Rencana pemerintah membuka keran investasi pada pengelolaan bandara, tol dan pelabuhan mendatangkan perdebatan. Isu ini juga tengah dipanas-panaskan oleh kelompok tertentu sebagai komoditas politik untuk menyerang pemerintah.
PinterPolitik.com
“There can be no liberty unless there is economic liberty.” – Margaret Thatcher (1925-2013), Perdana Menteri Inggris
[dropcap]A[/dropcap]wal bulan ini, publik dihebohkan oleh berbagai pemberitaan terkait rencana pemerintah yang ingin ‘menjual’ Bandara Soekarno-Hatta. Semua orang terbelalak dan menganggap rencana ini sebagai hal yang ‘gila’. Bagaimana mungkin aset yang menguasai hajat hidup orang banyak dijual ke swasta dan asing?
Liarnya pemberitaan yang beredar membuat begawan ekonomi sekaligus Presiden Komisaris PT Angkasa Pura II Rhenald Kasali angkat bicara. Rhenald menyebut semua berita itu sebagai hoax atau kabar bohong. Penulis buku Mutasi DNA Powerhouse ini juga menyebut kondisi keuangan Bandara Soekarno-Hatta sedang bagus. Justru saat ini banyak investor tertarik untuk melakukan kerjasama dalam bentuk join operation. Artinya, pihak investor ingin berinvestasi dalam pengelolaan bandara, bukan kepemilikan aset.
Ini daftar yg diberitakan akan dijual pic.twitter.com/lzAcy2uFQl
Walaupun demikian, wacana ini tetap mendatangkan kritik. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan bahwa wacana ‘penjualan’ Bandara Soekarno-Hatta sebagai ide yang ‘keblinger dan konyol’ karena kondisi keuangan Bandara Soekarno-Hatta yang sedang bagus. Apalagi Soekarno-Hatta menjadi salah satu bandara terbesar yang menjadi pintu masuk wisatawan asing. Tahun 2016 lalu tercatat 711.300 penumpang internasional masuk dan keluar lewat bandara ini.
Selain Bandara Soekarno-Hatta, ternyata pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sedang menjajaki kemungkinan menarik investor untuk join operation mengelola beberapa bandara, pelabuhan dan jalan tol. Ada sekitar 20 pelabuhan, 14 bandara, dan sekitar 19 jalan tol yang akan ‘dijual’ pengelolaannya kepada pihak swasta dan asing.
Pemahaman yang terbatas membuat aksi pemerintah ini mendatangkan tanggapan nyinyir dari beberapa kelompok masyarakat. Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Hermanto menyebutkan bahwa memberikan kesempatan pada pihak asing dalam pengoperasian bandara dan pelabuhan akan menghilangkan kontrol negara pada proses karantina.
Ramainya pemberitaan terkait hal tersebut memang menunjukkan bahwa kata ‘jual’ yang disematkan pada infrastruktur yang melayani kepentingan publik seperti dalam judul tulisan ini, masih dipahami secara sederhana oleh sebagian besar orang Indonesia. Jual-beli masih dipahami sekedar sebagai ‘peralihan hak milik’. Padahal, jual-beli memiliki pengertian yang jauh lebih kompleks dari itu.
Akibatnya, isu ini berpotensi digunakan sebagai komoditas politik. Dengan kemasan yang sedemikian rupa, persoalan ini bisa digunakan untuk membentuk opini publik, apalagi tahun politik sudah di depan mata. Isu ini sangat mungkin dikemas sedemikian rupa dan dibenturkan sedemikan rupa, sehingga terkesan pemerintah bersalah ‘menjual’ aset-aset negara yang vital.
Apanya yang Dijual?
Pada bulan April 2017 lalu, Jokowi sempat mengeluarkan pernyataan yang seolah menjadi tagline aksi ‘jual-jual’ tersebut. Saat itu, Jokowi memerintahkan agar kementerian BUMN ‘menjual’ semua jalan tol yang sudah selesai dikerjakan. “Saya sudah perintahkan kepada BUMN, kalau sudah membangun jalan tol, sudah jadi, segera dijual,” demikian kata Jokowi saat itu.
Apanya yang dijual? Jika menggunakan garis pemahaman Rhenald Kasali, maka yang dijual adalah hak pengelolaannya. Aset-aset pelabuhan, bandara dan tol tetap menjadi milik negara, tetapi pengelolaannya – sebagian atau keseluruhan – bisa dipercayakan kepada swasta atau pihak asing.
Apakah hal ini salah? Apalagi, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 2 disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Mungkin jalan tol tidak begitu mengena, namun untuk bandara dan pelabuhan, keduanya merupakan sektor yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Jika kita sedikit mundur ke belakang, pada pertengahan 2016 lalu, Jokowi mengeluarkan Perpres nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres yang ditandatangani pada 12 Mei 2016 ini mengatur sektor-sektor yang bisa dan tidak bisa menerima investasi dari swasta maupun asing. Sektor perhubungan masuk dalam bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan – terbuka untuk investasi, tetapi diatur dengan ketentuan khusus.
