Kubu paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sering kali dituduh memanfaatkan politik identitas dalam kampanye politiknya. Penggunaan politik identitas ini dianggap menciptakan kesan eksklusivitas bagi kelompok tertentu.
PinterPolitik.com
“The racial economic inequality, let’s try to solve it,” – Nas, penyanyi rap asal AS
[dropcap]K[/dropcap]ampanye Prabowo-Sandi memang tidak jarang mendapatkan kritik dari kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin perihal penggunaan politik identitas, katakanlah lewat narasi-narasi “kita vs mereka” yang memecah belah.
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily misalnya menggunakan surat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengkritik Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Stadion Umum Gelora Bung Karno (SUGBK) beberapa waktu lalu.
Ace menyebutkan bahwa orasi politik yang disajikan dalam Kampanye Akbar tersebut penuh dengan bahasa yang tidak inklusif atau terbuka terhadap semua kelompok masyarakat. Ace pun menyindir bahwa kampanye tersebut seolah ingin mengulang nuansa Aksi 212.
Isu kekentalan politik identitas di kubu Prabowo-Sandi ini memang semakin mencuat dengan keterlibatan sosok dan kelompok di belakang pencalonan mantan Danjen Kopassus tersebut. Beberapa kelompok yang disebut konservatif, seperti Presidium Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam (FPI).
MasyaaAlloh
Ada foto yang sangat menggugah dari kegiatan di GBK 7 april kemarin
Apa Yang terpikir Dan terasa di hati sahabatku sekalian ? pic.twitter.com/qMsc5DMhjQ— Abdullah Gymnastiar (@aagym) April 8, 2019
FPI sendiri disebut-sebut memperoleh panggung dalam Kampanye Akbar tersebut dengan juga menggunakan narasi-narasi identitas. Ketua FPI Habib Rizieq Shihab misalnya, berpidato melalui rekaman video dan meminta audiens untuk memilih Prabowo-Sandi karena paslon ini dianggap sebagai pelindung umat Islam.
Pertanyaannya adalah apakah hanya kubu Prabowo-Sandi yang menggunakan politik identitas? Lalu, seperti apa dampak politik identitas dapat memengaruhi Pilpres 2019?
Saling Main Identitas?
Sebenarnya, tuduhan kubu Jokowi-Ma’ruf terhadap eksklusivitas Prabowo-Sandi juga secara tidak langsung memanfaatkan narasi identitas itu sendiri. Upaya mengaitkan lawan politiknya dengan kelompok tertentu, seperti tuduhan atas keterkaitannya dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), juga merupakan penyajian narasi identitas di dalamnya.
Pelemparan isu tentang ancaman khilafah juga merupakan bentuk penyajian narasi identitas. Penyajian narasi tersebut membuat batasan-batasan sosial tertentu antar-kelompok di masyarakat.
Selain isu khilafah, narasi identitas juga digunakan oleh kubu kandidat nomor urut 01 itu terkait keberpihakan organisasi Islam tertentu, terutama yang terjadi pada Nahdlatul Ulama (NU). Pengibaran bendera NU oleh Sandi misalnya, dikritik oleh Ma’ruf.
Ironisnya, terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres Jokowi pada tahun 2018 lalu juga dapat disebut sebagai penggunaan politik identitas. Analis media sosial Ismail Fahmi menjelaskan bahwa hal tersebut pun dilakukan guna menjaring kelompok Muslim dan melindungi Jokowi dari isu-isu anti-Islam.
Tidak hanya pada tataran kelompok, kubu Jokowi-Ma’ruf juga sempat melemparkan isu yang mempertanyakan ke-Islaman Prabowo. Narasi semacam itu disajikan ke hadapan publik misalnya dengan pengunggahan transkrip percakapan antara Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra dengan Habib Rizieq.
Lalu, bagaimana politik identitas yang digunakan dalam kampanye politik tersebut dapat memengaruhi hasil Pemilu?
Dalam politik, pengaruh politik identitas dapat dijelaskan menggunakan Teori Identitas Sosial. Leonie Huddy dan Alex Bankert dalam tulisannya yang berjudul Political Partisanship as a Social Identity menjelaskan bahwa dukungan politik yang diberikan oleh setiap kelompok sosial juga didasarkan pada identitas kelompok-kelompok tersebut.
Guna melihat dampaknya terhadap Pilpres 2019, kita pun dapat menilik kembali pada kemenangan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu 2016 yang diikuti juga oleh Hillary Clinton. Fenomena Trump disebut-sebut sebagai awal di balik maraknya politik identitas di berbagai negara.
Narasi-narasi kampanye yang digunakan oleh Trump menjadikan kelompok-kelompok minoritas di AS, seperti kelompok Muslim dan kelompok Latin-Amerika sebagai sasarannya. Penyajiannya pun juga dikaitkan dengan berbagai ancaman keamanan dan ekonomi yang menghantui masyarakat AS.
Dalam hal ancaman keamanan, Trump menggunakan stereotip kelompok Muslim yang dianggap menjadi biang kerok dalam serangan-serangan teror yang mengancam AS. Selain itu, kelompok Latin-Amerika pun disebut-sebut Trump sebagai penyebab maraknya tindakan-tindakan kriminal di AS, seperti peredaran narkotika, pemerkosaan, dan kekerasan jalanan.
Dalam hal ekonomi, Trump pun menyalahkan pihak asing sebagai penyebabnya. Tiongkok disebut-sebut oleh Presiden AS tersebut sebagai “pencuri terbesar” di dunia. Selain pihak asing, minoritas dan imigran juga dituduh Trump sebagai penyebab banyaknya tekanan ekonomi bagi masyarakat AS.
Lalu, bagaimana dengan konteks yang terjadi Indonesia?
