Jalur sutra merupakan perlintasan perdagangan yang terkenal berabad-abad lalu. Kini, jalur sutra versi milenium kembali digagas oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping. Bagaimana sikap Indonesia pada inisiatif perdagangan lintas negara ini?
PinterPolitik.com
“Apakah sejarah itu? Pengulangan masa lalu di masa depan; refleksi dari masa depan pada masa lalu.” ~ Victor Hugo
[dropcap size=big]D[/dropcap]alam sejarah Indonesia, tercatat sebuah jalur yang dikenal sebagai salah satu pintu masuknya perdagangan luar negeri dan penyebaran Islam di Nusantara. Jalur itu, dikenal sebagai “Jalan Sutra” (Silk Road). Perjalanan melalui laut ini, merupakan pengembangan perdagangan lintas benua dari daratan Tiongkok menuju Eropa. Sebuah jalur yang tak hanya meningkatkan pertukaran perekonomian, tapi juga kebudayaan lintas negara.
Sekitar dua ribu tahun kemudian, Presiden Tiongkok Xi Jinping berinisiatif untuk mengembalikan jalur perdagangan lintas negara yang telah musnah tersebut. Program perdagangan ini dikenal dengan sebutan One Belt One Road (OBOR). Pendiriannya diawali dengan program infrastruktur, khususnya dibidang transportasi yang dapat menyatukan Tiongkok dengan seluruh negara di dunia.
Demi mensosialisasikan inisiatif tersebut, Tiongkok menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR yang dilaksanakan 14-15 Mei lalu. Dari 50 delegasi yang datang, terdapat 29 kepala negara dan kepala pemerintahan yang ikut hadir. Selain Presiden Joko Widodo, datang pula Perdana Menteri Malaysia Nadjib Abdul Razak dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
“Kita akan lihat, One Belt One Road ini konsepnya seperti apa. Baru kita tahu bisa masuk di sebelah mana,” ujar Jokowi, sebelum berangkat ke Tiongkok, Jakarta, Sabtu (13/5). Pada KTT itu, Indonesia juga akan menawarkan sejumlah proyek strategis di bidang transportasi, yaitu proyek pelabuhan hub internasional Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Bitung di Sulawesi Utara.
Dari Sutra Hingga Dunia
“Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.” ~ Pramoedya Ananta Toer
Terbukanya hubungan antarnegara dan antarbenua, seperti yang dikatakan oleh Pram, memang tak lain berkat perdagangan – terutama jual beli kain sutra antara pedagang Tiongkok kuno dengan para Prajurit Roma. Rute yang kemudian dikenal sebagai Jalan Sutra ini terjadi di era Dinasti Han, yaitu pada abad kedua Sebelum Masehi (SM) sampai abad kedua setelah masehi.
Perdagangan melalui darat ini dilakukan dengan melintasi Asia Selatan hingga ke Timur Tengah, Eropa, bahkan ke Afrika. Dan semakin berkembang setelah menggunakan kapal laut. Namun istilah “Jalur Sutra” sendiri baru dicetuskan oleh Geografer Jerman Ferdinand von Richthofen di abad ke-19, dan diakui sebagai jembatan penting yang membuka pertukaran ekonomi serta kebudayaan Tiongkok ke hampir seluruh dunia.
Nusantara sendiri termasuk dalam jalur sutra maritim Tiongkok. Perdagangannya melalui perairan Samudra Hindia yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, di tahun 1405-1433. “Untuk perdamaian, untuk persahabatan,” demikian pesan Kaisar Zhu Di dari Dinasti Ming, ketika Laksamana Cheng Ho bertanya tentang tugasnya mengarungi samudra. Dalam tujuh kali misinya, ia berkunjung ke Kalimantan, Jawa, hingga Sumatra.
Perekonomian Lintas Benua
“Tiongkok berusaha membangun bisnis saling menguntungkan dengan negara lain yang berpartisipasi dalam inisiatif Belt & Road. Upaya ini dirancang untuk mendorong pertumbuhan di wilayah masing-masing, dan seluruh dunia.”
