Presiden Jokowi menginisiasi wacana untuk merevisi UU ITE. Wacana yang tentu disambut baik oleh sebagian besar masyarakat. Namun, apabila kita melihat realitas politik di era teknologi komunikasi digital, khususnya pada kasus Amerika Serikat (AS), mungkinkah Presiden Jokowi justru membutuhkan UU kontroversial tersebut?
“At present, the greatest challenges to free speech in established liberal democracies… come from private actors who have been able to make use of technology to artificially amplify certain voices over others.” – Francis Fukuyama, dalam Technology, Freedom of Speech, and Rush Limbaugh
Akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pejabat pemerintahannya menunjukkan impresi positif dengan membahas berbagai isu yang menjadi kegundahan sebagian besar masyarakat.
Berawal dari pernyataannya dalam sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman yang meminta masyarakat lebih aktif memberikan masukan dan kritik pada 8 Februari, tujuh hari kemudian, atau pada 15 Februari ketika memimpin Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri di Istana Negara, Presiden Jokowi menginisiasi wacana revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Tidak berhenti di UU ITE, isu pentingnya menjaga hutan juga berhembus. Pada 18 Februari, misalnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan pentingnya menjaga persediaan air dengan tidak menebang hutan.
Empat hari kemudian, atau pada 22 Februari, Presiden Jokowi kembali memberi penegasan, bahkan memberi instruksi agar sanksi tegas, baik perdata maupun pidana diterapkan kepada pelaku pembakar hutan dan lahan.
Keluarnya isu UU ITE dan persoalan lingkungan tentu menarik. Pasalnya, dua isu itu adalah isu lama, dan tiba-tiba dihembuskan ke hadapan publik. Atas keganjilan ini, terdapat analisis yang melihatnya sebagai starategi rebranding politik pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Revisi UU ITE, Strategi Rebranding Jokowi?
Namun, di luar dugaan tersebut, jika membahas mengenai hambatan demokrasi, persoalan UU ITE menjadi krusial untuk dibahas. Pertanyaan kuncinya adalah, apakah UU ITE ini kontradiktif, atau justru mendukung penegakan demokrasi?
Membedah Persepsi
Di sini, tentu banyak yang menghardik UU ITE dengan menyebutnya sebagai senjata politik (political weapon) untuk menjebloskan para pengkritik pemerintah ke dalam jeruji besi. Iya, fenomena itu terjadi, dan mungkin sulit terbantahkan.
Namun, apabila mengacu pada konsep category-mistake dari filsuf Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of Mind, persepsi atas UU ITE mungkin akan sedikit berbeda. Category-mistake adalah konsep yang ditujukan Ryle untuk mengkritik dikotomi antara pikiran (mind) dan tubuh (body) yang dikemukakan oleh filsuf Prancis, René Descartes.
Descartes dinilai keliru dalam melakukan kategorisasi, sehingga memahami pikiran adalah entitas yang berbeda dan independen dari tubuh. Bagi Ryle, pikiran justru dependen terhadap tubuh (otak), dan bahkan merupakan buah dari proses otak.
Dalam perkembangannya, category-mistake kemudian didefinisikan sebagai bentuk kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan kategorisasi. Misalnya terkait mana yang konkret dengan yang abstrak, atau mana yang merupakan ranah teoretis dan mana yang merupakan ranah praktis.
Irianto Wijaya dalam tulisannya APA YANG SALAH DENGAN DEMOKRASI? menggunakan konsep category-mistake untuk membedah kekeliruan logis berbagai pihak ketika mengkritik demokrasi. Menurutnya, para pengkritik demokrasi salah dalam membedakan antara kebenaran suatu ide, dengan kegagalannya diimplementasikan. Satunya abstrak, satunya praktikal.
Dalam tulisannya, Irianto melihat demokrasi sebagai ide atau gagasan, yang seharusnya dikritik atau dibantah dengan menunjukkan kesalahan logis dari struktur argumentasinya, bukannya menunjukkan kegagalan implementasinya.
Singkatnya, jika negara X gagal dalam menerapkan demokrasi, apakah itu menunjukkan demokrasi telah gagal? Sekiranya tidak. Ada banyak faktor, misalnya mengenai komitmen politisi negara X dalam menerapkan sistem politik tersebut.
Baca Juga: UU ITE Bukan Akar Masalah Kita
Hal yang sama juga dapat kita terapkan dalam UU ITE. Pada dasarnya, UU ITE memiliki tujuan dan fungsi yang baik dan tepat, yakni sebagai pelindung transaksi elektronik dan menindak peredaran informasi tidak tepat di internet.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai pihak justru keliru dalam menerapkannya. Sama seperti masalah demokrasi, apakah dengan UU ITE belum diterapkan dengan baik, itu menunjukkan UU ITE telah gagal sebagai gagasan hukum? Sekiranya tidak.
Suka atau tidak, harus dibedakan dengan tegas, antara baiknya gagasan, dengan buruknya implementasi gagasan tersebut.
Fairness Doctrine
Selain persoalan category-mistake, tulisan terbaru ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama di American Purpose yang berjudul Technology, Freedom of Speech, and Rush Limbaugh dapat menambah refleksi kita dalam menimbang UU ITE.