Tentunya, politik identitas memiliki pengaruh kuat dalam kontestasi politik di Indonesia. Dukungan politik kelompok sosial dalam Pilpres 2019 misalnya didasarkan pada status sosial yang dianggap penting oleh kelompok tersebut. Dukungan politik ini pun menjadi jalan bagi kelompok-kelompok di masyarakat untuk melindungi dan menaikkan status sosialnya.
Senjang, Identitas Jadi Senjata?
Penggunaan politik identitas sendiri tentu merupakan hal yang buruk. Namun, dalam konteks penggunaannya untuk meraih kekuasaan, hal ini sebetulnya lazim terjadi. Bahkan, tak jarang di balik politik identitas, sebenarnya terdapat perjuangan untuk mencapai hal tertentu yang diinginkan secara kolektif.
Ilmuwan politik asal AS, Francis Fukuyama, dalam tulisannya yang berjudul Against Identity Politics di Foreign Affairs menjelaskan bahwa penggunaan politik identitas merupakan hasil dari kesenjangan sosial-ekonomi. Fukuyama melanjutkan bahwa tidak ada yang salah dengan politik identitas itu sendiri karena hal itu merupakan respon yang alamiah dan yang tidak terhindarkan terhadap ketidakadilan.
Hal senada juga dijelaskan oleh Kenan Malik dalam tulisannya di The Guardian. Malik menjelaskan bahwa politik identitas dapat menjadi senjata guna melawan penindasan dan ketidaksetaraan yang terjadi di masyarakat. Contohnya, perjuangan kemerdekaan Indonesia berangkat dari Sumpah Pemuda di tahun 1928, yang tidak lain adalah politik identitas ke-Indonesia-an.
Pendapat Fukuyama dan Malik pun terbantu dengan penjelasan Eve Warburton dan Burhanuddin Muhtadi dalam tulisan mereka yang berjudul Politicizing of Social Inequality in Indonesian Elections di Brookings Institution. Warburton dan Muhtadi menemukan bahwa kelompok-kelompok yang terlibat dalam politik identitas pada demonstrasi melawan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok – seorang non-muslim beretnis Tionghoa – di akhir 2016 lalu juga sebenarnya merasa tidak puas dengan kondisi ketimpangan sosial-ekonomi yang tetap eksis di bawah kepresidenan Jokowi.
Permasalahan ketimpangan ini memang bukanlah hal asing lagi. Indonesia merupakan salah satu negara yang disebut-sebut memiliki predikat buruk dalam kesetaraan sosial.
Artikel yang dipublikasikan oleh Bank Dunia pada tahun 2015 menunjukkan kondisi ketidaksetaraan sosial di Indonesia berada pada posisi yang cukup gawat. Pertumbuhan ekonomi pun menunjukkan lebih menguntungkan kelompok kelas atas dibandingkan lapisan bawah masyarakat.
Hal ini juga tergambar dalam laporan dari perusahaan investasi asal Swiss, Credit Suisse di tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 1 persen penduduk Indonesia menguasai 47 persen kekayaan nasional. Indonesia bahkan masuk dalam 5 besar negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia.
Akibatnya, isu kesenjangan sosial ini pun diwarnai dengan isu identitas. Kesenjangan sosial antar-kelompok etnis pun disebut-sebut menjadi lebar akibat penguasaan kekayaan oleh kelompok tertentu, katakanlah yang berasal dari etnis Tionghoa. Meskipun tidak dapat dibuktikan seutuhnya, namun lebih dari setengah daftar 20 pebisnis terkaya di Indonesia yang dikeluarkan oleh Forbes merupakan bagian dari komunitas Tionghoa.
Akibatnya, isu ini menjadi output yang bermuara pada politik identitas. Beberapa narasi yang sering disebutkan oleh Prabowo adalah kekuasaan pihak asing dan antek asing yang turut mewarnai distribusi sumber kekayaan Indonesia merujuk pada hal tersebut.
Lantas, apa dampak dari penggunaan isu kesenjangan sosial dan narasi identitas ini?
Jika berkaca pada kemenangan Trump dalam Pemilu AS 2016, penyajian isu kesenjangan sosial yang dikombinasikan dengan narasi identitas dianggap mampu memotivasi para pendukungnya. Mereka yang memiliki banyak keluhan terkait persoalan ekonomi pun melihat secara buruk Hillary dan pemerintahan Barack Obama.
Hal serupa mungkin saja dapat terjadi di Indonesia. Warburton dan Muhtadi menjelaskan bahwa pemilih yang memiliki keluhan terkait persoalan ekonomi di masyarakat Indonesia merasa tidak puas terhadap pemerintahan Jokowi dan cenderung mendukung kubu Prabowo-Sandi.
Selain itu, penyajian isu kesenjangan sosial juga dapat berdampak positif di luar pengaruhnya dalam perebutan suara Pilpres 2019. Hal ini setidaknya dapat pula berujung pada kebijakan nyata karena artikulasi yang besar. Studi yang dikutip Warburton dan Muhtadi menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki pemimpin populis dianggap lebih berhasil memperkecil kesenjangan antar-kelas.
Intinya, politik identitas sendiri pun bukanlah hal yang sepenuhnya buruk karena pada dasarnya hal tesebut juga didasarkan pada kondisi ketidakadilan di masyarakat. Walaupun demikian, publik perlu tetap berhati-hati sebab tidak jarang isu-isu tersebut hanya menjadi mainan politik kelompok elite yang ingin memperebutkan kekuasaan di antara mereka sendiri. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nas di awal tulisan. Ketidaksetaraan ekonomi yang diikuti dengan isu identitas perlu juga diperhatikan dan dicari solusinya. Pada dasarnya, setiap kelompok berhak mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Bukan begitu? (A43)