Itulah pernyataan Xi Jinping saat membuka KTT OBOR yang merupakan reinkarnasi Jalur Sutra di abad milenium. Melalui inisiatif ini, ia ingin merajut kembali jaringan logistik dan transportasi yang menjalin benua Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Bersama 65 negara yang terlibat didalamnya, OBOR akan menyumbang sepertiga pendapatan domestik bruto (PDB) global dan 60 persen populasi dunia, menurut Oxford Economics.
Menurut Xi, infrastruktur sangat penting untuk kemajuan ekonomi yang terbuka, sehingga bidang tersebut menjadi fokus utama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Sebagai titik awal, negara tirai bambu ini pun telah memulainya dari Kazakhstan di Asia Tengah dan Indonesia di Asia Tenggara, yaitu dengan dimulainya pembuatan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Demi merealisasikan mimpi besarnya itu, Tiongkok bersedia mengucurkan 100 miliar dollar AS, untuk membiayai berbagai proyek dan strategi OBOR. Termasuk jaminan keberhasilan proyek ini, dengan membentuk skema pendanaan melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), New Silk Road Fund, kerangka Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), serta bantuan bilateral langsung.
Karenanya, banyak pihak yang menilai kalau inisiatif ini sangat ambisius. Serta disinyalir merupakan upaya Tiongkok dalam memperkuat investasi, pengaruh, dan hubungan ekonomi. Terutama dalam menopang akses ke sumber energi dan sumber pertumbuhan di luar negeri, akibat perlambatan pertumbuhan domestik.
Namun tudingan itu ditampik Menteri Luar Negeri Wang Yi. Menurutnya, OBOR adalah kerjasama inklusif, bukan alat geopolitik. Kerjasamanya lebih menekankan pada aspek ekonomi, tanpa mempermasalahkan ideologi, agama, ataupun sikap politik. “Tiongkok hanyalah pencetus inisiatif ini dan mengharapkan partisipasi aktif negara-negara lain. Tiongkok juga tidak dalam posisi untuk memengaruhi atau mendikte program pembangunan infrastruktur dari negara-negara lain,” tegasnya.
OBOR dan Poros Maritim
“Si Vis Pacem Para Bellum. Jika kau ingin kedamaian, maka bersiaplah untuk berperang”
Kalimat ini dilontarkan oleh filsuf Yunani, Flavius Vegetius Renatus dalam bukunya, De Re Militari (abad keempat atau kelima Masehi). Berdasarkan pemikirannya, bila suatu negara ingin mendapatkan stabilitas keamanan atau kedamaian, maka yang harus dilakukan adalah memperkuat pertahanan dan kekuatan angkatan perang, sehingga kedaulatan negara tidak akan mudah diusik oleh kekuatan asing.
Menjaga kedaulatan negara, itu juga yang menjadi salah satu tujuan Jokowi ketika mencetuskan gagasan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi karena merupakan negara kepulauan terbesar. Sehingga gagasan ini akan menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut, serta keamanan maritim yang terfokus.
Seiring dengan gagasan koneksitas Tiongkok melalui inisiatif OBOR, Jokowi menyadari kalau Jalur Sutra Maritim akan sulit terwujud tanpa kontribusi signifikan dari Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Sebagai zona ekonomi maritim terbesar di dunia, lokasi Indonesia sangat strategis karena terletak di persimpangan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Tekad ini pula yang dilontarkan Jokowi dihadapan para delegasi, Senin, (15/5), di Yangqi Lake International Conference Center (ICC). Ia mengakui kalau potensi itu masih belum optimal, sebab sebagian besar wilayah belum terkoneksi dengan infrastruktur memadai, di sinilah OBOR dapat berperan. “Namun reformasi menciptakan ruang fiskal sekitar 15 miliar dollar AS per tahun untuk pembangunan infrastruktur. Sehingga lahirlah program pengembangan infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia,” ujarnya.