Sama seperti dalam buku dan tulisan-tulisannya dalam beberapa tahun terakhir ini, Fukuyama juga menyoroti bahaya perkembangan teknologi informasi bagi penegakan demokrasi – tepatnya demokrasi liberal, khususnya di AS.
Seperti yang jamak diketahui, kebebasan berbicara adalah pilar terpenting dalam demokrasi. Ini bahkan tertuang dalam American First Amendment (Amendemen Pertama Amerika), di mana pemerintah tidak dapat dipercaya untuk mengontrol suara masyarakatnya, serta tidak memiliki hak untuk memonopoli kebenaran. Gagasan yang terlihat baik.
Namun, dengan berkembangnya teknologi informasi seperti radio dan televisi di paruh pertama abad ke-20, berbagai demagog besar, seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler, justru memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan hak berbicara untuk menyebarkan dan menguatkan propaganda politik mereka.
Untuk merespons persoalan semacam itu, Federal Communications Commission (FCC) Amerika Serikat berusaha untuk mengatur informasi politik melalui aturan yang disebut Fairness Doctrine. Lembaga penyiaran berlisensi diharuskan menyajikan liputan yang “seimbang” tentang peristiwa politik.
Fairness Doctrine, misalnya, diterapkan pada tahun 1960-an terhadap sebuah stasiun radio Kristen yang hingga saat ini kerap mengumbar teori-teori konspirasi tentang dugaan persekongkolan yang dilakukan oleh CIA dan FBI. Fairness Doctrine kemudian digugat oleh kelompok konservatif dengan dalih telah melanggar Amandemen Pertama terkait kebebasan berbicara. Fairness Doctrine dinilai sebagai bentuk pembungkaman.
Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?
Dalam perkembangannya, Fairness Doctrine akhirnya dibatalkan oleh FCC pada tahun 1987 atas dorongan Partai Demokrat. Di Kongres, Partai Demokrat beberapa kali mencoba menghidupkannya, namun menemui kegagalan akibat kuatnya pengaruh Partai Republik, serta adanya veto dari Presiden Ronald Reagan dan ancaman veto dari Presiden George H. W. Bush.
Di tengah situasi demokrasi AS saat ini, di mana terjadi sirkulasi informasi yang buruk, Fukuyama tampaknya melihat terdapat kebutuhan untuk menerapkan kembali Fairness Doctrine. Pasalnya, tidak seperti radio konservatif dulu yang tidak dikendalikan oleh oligarki, media massa saat ini justru telah menjadi perpanjangan tangan para oligark untuk mendukung kepentingan politiknya.
Di akhir tulisannya, Fukuyama memberikan kesimpulan menarik. Tantangan terbesar kebebasan berbicara saat ini di AS justru dilihat tidak datang dari pemerintah ataupun tuntutan masyarakat akan konten konservatif, melainkan berasal dari aktor swasta yang menggunakan teknologi informasi untuk memperkuat narasi kepentingannya.
UU ITE seperti Fairness Doctrine?
Di sini tentu pertanyaannya, apakah Fairness Doctrine sama dengan UU ITE? Secara garis besar mungkin keduanya memiliki cara kerja sama, di mana tujuannya untuk mengatur dan menjaga kualitas sirkulasi informasi. Jika simpulan itu tepat, di tengah disrupsi informasi akibat adanya konglomerasi media ataupun sulit mengontrol narasi, khususnya di media sosial, adanya UU ITE tampaknya cukup krusial.
Saran tersebut tentu mendapatkan berbagai resistensi dengan tesis masyarakat berhak untuk bersuara bebas di media sosial. Itu tentu tepat, tapi persoalannya, apakah itu suara (voice), atau justru kebisingan (noise)?
Seperti yang jamak dipahami, suara yang ada di media sosial, dan bahkan media massa seringkali berupa noise karena kualitas informasinya yang buruk.
Hal tersebut memang bukan tanpa alasan. Dalam buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama menegaskan bahwa media sosial memang memiliki kemampuan untuk membuat seseorang menerabas batas-batas kesopanan dalam berekspresi karena sifat anonimitasnya.
Baca Juga: Jokowi Di Tengah Gelombang Hiperrealitas Politik?
Akan tetapi, seperti yang dilihat menjadi masalah dalam UU ITE, ataupun kekhawatiran masyarakat AS terkait Fairness Doctrine, bagaimana pemerintah menjamin tidak adanya monopoli kebenaran dalam penerapannya?
Pasalnya, bau-bau monopoli kebenaran sudah tercium oleh publik ketika Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny Gerard Plate mengeluarkan pernyataan, “Kalau versi pemerintah sudah bilang hoaks, ya itu hoaks kenapa membantah lagi” pada Oktober 2020 lalu.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa gagasan UU ITE pada dasarnya dapat dibenarkan. Namun perlu ada perhatian serius atas gelagat pemerintah yang telah lama menunjukkan diri sebagai hegemon narasi. Kita lihat saja ke mana arah wacana revisi UU ITE yang digaungkan oleh Presiden Jokowi ini. Apakah itu hanya sebagai gimmick politik, atau justru suatu perubahan yang positif. (R53)