Rasa bosan terhadap demokrasi memicu tren kepemimpinan orang kuat di seluruh dunia.
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]emokrasi kerap dianggap sebagai sistem politik yang terbaik di antara yang terburuk. Oleh karena itu, banyak pengamat seringkali menyarankan agar negara menerapkan sistem ini agar negaranya tidak ambruk. Pada satu titik, Francis Fukuyama bahkan sempat mengungkapkan bahwa demokrasi liberal adalah bentuk akhir pemerintahan hingga disebut sebagai The End of History (akhir dari sejarah).
Meski dianggap terbaik dan final, nyatanya kini tengah terjadi fenomena pembalikan terhadap demokrasi. Ada indikasi bahwa masyarakat kini sedang bosan dengan demokrasi dan mulai berbalik pada pemimpin yang lebih otoriter.
Saat ini, di dunia tengah muncul fenomena di mana pemimpin dengan karakteristik strongman atau orang kuat. Pemimpin tersebut cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang lebih otoriter ketimbang pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Bagi sebagian orang, sulit untuk membayangkan bahwa orang akan meninggalkan kepemimpinan demokratis dan beralih kepada pemimpin yang lebih kuat. Akan tetapi, siapa pun sulit untuk menutup mata dari fenomena yang tengah bangkit di seluruh dunia tersebut. Lantas, apakah Indonesia juga akan mengalami fenomena yang serupa?
Bosan Terhadap Demokrasi
Di tahun 2011, semua orang sepertinya optimistis bahwa akan terjadi gelombang baru dari demokratitasi di dunia. Arab spring atau musim semi Arab menjadi penanda bahwa demokratisasi secara masif akan menjalar di seluruh dunia.
Sayangnya, optimisme tersebut saat ini sepertinya tinggal kenangan. Alih-alih, terjadi demokratisasi secara luas, saat ini justru muncul fenomena baru di seluruh dunia. Masyarakat saat ini, sepertinya tampak mulai bosan dan putus asa dengan demokrasi.
Kondisi tersebut digambarkan oleh Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk dalam Journal of Democracy. Di dalam penelitian mereka, disebutkan bahwa masyarakat Amerika Utara dan Eropa mulai sinis dengan dengan nilai-nilai demokrasi sebagai sistem politik. Masyarakat juga mulai tidak terlalu berharap bahwa apapun yang mereka lakukan bisa mempengaruhi kebijakan publik. Terdapat pula fenomena untuk memberikan dukungan pada alternatif pemerintahan yang lebih otoriter.
Mounk menganggap bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan rasa bosan masyarakat terhadap demokrasi. Salah satunya adalah soal ekonomi. Bagi masyarakat di era saat ini, demokrasi gagal untuk mengatasi stagnasi standar hidup yang tidak mengalami kenaikan sejak tahun 1985. Oleh karena itu, masyarakat mulai memikirkan sistem lain yang dapat memberikan solusi permasalahan tersebut.
Jika melihat siklus dalam lima rezim yang dipaparkan Plato, telah diramalkan bahwa demokrasi akan berganti dengan tirani. Tirani sendiri dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk rezim yang berhaluan otoriter.
Dalam pandangan Plato, pada awalnya pemimpin tiran tidak muncul sebagai tiran. Mereka umumnya akan hadir dalam demokrasi sebagai “people’s champion” atau orang yang dikehendaki masyarakat. Mereka kemudian akan memunculkan diri sebagai pemimpin yang dapat menyatukan masyarakat.
Sejauh ini, fenomena kemunculan people’s champion ini tampak benar. Banyak pemimpin baru yang membangun narasi diri mereka sebagai pemersatu masyarakat. Ini ditandai dengan munculnya pemimpin-pemimpin populis yang digambarkan sebagai orang kuat.
Fenomena Orang Kuat
World Economic Forum (WEF) telah menyebut bahwa ada fenomena “charismatic strongman politics” atau politik karismatik orang kuat yang tengah menanjak secara global. Menurut WEF, kebangkitan politik semacam ini menjadi risiko global yang dapat memicu konflik geopolitik.
Orang-orang kuat ini muncul dari berbagai penjuru dunia dengan beragam jenis bentuk pemerintahan. Sistem demokrasi maupun otokrasi, sama-sama memberi peluang bagi munculnya pemimpin dengan karakteristik orang kuat.
Bagi negara-negara dengan sistem yang tidak terlalu demokratis, kemunculan pemimpin kuat bukanlah hal yang benar-benar mengherankan. Rusia, misalnya, figur Vladimir Putin sebagai pemimpin kuat adalah hal yang sudah terjadi sejak lama. Kondisi serupa berlaku untuk Tiongkok, di mana Xi Jinping tengah mengambil langkah menuju otokrasi personal dengan kontrol penuh terhadap Partai Komunis Tiongkok.
Di negara-negara penganut demokrasi, fenomena serupa juga tengah muncul. Di Filipina saat ini muncul Rodrigo Duterte yang melakukan perang terbuka terhadap narkoba. India juga saat ini tengah dipimpin oleh pemimpin populis yaitu Narendra Modi. Aksi Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam menghabisi oposisi juga menjadi penanda kepemimpinan kuat di sistem demokrasi. Hal senada kini muncul dalam diri Donald Trump di AS.
