Kerusuhan pendukung Donald Trump di gedung Capitol disebut telah mencoreng demokrasi di Amerika Serikat (AS). Mungkinkah Trump telah membawa AS menuju kakistokrasi? Lalu, apakah Indonesia juga dapat menuju ke sana?
“Seperti banyak orang Amerika, saya terkejut dengan hasil tersebut (terpilihnya Trump di Pilpres AS 2016) dan terusik oleh implikasinya terhadap Amerika Serikat dan dunia.” – Francis Fukuyama, dalam Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian (2018)
Kerusuhan di gedung Capitol, Amerika Serikat (AS) beberapa waktu yang lalu membuat berbagai pihak di tanah air seperti bernostalgia dengan peristiwa politik ketika Soeharto berhasil dipaksa turun takhta. Di media sosial, misalnya, foto gedung Capitol yang dikerumuni pendukung Donald Trump dibandingkan dengan keberhasilan demonstran menduduki gedung DPR pada tahun 1998.
Namun, kendati terlihat sama, substansi kedua peristiwa tersebut jauh berbeda. Jika 1998 adalah preseden bangkitnya penegakan demokrasi, peristiwa Capitol justru dinilai sebagai preseden kemunduran demokrasi. Ya, tujuan para pendukung Trump sendiri untuk mendelegitimasi hasil pemilu agar Joe Biden tidak dinobatkan sebagai pemenang di Pilpres AS 2020.
Selaku kiblat demokrasi dunia, benar-benar menjadi pertanyaan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi. Di sini, mungkin ada yang bertanya, apakah itu menjadi indikasi kemunduran demokrasi?
Ilmuwan politik terkemuka AS, Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian (2018) juga turut melihat fenomena ini. Menurutnya, sejak pertengahan tahun 2000-an, tengah terjadi tren kemunduran demokrasi yang ditandai dengan jumlah negara demokrasi yang terus menurun.
Baca Juga: FPI dan Geliat Vigilantisme Loyalis Trump
Tren tersebut begitu kontras jika dibandingkan dengan tiga dekade sebelumnya, di mana sejak tahun 1970-an, terjadi peningkatan negara demokrasi, dari 35 negara menjadi 120 negara pada awal tahun 2000-an.
Kendati terjadi tren kemunduran demokrasi belakangan ini, tentu terlalu simplifikatif untuk menyebutkan peristiwa Capitol sebagai efek domino tren global yang sedang terjadi. Oleh karenanya, pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah Trump adalah preseden utama kemunduran demokrasi di negeri Paman Sam?
Kakistokrasi
Menariknya, dalam bukunya yang fenomenal, The End of History and the Last Man yang diterbitkan pada tahun 1992, Fukuyama telah memberi perhatian pada Donald Trump. Di sana, Fukuyama menyebut Trump sebagai sosok arogan dengan membandingkannya dengan Leona Helmsley, pengusaha real estate AS yang dikenal berkepribadian flamboyan dan memiliki perilaku yang buruk sehingga dijuluki sebagai Queen of Mean (Ratu Jahat).
Jika dalam The End of History and the Last Man, Fukuyama hanya menyebut nama Trump sebanyak dua kali, dalam Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, nama politisi Republik ini disebut lebih dari dua puluh kali.
Jumlah itu tidak mengejutkan, karena buku Identitas sendiri ditulis sebagai respons atas kemenangan Trump di Pilpres AS 2016. Fukuyama begitu terkejut, bagaimana mungkin Trump yang karakternya tidak cocok menjadi Presiden AS, justru terpilih memimpin negara yang menjadi kiblat demokrasi dunia.
Howard Brasted dan Shafi Mostofa dalam tulisannya How Huntington and Fukuyama got the 21st century wrong mencatat, pada tahun 2020, Fukuyama menegaskan bahwa di bawah Trump, AS telah menjadi lambang kakistocracy (kakistokrasi).
Kakistokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh warga negara yang terburuk (goverment by the worst people), paling tidak berkualitas, dan/atau paling tidak bermoral.
André Spicer dalam tulisannya Donald Trump’s ‘kakistocracy’ is not the first, but it’s revived an old word, menyebutkan istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Paul Gosnold dalam sebuah pidato pada tahun 1644. Menariknya, pidato itu dilakukan di hadapan “King’s parliament” (Parlemen Raja) yang tengah berkumpul di Oxford, Inggris untuk mendukung tujuan monarki.
Pada tahun 1838, senator AS William Harper membuat istilah tersebut populer karena mengklaim anarki adalah sejenis kakistokrasi. Kemudian pada tahun 1876, penyair AS James Russell Lowell pernah bertanya: “Apakah kita adalah ‘pemerintahan rakyat oleh rakyat untuk rakyat,’ atau lebih tepatnya kakistokrasi, untuk kepentingan para bajingan dengan mengorbankan orang bodoh?”.
