HomeNalar PolitikWajar Saja Jokowi Cawe-cawe?

Wajar Saja Jokowi Cawe-cawe?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering dipersepsikan akan memiliki andil besar dalam dinamika politik Indonesia menuju 2024. Apakah hal semacam ini bisa kita salahkan? 


PinterPolitik.com 

Setelah Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan jabatannya sebagai Presiden Indonesia nanti, ia sudah dipastikan akan meninggalkan sejumlah proyek besar. Dua di antaranya yang menarik untuk kita sorot adalah Ibu Kota Nusantara (IKN), dan proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). 

Kalau kita melihat perkembangannya, Jokowi tidak bermain-main dalam memastikan proyek-proyek tersebut bisa mendapatkan sokongan investasi yang dibutuhkan. KCIC  sendiri adalah proyek yang berjalan berdasarkan bantuan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebesar ratusan triliun rupiah.  

Sementara, IKN saat ini terlihat sedang didorong semampu mungkin oleh Jokowi agar juga mendapat bantuan dari RRT. Dalam pertemuannya dengan Presiden Xi Jinping (18/10) misalnya, Jokowi bahkan mengadang-gadangkan IKN sebagai bagian dari proyek ambisius Tiongkok, One Belt One Road (OBOR). 

Yang membuat hal-hal ini menarik tentu adalah apabila kita mengaitkannya dengan masa jabatan Jokowi yang sudah tidak lama lagi. Karena hal ini, banyak yang mengaitkan “cawe-cawe” politik yang dilakukan oleh Jokowi dalam urusan Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) berkaitan dengan keinginannya untuk memastikan agar proyek-proyek tersebut bisa berjalan bahkan setelah dirinya lengser. 

Namun, apabila asumsi tersebut memang benar, tentu ini memunculkan anggapan bahwa ada ambisi yang begitu kuat sehingga Jokowi merasa perlu campur tangan langsung dalam penentuan presiden selanjutnya demi melancarkan proyek-proyek besar tadi.  

Karena itu pula, muncul semacam kegatalan dalam benak publik. Apakah cawe-cawe Jokowi adalah sekadar ambisi pribadi untuk memastikan kelanjutan proyek-proyek itu, atau justru ada titik temu yang tidak disadari orang-orang tentang ambisi seorang pemimpin? 

image 13

Kala Ambisi Pribadi dan Negara Bertemu? 

Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) belum lama lalu membuat satu buku yang cukup menarik. Bertajuk Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi, The President Can Do No Wrong, SBY mengargumentasikan pernyataan Jokowi yang ingin cawe-cawe untuk kepentingan nasional sebetulnya bisa dijustifikasi. Langkah tersebut, kata SBY, sah saja dilakukan seorang pemimpin negara. 

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Lalu, bagaimana kita bisa memiliki mindset untuk memahami ini dalam konteks keberlanjutan proyek Jokowi? Well, mungkin kita bisa sedikit berefleksi kepada alasan kenapa Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dulu lebih memprioritaskan membangun Monumen Nasional (Monas), ketimbang Masjid Istiqlal di sebuah negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia. 

Kala itu, Soekarno kurang lebih menjawab bahwa pembangunan masjid bisa dilakukan oleh banyak orang di negara lain, sementara, sebuah monumen besar seperti Monas kala itu mungkin tidak bisa dilakukan oleh banyak negara di dunia.  

Walaupun secara sekilas ambisi ini terkesan egoistik, akan tetapi bila kita maknai sebetulnya alasan Soekarno tersebut memiliki dasar pemikiran yang cukup nasionalis, utamanya karena Monas saat itu berhasil menjadi simbol keagungan Indonesia yang kala itu membuat dunia terkagum-kagum dan membuat Jakarta sejajar dengan kota besar modern. Hal ini tentu menakjubkan, apalagi bila kita kaitkan dengan kondisi negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia. 

Dengan pandangan seperti itu, kalau kita ingin berasumsi, sebetulnya ambisi Soekarno tersebut bisa menjadi bukti kuat bahwa ambisi pribadi seorang pemimpin dan kepentingan untuk negara sebetulnya bisa memiliki titik temu. Tidak ada yang bisa tahu pasti bahwa kala itu Soekarno mungkin saja memang ingin namanya terus dikenang melalui kehadiran Monas. Tapi, di sisi lain, tidak ada yang bisa memastikan juga bahwa Soekarno mungkin memang membangun Monas demi nama baik Indonesia.

Hal inilah yang kemudian kemungkinan besar juga terjadi kepada ambisi Jokowi terkait persoalan cawe-cawenya, agar proyek-proyek besar Indonesia bisa dilanjutkan oleh pemimpin Indonesia selanjutnya. Mungkin saja, secara psikologis, Jokowi saat ini merasa ingin memiliki “Piramida” atau Monasnya sendiri, dan hal itu hanya bisa dilakukan bila presiden selanjutnya memiliki pandangan yang sama. Dan sebetulnya, hal tersebut bukanlah sesuatu yang salah. 

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Namun, ambisi cawe-cawe Jokowi kemungkinan muncul dari sesuatu yang lebih “intim” dari motif politik monumen semata.

image 14

Politik “Raja Jawa”?

Sebagai seorang politisi yang berasal dari Tanah Jawa, menarik untuk kita coba kaitkan beberapa budaya Kejawaan dengan ambisi seorang Jokowi. Buku R.O.G Anderson yang berjudul The Idea of Power in Javanese Culture, mungkin bisa sedikit memberi pencerahan.

Anderson menyebutkan, dalam budaya Jawa, keharmonisan antara raja yang sedang menjabat dan raja selanjutnya dianggap sangat penting. Konsep ini mencerminkan nilai-nilai kestabilan dan kontinuitas dalam pemerintahan. Hubungan yang baik antara penguasa yang sedang memerintah dan penerusnya diharapkan dapat menjaga stabilitas dan ketentraman dalam kerajaan atau wilayah tersebut.

Tradisionalnya, proses pemilihan dan suksesi penguasa Jawa melibatkan pertimbangan yang mendalam terhadap kesejahteraan kerajaan dan masyarakatnya. Keharmonisan antara penguasa yang memerintah dan calon penerusnya diharapkan menghindari konflik dan ketegangan yang dapat merusak stabilitas politik dan sosial.

Meski tradisi ini semakin terkikis seiring dengan perkembangan sistem politik modern di Indonesia, nilai-nilai keharmonisan dan stabilitas tetap memiliki nilai penting dalam budaya politik Indonesia yang kerap memiliki pemimpin berlatar budaya Jawa.

Dengan pandangan ini, maka mungkin saja kita asumsikan bahwa sebetulnya salah satu ambisi terbesar dari Jokowi untuk cawe-cawe adalah karena ia ingin dirinya dan negaranya bisa hidup setenang mungkin tanpa adanya konflik baru, akibat pemimpin setelahnya yang ingin merombak apa yang sudah dibangun Jokowi.

Dalam konteks keberlanjutan program, IKN dan KCIC harus dipastikan agar mereka tidak menjadi sumber ketidak tenangan bagi Jokowi dan Indonesia secara keseluruhan, di masa mendatang. Hal ini hanya bisa dipastikan bila presiden selanjutnya memiliki visi yang sama.

Kalau memang seperti itu, maka mungkin kata-kata SBY soal cawe-cawe Jokowi yang dianggap wajar bisa dapat lebih mudah kita pahami. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin?