Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Insecurity dan Pengaruh Asing

Jokowi Insecurity dan Pengaruh Asing

Presiden Joko Widodo. (Foto: Detik)

Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi reformatif seperti infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) disertai dengan retorika yang tegas. Janji tersebut bisa jadi merupakan bentuk dilema ketidakamanan (insecurity) yang tengah dihadapinya.


PinterPolitik.com

“It’s the way that you prey. Prey on my insecurities” – Daniel Caesar, penyanyi asal AS, dalam “Blessed”

Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu tampak tegas dengan berbagai pidato dan retorika yang diungkapkannya. Mungkin, mantan Wali Kota Solo tersebut kini merasa lebih memegang kendali setelah diumumkan sebagai presiden terpilih.

Dalam berbagai kesempatan, sang presiden tampak optimis untuk menerapkan rencana-rencana kebijakannya yang reformatif. Visi Indonesia yang disampaikannya beberapa waktu lalu rencananya akan dituangkan dalam lanjutan pembangunan infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) guna menyongsong periode kepresidenannya yang kedua.

Tak main-main, Jokowi juga menyatakan akan bertindak tegas terhadap siapa-siapa saja yang dapat mengganggu visi tersebut. Bahkan, retorika sang presiden dianggap otoritatif dan mengkhawatirkan bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Selain kebijakan yang reformatif, Jokowi juga menekankan pada pentingnya untuk melindungi ideologi Pancasila. Bahkan, mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan bahwa dirinya tidak akan mentolerir pengganggu Pancasila – termasuk sinyalir bahwa ormas Front Pembela Islam (FPI) yang bisa saja tidak diperpanjang izinnya apabila bertentangan secara ideologis.

Ketegasannya tersebut bisa jadi pertanda bahwa sang presiden kini memang telah melepas bebannya. Kabar bahwa lawan-lawan politiknya yang akan bergabung dalam koalisi pemerintahan bisa saja turut menguatkan posisinya.

Namun, keberanian tersebut mungkin dapat diragukan di tengah-tengah situasi politik yang bisa saja dapat memanas – seperti kehadiran kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212. Apakah benar posisi Jokowi telah aman? Jika tidak, apakah implikasinya terhadap periode keduanya sebagai presiden?

Dilema Ketidakamanan

Rencana-rencana kebijakan Jokowi yang berfokus pada pembangunan ekonomi bisa jadi merefleksikan dilema ketidakamanan yang mungkin tengah dihadapinya. Selain itu, dilema tersebut juga terlihat dari tendensi otoritatif pemerintah.

Teori mengenai dilema ketidakamanan (insecurity dilemma) ini datang dari seorang profesor Hubungan Internasional di Michigan State University, Mohammed Ayoob, ketika menulis sebuah buku yang berjudul The Third World Security Predicament yang berfokus pada permasalahan keamanan yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga.

Penjelasan mengenai konsep ini berasal dari konsep dilema keamanan (security dilemma) yang menjelaskan bahwa peningkatan kapabilitas militer oleh suatu negara akan berujung pada peningkatan intensitas konflik dengan negara lain.

Berbeda dengan dilema keamanan yang dianggap berfokus pada negara dunia pertama, dalam buku tersebut, Ayoob menjelaskan bahwa negara-negara dunia ketiga menghadapi persoalan domestik sebelum dapat meningkatkan kapabilitas pertahanannya. Negara-negara berkembang yang baru lahir biasanya akan berfokus pada state-building yang disertai dengan persoalan-persoalan internal, seperti ancaman perpecahan, perbedaan pendapat (dissent), dan gesekan antar-kelompok.

Salah satu ciri dilema ketidakamanan yang terjadi di negara dunia ketiga adalah politisasi perbedaan etnis, ras, dan agama. Selain itu, ancaman kewilayahan – seperti gerakan separatis – dan kesenjangan sosial dan ekonomi turut memperburuk kondisi suatu negara dunia ketiga.

Negara-negara berkembang yang baru lahir biasanya akan berfokus pada state-building. Share on X

Akibat persoalan-persoalan tersebut, negara-negara berkembang dapat menjadi rapuh dan lemah. Kehadiran persoalan domestik tersebut bisa saja mengancam legitimasi, struktur, dan eksistensi negara tersebut sendiri – memunculkan dilema ketidakamanan.

Andrej Krickovic dalam tulisannya yang berjudul From the Security to Insecurity Dilemma menjelaskan bahwa teori milik Ayoob ini tidak hanya berfokus pada ancaman-ancaman keamanan tradisional, melainkan juga ancaman-ancaman ekonomi, seperti kesejahteraan masyarakat dan ekonomi.

Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila negara dunia ketiga akan lebih berfokus pada pembangunan ekonomi guna memperkecil dampak dari ancaman kemanan lainnya terhadap legitimasi negara. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana pemerintahan Jokowi memfokuskan sumber-sumber yang ada terhadap pembangunan ekonomi – terutama dalam hal infrastruktur dan SDM.

