Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Hingga Golkar, Pratikno Mastermind?

jokowi pratikno

Presiden Jokowi bersama Mensesneg Pratikno saat berada di kompleks Kantor Presiden, Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Senin 29 Juli 2024 lalu. (Foto: ANTARA/Mentari Dwi Gayati)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/08/pratikno-full.mp3

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Rangkaian dinamika politik terkini mulai dari pengunduran diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, reshuffle kabinet jelang dua bulan masa pemerintahan berakhir, hingga terbentuknya koalisi besar KIM Plus, jamak dikaitkan dengan sosok Joko Widodo (Jokowi). Menariknya, nama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno sempat dikaitkan dengan segala manuver bertendensi politis Presiden Jokowi. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Beberapa peristiwa politik terkini yang dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat sejumlah pertanyaan muncul. Terutama, mengenai bagaimana implementasi strategi politik tingkat tinggi itu mampu dilakukannya di mana menariknya nama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno sempat mengemuka sebagai salah satu operator manuver politik Presiden Jokowi.

Kendati masih bersifat spekulasi, hal itu tentu cukup menarik untuk diinterpretasi lebih lanjut mengingat jika memang benar-benar dilakukan, Jokowi dapat dipastikan membutuhkan orang yang benar-benar dapat diandalkannya mengaktualisasikan segala rencana dan strategi.

Saat nama Pratikno muncul pertama kali sebagai operator politik Jokowi dalam laporan Tempo, dirinya disebut-sebut menjadi perantara di Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan perubahan syarat kandidat di Pilpres dalam UU Pemilu.

Pun dengan lobi ke berbagai partai politik (parpol) agar bersedia menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

Sekali lagi, satu hal menarik dari postulat itu adalah tidak ada konfirmasi maupun bantahan langsung dari Pratikno maupun Presiden Jokowi.

Dengan kata lain, presumsi mengenai peran Pratikno dalam dinamika politik kontemporer yang jamak dikaitkan dengan Presiden Jokowi tampaknya masih terbuka.

Jika memang benar demikian, maka pertanyaannya adalah bagaimana seorang Pratikno mampu melakukan peran itu?

“Laboratorium Politik”, Solo hingga Indonesia?

Pertemuan pertama antara Jokowi dan Pratikno yang menciptakan simbiosis politik di antara mereka setidaknya dapat dilacak kembali ke masa ketika Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Surakarta (Solo) dan Pratikno masih berkarier sebagai akademisi.

Ketika itu, Pratikno yang merupakan seorang profesor di Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki perhatian terhadap kebijakan publik dan pemerintahan daerah, yang membuatnya tertarik dengan inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Jokowi di Solo.

Gaya kepemimpinan Jokowi yang merakyat, serta pendekatannya yang berbasis pada dialog dan partisipasi warga, menarik perhatian banyak akademisi, termasuk Pratikno.

Pratikno sendiri sedang terlibat dalam berbagai riset tentang desentralisasi dan otonomi daerah saat itu, sehingga praktik-praktik yang dilakukan Jokowi di Solo menjadi studi kasus yang menarik bagi Pratikno dan para koleganya.

Kolaborasi yang awalnya belum terstruktur secara formal, kemudian bertransformasi menjadi simbiosis politik di Pilkada Jakarta 2012 di mana Pratikno menjadi salah satu figur yang mendukung kampanye Jokowi, memberikan masukan strategis dari perspektif akademis yang membantu Jokowi menyusun kebijakan yang berdampak luas.

Ketika Jokowi kemudian terpilih sebagai Presiden RI pada tahun 2014, Pratikno dipercaya untuk mengisi posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) hingga saat ini.

Dengan power berbeda yang telah dimiliki sebagai Presiden RI serta korelasi dengan kepercayaannya terhadap Pratikno, kiranya memang terdapat ruang interpretasi bahwa Jokowi memberikan mandat lebih kepada alumni Flinders University, Australia itu di ranah penasihat politik sekaligus eksekutor lobi dan manuver politik, khususnya yang bersifat personal.

Saat berbicara power, membekali dengan segala instrumen yang bisa dikerahkan oleh seorang Presiden RI pun kiranya menjadi logis untuk dilakukan Jokowi sehingga Pratikno mampu berperan sebagai “operator” yang menopang kepentingan politiknya.

