Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Kapitalisme dan Super League

(FOTO : Antara/Rosa Panggabean)

[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #38]

Kisruh sepak bola yang terjadi di Eropa terkait munculnya wacana European Super League, nyatanya membawa kembali perdebatan terkait posisi kapitalisme yang makin kuat pasca pandemi. Tradisi sepak bola yang berangkat dari kelompok pekerja, kini seolah “dirampas” oleh para pemilik modal. Fenomena ini sebetulnya mewakili gambaran besar yang sebetulnya terjadi di dunia secara keseluruhan, di mana sedang terjadi penundukan masif masyarakat global pada kapitalisme ekonomi.


PinterPolitik.com

“Under capitalism, man exploits man. Under communism, it’s just the opposite”.

::John Kenneth Galbraith (1908-2006), ekonom sekaligus diplomat asal Kanada-Amerika::

Perbincangan tentang ekonomi di tengah pandemi memang menjadi topik bahasan yang menarik dalam beberapa waktu terakhir. Bukan tanpa alasan, sektor ekonomi merupakan salah satu yang paling terdampak besar akibat pandemi ini.

Di awal-awal pandemi ini publik menyaksikan bagaimana pasar-pasar saham ambruk sebegitu rupa. Pasar saham Italia misalnya, ambruk hampir mencapai minus 27 persen. Di Amerika Serikat (AS), NASDAQ 100 terpuruk hingga ke level minus 12 persen. Angka yang sama juga terjadi di CSI 300 di Tiongkok.

Namun, ekonomi dunia perlahan bangkit kembali, sekalipun dalam dimensi yang berbeda. Jika merujuk pada laporan yang dikeluarkan oleh Forbes, di saat banyak masyarakat kelas menengah ke bawah mengalami keterpurukan ekonomi, pandemi ini justru meningkatkan jumlah kekayaan para orang kaya atau miliarder.

Data serupa juga terlihat seperti yang diberitakan oleh The Guardian yang menyebutkan bahwa para miliarder di dunia mengalami peningkatan kekayaan hingga US$ 10,2 triliun atau sekitar Rp 148 ribu triliun. Secara spesifik di Amerika Serikat (AS) – seperti dikutip dari Business Insider – para miliardernya mengalami peningkatan kekayaan hingga 44 persen.

Baca Juga: Sri Mulyani dan Bayang-bayang “Makhluk Halus”

Data-data ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan besar terkait efek lanjutan dari pandemi Covid-19 ini terhadap penumpukan kekayaan. Inilah yang setidaknya menjadi perbincangan utama beberapa minggu terakhir, utamanya terkait penundukan masyarakat atas kapitalisme.

Perdebatan ini misalnya sedang terjadi di Eropa terkait industri sepak bola. Ini mengenai munculnya wacana pembentukan European Super League yang berisi klub-klub sepak bola paling besar dengan fan base paling banyak di seluruh dunia dalam satu liga yang tidak open competitive dengan dana yang besar.

Klub-klub besar – bangsanya Real Madrid, Barcelona, Arsenal, Liverpool, Manchester City, dan beberapa lainnya – akan tetap berada dalam liga ini sekalipun mereka tampil buruk. Tidak ada relegasi atau turun kasta seperti yang umumnya terjadi pada piramida kompetisi yang sehat.

Adapun strategi ini dijalankan oleh para miliarder pemilik klub yang berusaha untuk mengambil sebesar-besarnya keuntungan atas status kepemilikan mereka tanpa mempertimbangkan instisari dari sejarah dan tradisi sepakbola Eropa.

Konteksnya menjadi sarat nuansa kapitalisme karena banyak klub sepakbola Eropa yang lahir dari kelompok pekerja dan berstatus community based sport, tapi kemudian “dirampas” oleh orang-orang kaya – teruatma para pemilik yang berasal dari AS – sehingga kini terkesan lebih menjadi aset harta orang kaya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah akan ke mana konteks pembangunan ekonomi dan masyarakat global dalam tahun-tahun ke depan, utamanya dalam konteks kapitalisme itu sendiri? Seperti apa efeknya akan berdampak untuk Indonesia dan bagaimana sudut pandang akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani, terkait masalah ini?

Risalah Kapitalisme

Terkait hubungan antara pandemi dengan kapitalisme, setidaknya ada dua kutub yang melihat persoalan ini secara berbeda. Kutub pertama adalah yang mengatakan bahwa pandemi ini akan menjadi jalan negara yang sejak tahun 1980 – sebagai akibat Raeganisme – diminta back off dari persoalan ekonomi dan kesejahteraan, untuk kembali memberikan pendampingan dan jaring pengaman kesejahteraan bagi masyarakat.

Ini misalnya seperti ditulis oleh Mariana Mazzucato di The Guardian, yang dibahasakan lewat kata-kata the chance to do capitalism differently. Kesempatan untuk memformulasikan kapitalisme secara berbeda.

Sementara, kutub yang kedua adalah yang melihat justru pandemi ini adalah pemburukan kapitalisme. Ini terjadi ketika banyak orang kaya semakin kaya sepanjang pandemi seperti yang disinggung di awal tulisan.

