Ekonom Rizal Ramli (RR) mengingatkan Presiden Jokowi dengan apa yang terjadi pada Mikhail Gorbachev. Di bawah Gorbachev, Uni Soviet menemui keruntuhannya. Apakah hal yang sama akan menimpa Presiden Jokowi?
“Presidents don’t have power. Their job is to draw attention away from it.” — Douglas Adams, penulis asal Inggris
Bagi mereka yang menunggu kepastian perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, mungkin akan menyadari suatu variabel menarik. Ini bukan soal pergantian istilahnya menjadi berlevel-level ataupun tingkat efektivitasnya. Melainkan soal mengapa pengambilan keputusannya mengalami tarik-ulur.
Sebelumnya, berbagai pihak menyebut keputusan akan diambil pada Senin, 19 Juli, antara sore atau malam hari. Namun, seperti yang diketahui, informasi tersebut kandas. Praktis, pengumuman pasti akan dilakukan pada Selasa, 20 Juli. Pengumuman pada hari penentuan ini juga sangat menarik.
Awalnya, ada yang menyebut siang. Kemudian sore hari. Dan ternyata diumumkan pada malam hari dengan keputusan diperpanjang sampai 25 Juli. Ini sangat menarik. Pasalnya, pada 16 Juli, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy dengan lugas menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan PPKM Darurat diperpanjang sampai akhir Juli.
Dengan fakta perpanjangan PPKM Darurat hanya sampai 25 Juli dan seterusnya akan ada relaksasi, apakah mungkin Muhadjir berbohong? Atau ini hanya kesalahan komunikasi semata?
Rasa-rasanya, sulit membayangkan sekelas Menko mendapatkan informasi yang keliru semacam itu. Apalagi sampai membawa-bawa nama presiden. Lantas, apa yang sekiranya terjadi?
Jika pernyataan Muhadjir benar bahwa Presiden Jokowi telah memutuskan perpanjangan pada 16 Juli, besar kemungkinan RI-1 telah mendapatkan tekanan hebat sehingga mengubah keputusannya. Pasalnya, sebelum pengumuman, berbagai pihak menunjukkan penolakannya terhadap perpanjangan PPKM Darurat.
Mulai dari relawan Jokowi sendiri, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), hingga berbagai kepala daerah. Pada 19 Juli, misalnya, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo secara tersirat meminta PPKM Darurat tidak diperpanjang karena sangat memberatkan masyarakat.
Baca Juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
Jika benar Presiden Jokowi “kalah” dengan berbagai dorongan yang ada, kritik ekonom senior Rizal Ramli (RR) pada 18 Juli di Twitter pribadinya tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi sang RI-1.
“Soviet Russia dulu pecah era Gorbachev karena krisis ekonomi luar biasa, ketidak-adilan di daerah-daerah dan kepemimpinan lemah. Banyak kawan-kawan daerah yang sampaikan mereka sudah marah. Maaf Mas @jokowi sampeyan itu lemah, dikelilingi penjilat-penjilat dan korup. Please do something before too late,” begitu cuitnya.
Seperti yang ditulis RR, “Banyak kawan-kawan daerah yang sampaikan mereka sudah marah”, ini sekiranya menunjukkan berbagai penolakan kepala daerah. Lalu ada poin “Maaf Mas @jokowi sampeyan itu lemah.” Itu menggambarkan bagaimana presiden harus mengakomodasi berbagai tekanan yang ada.
Dan yang paling menarik adalah, mengapa RR mengawali kritiknya menggunakan kasus Mikhail Gorbachev? Apakah ada kesamaan situasi antara mantan pemimpin Uni Soviet tersebut dengan Presiden Jokowi?
Gorbachev, Pemimpin Lemah?
Gorbachev atau lengkapnya Mikhail Sergeyevich Gorbachev adalah pemimpin kedelapan dan terakhir Uni Soviet. Dunia mencatat, di bawah kepemimpinannya lah Uni Soviet atau Union of Soviet Socialist Republics (USSR) menemui batu nisannya.
Namun menariknya, berbeda dengan pemimpin Soviet lainnya, Gorbachev memiliki pendekatan yang begitu berbeda dan terbilang revolusioner. Ada dua kebijakan yang membuat Gorbachev dikatakan demikian, yakni glasnost atau keterbukaan politik dan perestroika atau restrukturisasi ekonomi.
Glasnost yang dimulai pada akhir tahun 1980-an adalah dorongan atas transparansi pemerintahan. Mengejutkan, kebijakan ini meninggalkan penyensoran negara yang telah lumrah dan masif dilakukan oleh pemimpin Soviet sebelumnya.
Terobosan ini memungkinkan media Soviet untuk melaporkan kebenaran menyakitkan yang telah lama ditutup-tutupi. Sebut saja soal alkoholisme, kematian bayi yang meningkat, dan menurunnya angka harapan hidup. Hal ini juga memungkinkan partai non-Komunis untuk mengambil bagian dalam pemilihan.
Sementara perestroika adalah reformasi ekonomi yang bertujuan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang telah lama menderita. Tujuannya untuk mengubah model ekonomi Soviet, dari model komando pusat di mana bisnis dimiliki dan dikelola oleh pemerintah, menuju model komunisme-kapitalisme hibrida yang menerapkan pasar bebas.