Di antara pemimpin-pemimpin kuat tersebut, terdapat ciri utama dalam kepemimpinan mereka. Umumnya, mereka memiliki gaya kepemimpinan yang tegas dan ditambahkan dengan narasi-narasi nasionalisme.
Menurut Alfred W. McCoy, kesuksesan pemimpin kuat yang populis tersebut disebabkan oleh kemampuan mereka untuk menciptakan definisi soal persatuan nasional. Mereka juga kerapkali memunculkan kekuatan mereka dengan menciptakan musuh bersama yang perlu diberangus.
Putin dan Erdogan, di negaranya masing-masing, saat ini tengah melakukan narasi soal perang terhadap musuh dalam selimut yang bekerja sama dengan pihak luar. Duterte di Filipina memiliki agenda besar untuk melakukan perang terhadap para pengedar narkoba. Sementara itu, Trump kerapkali melontarkan pernyataan anti-imigran.
Pemimpin-pemimpin seperti Putin, Erdogan, dan Xi Jinping juga gemar untuk menimbulkan semangat kebangkitan nasional. Mereka yakin, di tangan mereka negara akan bangkit setelah sebelumnya dipermalukan oleh pihak asing.
Indonesia Ikut Tren?
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika melihat tren belakangan, memang belum banyak survei khusus yang menggambarkan rasa bosan atau putus asa masyarakat terhadap demokrasi. Akan tetapi, ada semacam ketertarikan masyarakat terhadap pemimpin dengan karakteristik seperti strongman atau orang kuat.
Dalam survei yang dirilis oleh Indo Barometer pada Februari lalu, terlihat bahwa masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin yang tegas. Ketegasan tampak menjadi preferensi masyarakat ketimbang faktor lain seperti pemimpin yang merakyat dan bekerja nyata.
Jika diperhatikan, Jokowi menolak untuk dikategorikan sebagai pemimpin otoriter atau diktator. Mantan Wali Kota Solo tersebut sampai harus berpidato untuk mengusir tudingan tersebut kepadanya. Ia berkelakar bahwa ia tidak memiliki penampilan serupa pemimpin diktator.
Isolasi seperti diktator ORBA… https://t.co/ScFEhn97mQ
— #MerdekaBro! (@Fahrihamzah) July 22, 2017
Meski begitu, masyarakat justru menganggap bahwa Jokowi secara perlahan mulai meninggalkan demokrasi. Ada beberapa hal yang menjadi penanda anggapan tersebut.
Karakteristik orang kuat seperti pemimpin-pemimpin lain di dunia, mulai nampak dalam pemerintahan Jokowi. Ia misalnya, memiliki langkah untuk mematikan kelompok oposisi dengan menerbitkan Perppu Ormas. Dalam penerbitan Perppu tersebut, Jokowi menyebut dirinya tengah bersikap tegas terhadap kekuatan yang anti-Pancasila.
Sisi orang kuat Jokowi juga ditunjukkan dengan pernyataannya soal perlawanan terhadap ideologi komunisme. Jika ada ideologi yang ingin merongrong Pancasila seperti komunisme, ia menyebut bahwa tidak ragu-ragu untuk menggebuk atau menendangnya dari negeri ini.
Komitmennya untuk melawan narkoba juga memiliki kemiripan dengan gaya orang kuat ala Duterte di Filipina. Ia pernah mengemukakan keinginan untuk melakukan tembak mati kepada pelaku kejahatan narkoba. Selain itu, eksekusi mati pelaku kejahatan narkoba di era Jokowi juga tergolong tinggi.
Fadli Zon: Diktator bukan Dinilai dari Wajah https://t.co/pS1piop0jT #DPRRI #adv_dpr #Jakarta via @jpnncom
— Fadli Zon (@fadlizon) August 11, 2017
Pernyataan dan kebijakan Jokowi tersebut perlahan mengarahkan dirinya menjadi pemimpin yang kuat serupa Putin, Erdogan, atau Duterte. Jokowi banyak membangun narasi soal musuh bersama seperti narkoba atau kelompok anti-Pancasila. Ia juga menunjukkan keberpihakannya pada nasionalisme dengan melawan ideologi-ideologi yang anti-Pancasila.
Menurut Greg Fealy, Indonesianis dari Australia National University, Jokowi saat ini sudah memenuhi banyak kriteria sebagai strongman atau orang kuat. Menurutnya, berbagai kebijakan tegas dan kompromi yang ia lakukan diperlukan untuk meningkatkan popularitasnya. Ada keinginan yang kuat dari masyarakat untuk memiliki pemimpin dengan karakteristik semacam itu.
Tren global tentang kebosanan demokrasi dan munculnya pemimpin kuat nampaknya telah menerpa Indonesia. Jokowi sepertinya sudah terbawa arus “charismatic strongman politics” seperti yang digambarkan WEF. Perlu dilihat apakah gaya kepemimpinan kuat ini akan bermanfaat bagi orang banyak atau hanya demi citra diri saja. (H33)