Selain itu, teori ini menjelaskan bahwa dilema ketidakamanan turut mendorong negara menerapkan kooptasi dan cara-cara koersif guna menghindari dampak ancaman-ancaman internal tersebut – yaitu dengan mengeliminasi pengaruh pihak-pihak yang mengancam legitimasi negara untuk mendapatkan loyalitas dan menciptakan identitas bersama di masyarakat.

Mungkin, cara-cara inilah yang terlihat pada pemerintahan Jokowi yang kini dinilai semakin otoritatif. Pemerintah juga mulai mendorong masyarakat untuk menjunjung nilai-nilai utama bersama, yaitu Pancasila.

Rentan Dipengaruhi

Buruknya, lemahnya negara akibat dilema ketidakamanan ini membuat negara dunia ketiga rentan terhadap tekanan dan pengaruh asing – baik dalam hal politik, ekonomi, militer, maupun teknologi. Negara-negara yang lebih maju, institusi-institusi internasional, dan perusahaan-perusahaan multinasional dapat memengaruhi tatanan politik domestik.

Indonesia misalnya, disebut-sebut masih banyak dipengaruhi oleh kekuatan asing. John McBeth dalam tulisannya di Asia Times menjelaskan bahwa Jokowi – guna menghindari sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) – perlu menegosiasikan pembelian pesawat militer milik negara yang dipimpin oleh Donald Trump tersebut.

Pengaruh asing yang dapat menekan ini membuat negara dunia ketiga perlu menyiapkan opsi-opsi yang sulit. Negara dinilai perlu menguatkan posisinya dalam politik internasional guna menghalau pengaruh asing – seperti dengan meningkatkan kekuatan militer – meski dilema ketidakamanan membuat negara perlu membangun perekonomiannya.

Yuen Foong Khong dari National University of Singapore (NUS) dalam tulisannya yang berjudul Power as Prestige in World Politics menjelaskan bahwa kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara dapat memengaruhi persepsi negara lain terhadap negara pemilik kekuatan tersebut. Salah satu kekuatan yang diperhitungkan adalah kekuatan militer.

Dengan kekuatan militer, posisi suatu negara dapat meningkat di mata negara-negara lain. Alhasil, gagasan untuk memberi perhatian pada anggaran pertahanan dalam diskursus Pilpres 2019 lalu menjadi lebih menjanjikan.

Mungkin, Korea Utara menjadi salah satu negara yang lebih memilih untuk meningkatkan kekuatan militernya daripada berfokus pada ekonomi dalam state-building. Pasalnya, meski memiliki teknologi senjata nuklir, penduduk negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un tersebut disebut-sebut masih dilanda kelaparan.

Bisa jadi, pemerintahan Jokowi juga perlu meningkatkan kapabilitas dan kekuatan militer selain berfokus pada pembangunan infrastruktur dan SDM guna menghalau pengaruh asing.

Uniknya, pilihan Jokowi untuk menggenjot pembangunan ekonomi Indonesia bukan berarti tidak tepat. Michael Beckley dari Columbia University dalam tulisannya yang berjudul Economic Development and Military Effectiveness menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi berjalan berdampingan dengan kemampuan militer suatu negara.

Beckley menjelaskan bahwa ekonomi yang telah terbangun menjamin jumlah dan kualitas aset militer yang dimiliki oleh suatu negara. Salah satu negara dunia ketiga yang berhasil berfokus pada pembangunan ekonomi yang berujung pada peningkatan kekuatan militer adalah Singapura.

Singapura yang baru berdiri pada tahun 1965 – di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew – mampu memanfaatkan dilema ketidakamanan yang dialaminya dengan menerapkan pembangunan ekonomi yang disertai dengan cara-cara otoritatif. Kini, Singapura menjadi salah satu negara yang memiliki salah satu jet tercanggih produksi AS.

Namun, untuk mencapai titik tersebut, Singapura tetap mempertahankan hubungan erat dengan dua kekuatan besar, yakni AS dan Tiongkok. Upaya yang dilakukan negara pulau ini dapat disebut sebagai balancing – sebuah strategi yang digunakan untuk menyeimbangkan dua pengaruh besar tersebut. Penyeimbangan ini pula yang disebut-sebut membuat Singapura dipilih sebagai tempat pertemuan antara Trump dan Kim.

Mungkin, Jokowi mulai mencontoh apa yang dilakukan Singapura dalam memanfaatkan dilema ketidakamanannya. Sang presiden yang sebelumnya disebut-sebut banyak dipengaruhi oleh Tiongkok kini juga mulai mengundang pengaruh AS di Indonesia – seperti dengan mengundang Trump ke Indonesia.

Pada akhirnya, pengaruh asing yang menghantui negara-negara dunia ketiga yang insecure ini mungkin dapat tergambarkan melalui lirik penyanyi Daniel Caesar. Namun, semua itu kembali lagi pada bagaimana caranya membuat perasaan insecure tersebut menjadi sebuah blessing – seperti yang dinyanyikan Daniel Caesar dalam lirik lagu tersebut. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version