Ya, mengacu pada ciri khas pasar bebas, pihak swasta kemudian diizinkan untuk membuka dan mengelola bisnis. Pun demikian dengan pihak asing. Simbol fenomena ini adalah dibukanya cabang McDonald di Moskow pada 31 Januari 1990.
Kendati terdengar begitu menjanjikan, Adam Janos dalam tulisannya Was the Soviet Union’s Collapse Inevitable? justru menyebut kedua kebijakan tersebut telah mempercepat kejatuhan Uni Soviet. Cukup mengejutkan sebenarnya untuk menyimpulkan bahwa demokratisasi tampaknya adalah faktor kunci yang memastikan kehancuran Soviet.
Baca Juga: Apa Sebenarnya Masalah Jokowi?
Simpulan ini umumnya akan dibantah dengan menyebut faktornya adalah pengkhianatan terhadap Gorbachev. Seperti yang ditulis Janos, simpulan tersebut juga diamini oleh mayoritas warga Rusia.
Memang benar kejatuhan Soviet terjadi karena berbagai pemimpin regional, seperti Lituania dan Ukrania menuntut otonomi dari Kremlin. Begitu pula tuntutan kemerdekaan negara-negara Baltik dan Kaukasus setelah runtuhnya rezim Komunis di Eropa Timur. Serta adanya pengkhianatan dari Boris Yeltsin.
Namun pertanyaannya, bagaimana tuntutan-tuntutan ataupun pengkhianatan tersebut menjadi mungkin untuk dilakukan?
Jawabannya adalah demokratisasi. Terbukanya arus informasi telah mengekspos keterpurukan di berbagai daerah. Hilangnya pengekangan terpusat dan kendali bisnis juga membuat berbagai regional merasa memiliki power untuk melakukan tuntutan.
Tidak hanya itu, mengutip Historian, keputusan Gorbachev untuk mengizinkan pemilihan dengan sistem multi-partai juga telah menggoyahkan kontrol Partai Komunis dan membuat tekanan internal menjadi tidak terelakkan.
Nah, sekarang pertanyaan menariknya adalah, apakah Gorbachev adalah pemimpin yang lemah?
Adam Janos menjawab pertanyaan ini menggunakan dua persepktif. Pertama, Gorbachev dapat dikatakan lemah karena tidak menyadari implikasi dari kebijakannya. Namun, dalam konteks partai politik, Gorbachev dapat dikatakan kuat karena mampu melemahkan rezim totaliter yang selama ini berkuasa.
Well, apa pun interpretasinya, baik kuat ataupun lemah, yang jelas kejatuhan Uni Soviet terjadi karena hilangnya kontrol Gorbachev, baik di pemerintahan maupun di daerah.
Sekarang kita kembali pada pertanyaan awal tulisan. Tepatkah komparasi Rizal Ramli?
Bahtera Mulai Ditinggalkan?
Pada tulisan PinterPolitik sebelumnya, Jokowi Mulai Ditinggalkan?, telah diberikan penekanan bahwa Presiden Jokowi tampaknya telah menunjukkan tanda-tanda menjadi lame-duck dan terkena kutukan periode kedua.
Namun, seperti yang telah dibahas dalam artikel tersebut, indikasi tersebut tidak terjadi karena berkurangnya kekuasaan presiden secara hukum, melainkan berkurang secara politik. Ini karena terdapat tanda-tanda di mana benteng-benteng RI-1 selama ini mulai mencari proyeksi kapal baru karena kekuasaannya akan berakhir.
Pada konteks ini, yakni kontrol yang mulai berkurang, komparasi RR dapat dikatakan tepat. Baik Gorbachev maupun Presiden Jokowi sama-sama mengalaminya. Ini membuat keduanya mengalami tekanan internal ataupun penolakan dari pemimpin regional.
Namun, ada perbedaan yang kentara. Berbeda dengan Gorbachev yang awalnya memiliki kontrol terhadap Partai Komunis Soviet, Presiden Jokowi tidak memiliki kontrol kuat semacam ini. Dengan statusnya sebagai outsider, ilmuwan politik dari Northwestern University, Jeffrey Winters bahkan menyebut mantan Wali Kota Solo ini sebagai presiden terlemah secara politik sejak Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menurut berbagai pihak, persoalan itu membuat Presiden Jokowi mengandalkan “enam matahari” yang menopang kekuasaannya pada periode pertama. Mereka adalah Luhut B. Pandjaitan, Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Budi Gunawan (BG), Jusuf Kalla (JK), dan A.M. Hendropriyono.
Pun begitu terhadap relasi dengan militer. Menurut peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan A. Laksmana, kurangnya modal politik dan pengalaman, membuat Presiden Jokowi mengandalkan purnawirawan berpengaruh seperti Luhut, Moeldoko, Wiranto, Agum Gumelar, dan Hendro.
Persoalan ini juga telah dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Di Mana Jokowi?. Mengutip analisis pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro pada November 2015, ada kemungkinan pemerintahan Presiden Jokowi adalah pemerintahan many pilot. Jika benar demikian, maka banyaknya pilot tampaknya telah mendegradasi kekuasaan sang RI-1.
Well, pada akhirnya, seperti jawaban Adam Janos atas pertanyaan apakah Gorbachev lemah atau tidak, benar tidaknya Presiden Jokowi mulai kehilangan kontrolnya tergantung dari interpretasi kita dalam melihatnya. Silahkan menentukan. (R53)