Ini juga berkaitan dengan pelebaran kesenjangan sosial yang terus terjadi, seiring makin terbatasnya ruang gerak masyarakat untuk melakukan usaha atau penghidupannya secara lebih penuh. Konteks persoalan yang kedua inilah yang mungkin akan menjadi intisari pembahasan tentang kapitalisme itu.

Secara konsep, kapitalisme sebetulnya bukanlah paham yang buruk. Bahkan, paham liberalism ekonomi ini dianggap sebagai jalan berkembangnya peradaban manusia hingga mencapai kemajuan seperti sekarang ini.

Semuanya berawal ketika pada tahun 1776, Adam Smith menulis salah satu karya terbesarnya berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Buku ini menjadi dasar pemikiran bagi perkembangan paham ekonomi liberal dengan kapitalisme sebagai intisarinya.

Dengan kondisi ketimpangan ekonomi dunia saat ini, banyak orang memang “mengutuk” kapitalisme sebagai penyabab utamanya. Namun, perlu dipahami latar waktu ketika Smith merumuskan pemikirannya.

Kala itu, Eropa adalah wilayah yang dikuasai oleh feodalisme dan menutup kesempatan bagi masyarakat dari kelas bawah untuk memiliki peluang hidup yang lebih baik. Kekayaan dan kekuasaan adalah sebuah warisan, dan kelas ekonomi adalah nasib.

Namun, Smith yang adalah seorang filsuf moralis menganggap bahwa tidak seperti itu cara mengelola ekonomi. Semua orang harus diberikan kesempatan yang sama untuk berusaha dan mengupayakan penghidupannya. Sehingga, sangat mungkin dari orang-orang yang sebelumnya sangat miskin, bisa keluar dari kondisi itu dan bahkan menjadi orang kaya baru.

Smith melihat kapitalisme sebagai jalan untuk membawa masyarakat keluar dari penindasan yang berbasis kelompok-kelompok feodal itu. Ini kemudian menjadi semacam memori kolektif terkait bagaimana kehidupan di masa lalu bisa berubah menjadi jauh lebih baik akibat kapitalisme ekonomi.

Baca Juga: Risma Perlu “Cubit” Sri Mulyani?

Terkait memori kolektif ini, Mahbubani dalam tulisannya di Financial Times menyebutkan soal bagaimana kapitalisme itu sendiri sebenarnya telah di-framing secara berbeda oleh banyak negara di Asia dalam model yang disebut sebagai Asian capitalism.

Ini karena memori kolektif masa lalu, di mana ekonomi yang sentralistik – entah itu komunisme, sosialisme, maupun yang lainnya – justru tidak membawa kesejahteraan. Tiongkok sejak 1842-1979 terutama di bawah Mao Zedong, merupakan negara yang cukup terpuruk. Ini juga mirip dengan India di bawah Nehruvian socialism yang juga sangat lambat membawa kemajuan bagi negara.

Sementara di Indonesia, ada memori kolektif kekuasaan Soekarno yang sebetulnya sangat buruk secara ekonomi. Ada inflasi yang sangat tinggi, pemerataan kesejahteraan yang sangat buruk, dan lain sebagainya.

Warisan cara pandang ini yang kemudian mempengaruhi bagaimana negara-negara Asia merumuskan Asian capitalism itu dengan menyesuaikan kebutuhan negaranya masing-masing. Adapun Asian capitalism itu sendiri merujuk pada model kapitalisme yang sudah diadaptasi seturut tradisi dan kondisi lokal masyarakat sebuah negara di Asia.

Memori kolektif tidak berhasilnya ekonomi sentralistik di masa lalu untuk menyejahterakan banyak orang jelas akan menjadi warisan yang selalu diingat dan membuat negara-negara itu kembali ke kapitalisme sebagai cara utama peningkatan ekonomi.

Penundukan Masyarakat Global

Sekalipun punya dampak terkait kesenjangan sosial, kapitalisme akan tetap menjadi jawaban pandemi dan tetap akan mengubah cara negara memandang pengelolaan ekonomi.

Di Indonesia misalnya, mengapa Presiden Jokowi ingin bikin Kementerian Investasi yang saat ini tengah didesas-desuskan? Jawabannya adalah tentu saja karena ia percaya kapitalisme akan menjadi cara negara keluar dari keterpurukan.

Baca Juga: Siapa Pembimbing Sri Mulyani?

Persoalannya memang tinggal pada bagaimana negara dan masyarakat dunia dikondisikan oleh kapitalisme itu sendiri. Kita semua tahu bahwa ide European Super League berangkat dari konteks kapitalisme itu sendiri yang mengambil momentum kondisi dunia saat ini. Demikian pun yang akan terjadi pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang lain.

Namun, jangan sampai kapitalisme merusak intisarinya sendiri, misalnya terkait meritokrasi dan kompetisi yang sehat. Sepak bola dengan kompetisi yang tertutup adalah sebuah pengkhianatan pada kapitalisme itu sendiri yang seharusnya memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk bisa berusaha.

Menarik untuk ditunggu, gelombang apa lagi yang akan muncul selanjutnya berkaitan dengan kapitalisme ini. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version