Setiap tahunnya ada lebih dari satu juta pengangguran baru yang merupakan lulusan sekolah tinggi. Apakah ini menunjukkan jargon link-and-match yang disebutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanyalah basa-basi semata?
PinterPolitik.com
“The government solution to a problem is usually as bad as the problem.” – Milton Friedman
Pada 21 Maret 2023, The New York Times mengeluarkan artikel menarik dengan judul ‘Listen to Us.’ What These 12 Kids Want Adults to Know. Artikel yang ditulis oleh Ariel Kaminer dan Adrian J. Rivera itu mewawancarai 12 anak berusia 11-14 tahun soal sekolah, media sosial, hingga ketakutan tumbuh menjadi dewasa.
Ketika ditanya apa yang membuat mereka gugup atau takut ketika menjadi dewasa, banyak anak menjawab soal keuangan dan pekerjaan. Mereka takut tidak mendapatkan pekerjaan yang baik atau keuangan yang stabil.
“I’m scared of the possibility of losing my job and not having a stable income to get a house or apartment to live in,” ungkap Wynter yang berusia 14 tahun.
Ketakutan Wynter adalah ketakutan kita semua. Kita takut tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah atau sekadar mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah.
Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis Badan Pusat Statistika (BPS), per Agustus 2022 jumlah pengangguran terbuka berjumlah 8,4 juta jiwa. Mirisnya, hampir satu juta di antaranya merupakan lulusan sekolah tinggi.
Sebanyak 673,49 ribu merupakan lulusan universitas dan sebanyak 159,49 ribu merupakan lulusan akademi/diploma. Angka ini juga menjadi perhatian serius Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah beberapa waktu yang lalu.
“Kita masih punya PR (pekerjaan rumah) bahwa jumlah pengangguran lulusan sarjana dan diploma masih di angka 12 persen karena tidak adanya link-and-match,” ungkap Ida pada 22 Februari 2023.
Angka yang tercatat sekiranya merupakan puncak gunung es karena timpangnya jumlah kelulusan dengan lowongan kerja yang tersedia.
Pada 2022, misalnya, jumlah mahasiswa/i yang lulus sebanyak 1,85 juta. Sementara jumlah lowongan kerja hanya 59.276 lowongan kerja. Jumlah itu merosot drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 507.799 lowongan.
Sekalipun jumlahnya tidak berkurang alias tetap 500 ribu lowongan, terdapat 1,3 juta mahasiswa/i yang tidak mendapatkan pekerjaan alias menganggur. Dengan demikian, jika tiap tahunnya katakanlah terdapat 1,8 juta lulusan dan 500 ribu lowongan, berarti terdapat 1,3 juta pengangguran baru setiap tahunnya.
Itu pun harus bersaing dengan mereka yang lulus pada tahun-tahun sebelumnya dan mereka yang sudah memiliki pengalaman kerja. Angka aslinya pasti lebih besar dari itu. Selain itu, angka lulusan akan terus meningkat karena terjadi kenaikan jumlah mahasiswa/i tiap tahunnya.
Temuan ini membuat kita menaruh tanda tanya serius. Seperti yang disebutkan Menaker Ida, ini menunjukkan link-and-match tidak berjalan.
Pada periode keduanya, link-and-match menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) juga disebut-sebut untuk mewujudkan hal tersebut.
Lantas, dengan ini telah menjadi perhatian khusus RI-1, kenapa link-and-match tetap tidak berjalan? Apakah Presiden Jokowi tidak serius alias hanya menggunakannya sebagai jargon?
Link-and-Match Tidak Mungkin?
Konsep link-and-match di panggung politik Indonesia bukanlah hal baru. Link-and-match pertama kali diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 1993-1998 Prof. Dr.-Ing. Wardiman Djojonegoro. Ini adalah konsep yang sudah ada sejak Orde Baru (Orba).
Dengan fakta link-and-match sudah diusahakan sejak pemerintahan Soeharto, ini menunjukkan terdapat ganjalan besar yang membuat sistem ini tidak kunjung berjalan. Alasan utamanya adalah kampus dan industri memang sulit untuk bekerja sama.
David Casado Lopez dan Johannes Fussenegger dalam penelitian tesis berjudul Challenges in University-Industry Collaborations menyebutkan kampus dan industri bekerja dengan cara dan budaya yang berbeda. Ini membuat keduanya memiliki perbedaan orientasi dan nilai.
Pertama, seperti diketahui, tujuan industri itu sederhana, yakni mencari profit atau keuntungan. Industri menilai teori dari sejauh mana kemampuannya untuk diterapkan dan menghasilkan keuntungan.
Sementara, kampus memiliki idealisme sebagai tempat untuk belajar. Motivasi utama kampus adalah menyebarkan ilmu pengetahuan dan merumuskan teori. Selain itu, tidak banyak mata kuliah di kampus yang mengajarkan bagaimana mendapatkan uang.
Kedua, penelitian yang dibuat industri memiliki tujuan komersial dan bersifat tertutup. Industri akan merahasiakan hasil kajian dari pesaingnya. Sementara, kampus cenderung anti terhadap tujuan komersial. Kampus juga ingin penelitiannya disebarkan seluas mungkin.
Ketiga, karena memiliki orientasi profit jangka pendek, industri ingin penelitian dilakukan dalam waktu cepat. Sementara, kampus melakukan penelitian dalam jangka waktu yang lama karena mengejar kedalaman dan ketepatan analisis.