Baca Juga: Trump Di Ambang Menerapkan Martial Law?
Tidak hanya digunakan sebagai kritik di AS, dalam perjalanannya ke Australia, penulis Inggris John Martineau juga menggunakan istilah kakistokrasi untuk menggambarkan kualitas pemerintahan yang sangat buruk di negeri Kanguru.
Dalam tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1869, Martineau mendokumentasikan kualitas layanan sipil yang buruk, politisi yang mementingkan diri sendiri, dan debat politik yang sangat kasar di Australia.
Menurut André Spicer, istilah kakistokrasi muncul kembali pada abad ke-20, tetapi dengan arti yang berbeda. Jika penggunaan sebelumnya untuk menggambarkan buruknya kualitas politisi dan pemerintahan, kakistokrasi saat itu digunakan untuk menggambarkan pemerintahan yang begitu korup.
Di era pemerintahan Barack Obama, Glenn Beck juga pernah menggunakan istilah tersebut untuk menyerang politisi Demokrat tersebut. Beck menggunakan kakistokrasi untuk menggambarkan campuran beracun dari kejahatan terorganisir, oligarki yang mementingkan diri sendiri, dan negara disfungsional.
Menariknya, sejak malam pelantikan Trump, ekonom Paul Krugman telah memberi peringatan serius. Tulisnya, “Apa yang kami lihat, dengan sangat jelas, adalah kakistokrasi Amerika.” Enam bulan kemudian, ilmuwan politik Norm Ornstein juga menyimpulkan hal serupa dengan menulis, “kakistokrasi telah kembali, dan kami mengalaminya secara langsung di Amerika”.
Seperti yang ditulis Fukuyama dalam buku Identitas, Trump adalah produk dan kontributor pembusukan lembaga-lembaga politik AS.
Singkatnya, jika tepat politisi Republik ini telah membawa AS menuju kakistokrasi, maka peristiwa Capitol kemarin bukanlah kemunduran demokrasi dalam artian luas, melainkan sebagai konsekuensi dari buruknya kepemimpinan dan karakter Trump.
Kakistokrasi di Indonesia?
Seperti yang dicatat André Spicer, penggunaan istilah kakistokrasi kerap kali memiliki makna yang sedikit berbeda. Namun yang jelas, kita dapat menyimpulkan istilah tersebut ditujukan untuk menggambarkan politisi yang tidak kompeten dan buruknya kualitas pemerintahan.
Di Indonesia, istilah kakistokrasi sekiranya masih asing. Jauh kalah tenar dengan istilah peyoratif lainya, seperti oligarki, dinasti politik, otoriter, dan korup. Ya, itu memang wajar, karena penggunaannya beririsan dengan istilah-istilah tenar tersebut.
Baca Juga: Jokowi Harus Jadi Paranoia Konstruktif
Namun, di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, kita mungkin perlu merenungkan apakah istilah kakistokrasi perlu digunakan untuk menggambarkan situasi. Pasalnya, sejak awal, berbagai pihak menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkesan underestimate (meremehkan) pandemi Covid-19.
Atas ihwal tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, mudah saja menyebut bahwa kondisi saat ini benar-benar tidak terduga, dan memang tidak ada negara yang siap menghadapi pandemi.
Terkait hal ini, Luhut dan pihak-pihak yang sependapat dengannya mungkin perlu melihat Singapura. Ray Junhao Lin, Tau Hong Lee dan David CB Lye dalam tulisannya From SARS to COVID‐19: the Singapore journey menyebutkan, belajar dari pandemi SARS pada tahun 2003, Singapura memperbaiki dan meningkatkan sistem perawatan kesehatannya untuk bersiap menghadapi pandemi selanjutnya di masa depan.
Evan A. Laksmana dalam tulisannya Why the Covid-19 Pandemic was a ‘Strategic Surprise’ for Indonesia juga menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 sebenarnya adalah peristiwa yang dapat diprediksi, sehingga tidak tepat disebut sebagai black swan, yakni peristiwa mengejutkan yang tidak dapat diprediksi.
Selain persoalan pandemi Covid-19, ada pula masalah akut seperti korupsi, buruknya kualitas pelayanan publik, pendidikan, kemiskinan, dan kuatnya pengaruh oligarki. Terkhusus yang terakhir, Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia menyebutkan bahwa oligarki atau para pemilik modal memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemilihan pemimpin di Indonesia.
Lantas, apakah sederet persoalan tersebut menunjukkan pemerintahan Jokowi sebagai kakistokrasi? Terkait hal ini, sekiranya itu bergantung atas persepsi dan perspektif kita masing-masing. Lagi pula, tidak terdapat konsensus tunggal terkait penggunaan istilah kakistokrasi.
Namun yang jelas, Presiden Jokowi perlu belajar dari AS agar kakistokrasi yang dibawa Trump tidak terjadi di Indonesia. (R53)