangkit listrik.

Di titik ini, PDIP agaknya dapat mengkapitalisasi citra Jokowi ini dalam kampanye politik mereka, terutama di daerah-daerah di mana proyek-proyek tersebut paling dirasakan manfaatnya.

Menurut teori kapital politik Pierre Bourdieu, kekuatan politik seorang individu tidak hanya bergantung pada posisinya dalam struktur kekuasaan, tetapi juga pada pengakuan publik atas kontribusinya.

Dalam konteks ini, PDIP dapat memanfaatkan warisan pembangunan Jokowi sebagai modal politik untuk memperkuat posisi elektoral mereka di masa mendatang.

Kedua, secara internal, kembalinya Jokowi bisa saja berkorelasi dengan upaya memperkuat posisi politik Puan Maharani saat berbicara regenerasi PDIP.

Faksi Puan Maharani di internal PDIP dikatakan menjadi salah satu yang paling kuat. Hubungan di antara Puan dan Jokowi pun selama ini berjalan baik, demikian juga dengan Megawati.

Baca juga :  Prabowo Lost in Translation

Aliansi Jokowi dengan PDIP dapat membantu memperkuat posisi Puan dalam perebutan kekuasaan internal partai.

Dalam politik faksi, dukungan dari figur sekelas Jokowi dapat menjadi game-changer, sebagaimana yang dijelaskan oleh Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems.

Sartori menyebut dinamika internal partai dapat dipengaruhi oleh keberadaan faksi yang didukung oleh tokoh karismatik dengan kekuatan elektoral signifikan. Dengan kata lain, dukungan Jokowi dapat menyokong daya tawar Puan dan keberlanjutan trah Soekarno sebagai pemersatu dan nadi PDIP selama ini.

Ketiga, keuntungan yang PDIP bisa saja dapatkan dengan kembalinya sosok Jokowi adalah sebagai upaya meningkatkan daya tawar partai berlambang banteng di hadapan Presiden ke-8 RI kelak, Prabowo Subianto.

PDIP tentu perlu memastikan mereka tetap memiliki daya tawar yang kuat dalam politik dan pemerintahan.

Di sini, aliansi dengan Jokowi, yang memiliki hubungan baik dengan Prabowo bisa menjadi nilai tambah bagi PDIP, yakni dapat berfungsi sebagai jembatan antara PDIP dan visi Prabowo, memungkinkan partai tersebut untuk tetap berperan penting dalam pemerintahan, baik melalui negosiasi politik atau bahkan rangkulan serta kesepakatan koalisi.

Justifikasi terakhir adalah terkait gengsi. Ya, dari sudut pandang PDIP, memiliki dua kader yang berhasil menjadi Presiden RI juga merupakan prestise yang luar biasa. Sebuah torehan yang belum pernah dicapai oleh partai manapun sepanjang sejarah politik Indonesia dan akan mengukuhkan PDIP sebagai partai dominan dan menambah legitimasinya di mata pemilih.

Akan tetapi, menguatnya daya tawar PDIP jika rekonsiliasi dengan Jokowi terjadi, plus merapat ke koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, turbulensi politik tak menutup kemungkinan akan terjadi.

Utamanya, mengenai siapa mendapat konsesi politik sebanyak apa dengan kontribusi masing-masing selama kontestasi elektoral lalu dan tarik menarik kepentingan yang ada.

Oleh karena itu, ketegasan Prabowo menjadi krusial untuk menjaga stabilitas politik dengan berani memberi porsi yang kemungkinan tampak kurang fair dengan segala konsekuensinya.

Karena selain stabilitas politik, kepentingan rakyat tentu diharapkan menjadi prioritas Prabowo, khususnya di balik efek domino peluang rekonsiliasi Jokowi dan PDIP seperti yang telah diinterpretasi di atas. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.