Pada lampiran Perpres tersebut, untuk jasa kebandarudaraan serta penyediaan dan penguasaan pelabuhan laut, keran investasi asing dan swasta dibatasi pada angka 49 persen. Sementara, untuk jasa penunjang lain di bandara dan pelabuhan, pemerintah memberikan angka maksimal 67 persen.
Artinya, dalam pengelolaan bandara dan pelabuhan, pemerintah memang memberikan ruang yang cukup besar bagi swasta dan asing. Jika istilah privatisasi bisa digunakan dalam konteks ini, maka kondisi ini bisa disebut sebagai ‘privatisasi parsial’. Istilah ini mungkin tidak disukai oleh banyak pihak, namun secara internasional, demikianlah penyebutan aktivitas pelibatan swasta dalam tata kelola sektor publik.
Yang patut menjadi catatan adalah apakah privatisasi parsial ini mendatangkan manfaat yang besar bagi negara atau tidak. Pasalnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut pemerintah ‘hanya’ akan mendapatkan penghematan dalam APBN hingga Rp 500 miliar dari kerjasama penanaman modal di 30 bandara dan pelabuhan.
Barusan Mentri Perhubungan Budi Karya wa saya, bahwa “Bandara Soeta tidak akan dijual”. Ide2 lain sdg dibahas. Saya ucapkan tks dan katakan,”Marwah NKRI perlu dijaga. Tks Mas Budi ?”
Jumlah ini memang belum dihitung dengan keuntungan BUMN, tetapi apakah pendapatan negara sebanding dengan kemungkinan buruk – misalnya terkait karantina produk hingga penyalahgunaan wewenang dan KKN – yang timbul dari wacana ini juga patut menjadi pertimbangan.
Neoliberalisme Sedang ‘Mengintip’
Bukan tanpa alasan di negara sebesar Amerika Serikat pun, privatisasi – bahkan privatisasi parsial – terhadap sektor publik seperti bandara dan pelabuhan masih mendatangkan perdebatan hingga saat ini. Kongres masih belum menentukan keputusan final terkait persoalan ini karena walaupun dihalang-halangi, privatisasi perlahan mulai terjadi.
Pada tahun 2011, sekitar 97 persen bandara di Amerika Serikat masih dikelola oleh pemerintah. Namun, perlahan-lahan privatisasi ‘terselubung’ mulai terjadi. Hingga kini, baru 2 bandara yang diprivatisasi di Amerika Serikat. Negara lain, misalnya Kanada, juga mengalami persoalan yang sama. Bayangkan, dua negara yang jelas-jelas liberal ini saja belum sepenuhnya yakin dengan kebijakan di sektor publik tersebut.
Jika mundur lebih jauh ke belakang, privatisasi bandara dan pelabuhan, baik secara keseluruhan maupun parsial – seperti yang sedang diupayakan di Indonesia – merupakan bagian dari revolusi neoliberalisme yang dijalankan oleh Margaret Thatcher saat ia berkuasa di Inggris antara tahun 1979 sampai 1990.
Organisasi riset kebijakan publik, Cato Institute menyebut The Iron Lady menjadi penggerak mewabahnya privatisasi – terutama terhadap bandara – di seluruh dunia, seiring juga privatisasi sektor publik lain. Selama 3 dekade, nilai yang tercatat dari bandara yang diprivatisasi mencapai 3 triliun dollar.
Berbeda dengan Amerika Serikat yang masih ‘galau’, Inggris merupakan salah satu negara yang sukses memprivatisasi seluruh atau sebagian (privatisasi parsial) hampir semua bandaranya. Sementara, tercatat sekitar 47 persen bandara di Uni Eropa – yang disebut sebagai ‘lahannya’ neoliberalisme – telah diprivatisasi seluruh atau sebagian (privatisasi parsial).
Artinya, program ini sangat identik dengan paham neoliberalisme. Penundukkan sektor publik oleh pasar merupakan bagian dari efisiensi ekonomi. Keuntungan program ini adalah dari sisi efektivitas dan efesiensi pengelolaan keuangan. Dengan adanya privatisasi (memberikan kesempatan swasta dan asing ikut ambil bagian), maka pengelolaan bandara dan pelabuhan mampu lebih bersaing dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Namun, hal ini juga berarti memberikan salah satu sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada swasta. Walaupun masih dalam koridor penguasaan mayoritas oleh negara (skema 49/51), harus diakui neoliberalisme memang telah masuk dalam perekonomian Indonesia.
Apakah ini buruk? Jawabannya tergantung bagaimana program tersebut dilaksanakan. Jika hasilnya tetap tidak mampu berdampak banyak bagi kualitas pelayanan publik, maka mungkin kita perlu lebih banyak berkontemplasi. Karena, seperti kata-kata Margaret Thatcher di awal tulisan ini: tidak ada kebebasan yang utuh tanpa kebebasan ekonomi. (S13)