Jangan Lengah
“New Delhi seharusnya merasa malu karena Moskow telah secara aktif merespon inisiatif OBOR ini, bahkan akan membangun koridor ekonomi dengan Tiongkok dan Mongolia,”
Ejekan ini diutarakan oleh Lin Minwang, pengamat dari Institut Hubungan Internasional Shaghai, Universitas Fudan, menanggapi keengganan India untuk bergabung dalam inisiatif ini. Dengan tidak ikut sertanya India dalam inisiatif OBOR, akan menjadi penghambat bagi Tiongkok untuk membangun koridor infrastuktur menuju Sri Lanka, Nepal, Bangladesh, dan Myanmar.
Penolakan India cukup beralasan, selain pemerintah tidak mau membebani rakyatnya dengan pinjaman yang diberikan Tiongkok. India juga cemas dengan kehadiran jalur perdagangan lintas benua di wilayahnya. Sebab, China-Pakistan Economic Corridor yang merupakan salah satu titik penghubung OBOR juga menghubungkan wilayah sengketa, yaitu kawasan Gilgit di India dan Baltistan di Kashmir wilayah Pakistan.
Di sisi lain, Human Rights Watch (HRW) juga mencemaskan nasib warga miskin di wilayah yang dilintasi jalur OBOR. Terutama di negara-negara Asia Tengah. “Kami khawatir masyarakat miskin yang di wilayahnya akan dibangun infrastruktur OBOR menjadi kian tersisih,” tulis HRW dalam masukan resminya untuk Tiongkok.
Your govt leader travelling to China’s OneBelt OneRoad summit? Here’s what Beijing won’t be talking about @HRW https://t.co/iqidGLfcvN pic.twitter.com/VWwEzTc5eV
— Hugh Williamson (@HughAWilliamson) May 13, 2017
Pengamat politik I Gede Wahyu Wicaksana juga meminta Pemerintah Indonesia ikut berhati-hati. Walau dari segi perekonomian dan pembangunan, inisiatif OBOR ini berdampak positif. Namun, pemerintah juga harus memandang lebih jauh kerjasama tersebut. “Ada konsesi politik di balik infrastruktur Jalur Sutra,” kata Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini.
Menurutnya, pemerintah harus waspada dengan ambisi Tiongkok yang ingin menyambung kekuatan laut Tiongkok–Indonesia melalui Natuna dan kedaulatan Tiongkok atas Nine-Dash-Line yang menjangkau perairan Natuna. “Kepentingan mereka bukan hanya pada proyeksi kekayaan bawah laut saja, tapi juga ruang lebih luas di lautan yang selama ini diawasi ketat oleh kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat.”
Selain itu, peluncuran Jalur Sutra ini juga disusul dengan reorientasi kebijakan keamanan Tiongkok yang dipublikasikan pada 11 Januari 2017, yaitu secara tegas menyatakan Asia akan lebih baik tanpa AS. Bahkan Perdana Menteri Li Keqiang menyerukan agar negara-negara Asia meninggalkan kebiasaan usang meminta tolong pengamanan ke Washington, dengan beralih ke Beijing.
Sayangnya, hingga kini belum ada kebijakan jelas tentang hubungan Indonesia-Tiongkok. Semua normatif; bebas aktif, saling menguntungkan, dan tidak melanggar kepentingan nasional. “Tiongkok adalah aktor unik yang harus dihadapi dengan strategi khusus. Paling tidak Jakarta menyiapkan formula dua arah. Jangan sampai kebutuhan investasi membuat Indonesia tunduk pada politik infrastruktur dan akhirnya terseret dalam rivalitas adidaya,” sarannya.
Terlepas dari kritik yang muncul, peran Tiongkok sebagai negara dengan kue ekonomi terbesar di dunia memang kian penting. Terutama ketika AS justru memagari negaranya dengan tembok proteksionisme. Dengan menyediakan jalur perdagangan yang bisa diakses tak kurang dari 60 persen populasi dunia, ke depannya, Tiongkok bisa dipastikan akan membongkar ulang tata perekonomian global.
(Berbagai sumber/R24)