Industri | Kampus | |
Tujuan | Profit atau keuntungan | Menyebarkan ilmu pengetahuan |
Riset | Komersial, tertutup | Anti komersial, terbuka |
Waktu riset | Cepat, kejar profit | Lama, kejar kedalaman |
Mengutip filsuf Thomas Samuel Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, perbedaan itu dapat kita sebut dengan incommensurability – berarti “tidak dapat dibandingkan” atau “tidak memiliki ukuran umum”.
Menurut Khun, berbagai bidang, studi, domain, dan seterusnya memiliki cara pandang atau paradigma yang memang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Mereka bekerja dengan budaya dan nilai yang berbeda.
Perbedaan budaya, nilai, dan orientasi ini memiliki dampak praktis yang cukup tajam – baik kampus dan industri sering kali merasa lebih baik dari yang lainnya. Di satu sisi, kampus merasa dirinya sebagai elitis karena memiliki tujuan mulia. Bahkan, kampus juga memiliki pandangan sinis terhadap industri karena orientasinya pada uang.
Di sisi lain, industri memandang kampus sebelah mata karena dinilai hanya berkutat di ranah teoretis. Ini yang membuat mahasiswa/i yang baru lulus sulit mendapatkan pekerjaan karena industri membutuhkan tenaga yang sudah memiliki pengalaman kerja.
Singkatnya, kampus dan industri kerap kali terjebak sikap inklusif satu sama lain. Keduanya memiliki ego sektoral masing-masing. Seperti ketika kita mencari pasangan di aplikasi kencan, kita baru bisa berkomunikasi alias match apabila kedua belah pihak menggeser ke kanan atau menyukai satu sama lain.
Lantas, jika terdapat kesulitan secara alamiah untuk mewujudkan link-and-match, apakah Presiden Jokowi tidak dapat disalahkan atas tingginya pengangguran, khususnya dari lulusan sekolah tinggi?
Menanti Intervensi Jokowi
Jawabannya tentu tidak. Jika benar-benar memiliki political will, Presiden Jokowi dapat menggunakan “kekuatan negara” untuk memaksakan link-and-match agar terwujud. Mantan Wali Kota Solo itu dapat menggunakan hukum yang memang memiliki sifat memaksa.
Pakar hukum Roscoe Pound menyebut hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Hukum adalah sarana untuk membentuk dan mengatur perilaku masyarakat.
Sai Abhipsa Gochhayat dalam tulisannya ‘Social Engineering by Roscoe Pound’: Issues in Legal and Political Philosophy menyebutkan bahwa upaya untuk memenuhi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat adalah preseden munculnya konsep social engineering dari Roscoe Pound.
Dengan pengangguran merupakan salah satu masalah laten negara dan merupakan momok menakutkan masyarakat, sudah seharusnya Presiden Jokowi menghadirkan hukum sebagai perekayasa sosial.
Apalagi, seperti disebutkan Saldi Isra dalam bukunya Pergeseran Fungsi Legislasi, presiden memiliki kuasa legislasi yang begitu besar. Bahkan, menurut Isra, Reformasi telah memperkuat kedudukan presiden dalam fungsi legislasi.
Dalam temuan Isra, DPR tidak memiliki kewenangan di setiap tahap legislasi. DPR hanya memiliki wewenang di tahap pengajuan, pembahasan, dan persetujuan. Berbeda dengan Presiden yang memiliki kewenangan di semua tahap, yang dimulai dari tahap pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan perundangan.
Untuk mewujudkan link-and-match, Presiden Jokowi misalnya dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Ini juga sesuai dengan syarat dikeluarkannya Perppu, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, undang-undang (UU) yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau terdapat UU tetapi tidak memadai.
Sekarang pertanyaannya, siapa yang dapat membantah bahwa mengurangi pengangguran bukan kebutuhan mendesak?
Ini juga selaras dengan keinginan Presiden Jokowi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Seperti disebutkan dalam Hukum Okun (Okun’s Law), terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan satu persen tingkat pengangguran akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar dua persen atau lebih.
Dengan mengeluarkan Perppu, pemerintah bisa memanggil kampus dan industri untuk duduk bersama. Dapat dibuat berbagai aturan seperti industri harus membuka program magang sebesar 10 persen dari total pekerja. Kemudian, kampus juga diwajibkan untuk mengirim setiap mahasiswa/i untuk magang di industri.
Jika mahasiswa/i dinilai menjalankan program magang dengan baik, pemerintah dapat memaksa industri untuk merekrut mereka setelah lulus. Ini sekiranya jauh lebih bekerja daripada program Prakerja yang saat ini tidak jelas hasilnya.
Pemerintah kemudian harus melakukan monitoring ketat setelah kampus dan industri dipaksa menyepakati perjanjian atau aturan hukum. Nantinya, harus terdapat skema sanksi tegas apabila kampus atau industri tidak mematuhi atau menjalankannya.
Jika intervensi hukum semacam itu tidak dilakukan Presiden Jokowi, mungkin benar sangkaan berbagai pihak bahwa link-and-match hanya sebatas jargon semata. Jangan sampai Presiden Jokowi hanya dinilai basa-basi soal mewujudkan link-and-match yang disebutkannya.