Untuk menguji presumsi itu, teori agen (agency theory) dan konsep hubungan patron-klien agaknya dapat dijadikan pintu masuk analisis.

Teori agen, yang diperkenalkan oleh Michael Jensen dan William Meckling menggambarkan hubungan antara “principal” (pemegang kepentingan atau pemilik kekuasaan) dan “agent” (pihak yang diberi mandat untuk mengelola atau mengoperasikan tugas tertentu).

Kendati digunakan dalam konteks bisnis, teori itu kiranya juga relevan untuk melihat konteks Jokowi di mana dapat dilihat sebagai “principal” yang memberikan mandat kepada Pratikno sebagai “agent” untuk mengelola berbagai urusan yang bersifat administratif maupun strategis di pemerintahan.

Selain itu, relasi di antara Jokowi dan Pratikno juga bisa ditinjau melalui lensa hubungan patron-klien, yang sering digunakan dalam analisis politik di Indonesia.

Dalam konteks ini, Jokowi bisa dipahami sebagai “patron” yang memberikan perlindungan politik, sementara Pratikno sebagai “klien” yang menyediakan layanan atau keahlian tertentu sebagai imbalan atas dukungan tersebut.

Namun, dalam beberapa kasus, klien yang sangat kompeten bisa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap patron, sehingga batas antara siapa yang mengendalikan siapa menjadi kabur. Di sini lah titik menarik interpretasi dalam artikel ini.

Awalnya, sebagaimana laporan Tempo, Presiden Jokowi disebut-sebut menjadikan Pratikno sebagai operator politik. Akan tetapi, bagaimana jika sebenarnya Pratikno pun turut menginisiasi dan berperan jauh lebih aktif dalam membentuk dinamika politik tingkat tinggi di Indonesia melalui rekomendasi serta lobi yang dipercayakan datang darinya? Persis seperti kaburnya sosok “pengendali” dalam konsep patron-klien.

Kala berbicara kemungkinan motif Pratikno pun cukup beragam, termasuk untuk menjadikan politik Indonesia sebagai “laboratorium praktis” segala probabilitas yang sebelumnya tabu atau cukup “radikal” untuk dilakukan.

Pratikno, Undercover Genius?

Sekali lagi, Pratikno bukanlah sosok yang muncul begitu saja dari ranah politik. Dirinya memiliki latar belakang akademik yang solid, terutama dalam ilmu politik dan pemerintahan.

Sejumlah publikasi dan penelitian Pratikno membahas mengenai birokrasi, desentralisasi, dan demokrasi di Indonesia memberikan pemahaman mendalam mengenai dinamika politik dan administrasi di tingkat lokal maupun nasional.

Latar belakang akademisi yang tak main-main, tak resisten untuk berinteraksi dengan politik praktis, serta “keberuntungan” karena memiliki simbiosis dengan Jokowi, seolah menjadi prasyarat yang membuat Pratikno menjadi ideal untuk menjadi seorang “operator”.

Sosoknya yang secara kasat mata tampak low profile pun menjadikannya sangat ideal untuk menjadi undercover genius untuk mengaktualisasikan probabilitas serta interpretasi sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya.

Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa meskipun Pratikno memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dan hubungan yang dekat dengan Jokowi, tak serta merta menjadikannya sebagai mastermind di balik semua keputusan politik sang RI-1.

Sebagai Presiden, Jokowi tentu memiliki akses ke berbagai sumber informasi dan masukan dari berbagai pihak, termasuk partai politik, penasihat lainnya, dan pemimpin sektor bisnis.

Keputusan politik sendiri pada akhirnya dan pada hakikatnya merupakan hasil dari berbagai pertimbangan, dan bukan hanya dari satu individu atau kelompok kecil saja.

Tetapi, sekali lagi, saat situasi krusial atau kritis terjadi, sosok orang kepercayaan atau yang paling dipercaya dari para terpercaya, menjadikan Pratikno bisa saja memang salah satu dari sedikit sosok yang tepat untuk diandalkan Jokowi. (J61)

Exit mobile version