Sama halnya dengan ratusan negara lainnya, saat ini Indonesia juga tengah berjuang untuk melawan pandemi virus Corona (Covid-19). Namun, mungkinkah ledakan kasus di Indonesia merupakan fenomena black swan yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb?
PinterPolitik.com
Saat ini, dunia sepertinya tengah mendapatkan kejutan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Dengan adanya pandemi virus Corona (Covid-19) yang telah merongrong hampir seluruh negara di dunia, kini umat manusia tengah memasuki fase new normal atau habituasi baru. Kebijakan physical distancing serta lockdown (karantina wilayah), tidak hanya menjadi pemukul balik atas sifat alamiah manusia untuk berinteraksi sosial, melainkan juga telah menjadi momok menakutkan bagi aktivitas ekonomi global.
Sama halnya dengan di Indonesia, Covid-19 juga menghadirkan efek kejut tersendiri, menimbang pada ledakan kasus Covid-19 yang terjadi sepertinya sedari awal tidak pernah terbayangkan oleh pemangku kebijakan di Istana. Hal tersebut secara jelas disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan ketika menjawab kritik perihal mengapa pemerintah tidak siap dalam menangani Covid-19. Tutur Luhut pada Maret lalu, “negara mana sih yang siap? Kan, tidak ada yang siap.”
Tidak hanya mengamini kritik berbagai pihak terkait pemerintah memang tidak siap, jawaban tersebut juga mengindikasikan bahwa pemerintah sepertinya memang tidak membayangkan akan begitu kerepotan dalam menghadapi virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok, tersebut.
Pasalnya, pemerintah tidak hanya harus menghadapi bencana kesehatan yang tentu saja menguras kantong negara, melainkan juga karena Covid-19 telah menjadi batu ganjalan besar yang membanting berbagai rencana proyek prestisius pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
Eric Ellis dalam tulisannya Indonesia Creates a New Capital Bonanza menyebutkan jika pandemi Covid-19 tidak menghantam Indonesia, proyek IKN yang akan menjadi legacy atau warisan Presiden Jokowi tersebut diproyeksikan mulai dibangun pada 2021. Akan tetapi, di tengah hantaman Covid-19 yang belum tentu akan berakhir di akhir tahun ini, besar kemungkinan proyek ambisius tersebut akan mengalami penjadwalan ulang.
Bertolak dari pengakuan Luhut yang mengamini pemerintah memang tidak siap dalam menghadapi pandemi Covid-19, mungkinkah virus tersebut merupakan fenomena black swan bagi pemerintahan Presiden Jokowi? Lantas, jika benar demikian, fenomena apakah itu? Dan mengapa fenomena tersebut terjadi?
Corona adalah Black Swan?
Black swan atau angsa hitam adalah teori yang dipopulerkan oleh polimatematikawan asal Lebanon Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Black Swan: The Impact of the Highly Improbable. Angsa hitam merupakan metafora yang digunakan untuk menjelaskan fenomena tidak terduga – sangat langka – serta memiliki efek besar yang luput dalam prediksi, rasionalisasi, ataupun kalkulasi yang ada.
Secara khusus, Taleb menggunakan istilah angsa hitam dengan merujuk pada cerita penemuan angsa hitam di Australia yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh berbagai pihak sebelumnya karena meyakini angsa adalah unggas yang identik dengan warna putih. Taleb misalnya mencontohkan krisis keuangan 2008 sebagai angsa hitam karena fenomena tersebut seolah luput dari prediksi berbagai pihak, termasuk oleh para ahli ekonomi.
Senada dengan Taleb, Justin Yifu Lin dan Volker Treichel dalam tulisannya The Unexpected Global Financial Crisis: Researching Its Root Cause juga menyebutkan bahwa krisis keuangan 2008 merupakan krisis yang tidak diduga oleh berbagai ekonom. Bahkan pada April 2007, International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook juga menyimpulkan bahwa risiko krisis ekonomi global telah menjadi sangat rendah, sehingga tidak ada kekhawatiran besar akan terjadinya hal tersebut.
Kini, sama halnya seperti krisis keuangan 2008, pandemi Covid-19 sepertinya telah menjadi angsa hitam bagi dunia, termasuk Indonesia. Tidak hanya menjadi bencana kesehatan, pandemi tersebut telah menjadi momok menakutkan bagi aktivitas ekonomi.
IMF bahkan menyebut resesi ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 adalah yang terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression). Jika krisis keuangan 2008 mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 0,1 persen pada 2009, maka resesi ekonomi akibat Covid-19 yang disebut sebagai Great Lockdown dapat menurunkan PDB global sebesar 3 persen.
Di Indonesia sendiri, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga telah mewanti-wanti jika Covid-19 terus menggerogoti, pertumbuhan ekonomi berpotensi nol persen atau bahkan menjadi negative growth di minus 2,6 persen. Senada, ekonom senior Mirza Adityaswara juga menyebutkan, jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terus dilanjutkan, maka skenario terburuknya, pertumbuhan ekonomi bisa menjadi nol persen.
Bentuk Kegagalan Pemerintah?
Berbeda halnya dengan berbagai pihak yang menilai Covid-19 sebagai angsa hitam, atau fenomena yang benar-benar tidak bisa diprediksi, Evan A. Laksmana dalam tulisannya Why the Covid-19 Pandemic was a ‘Strategic Surprise’ for Indonesia memiliki pandangan yang berbeda karena menyebut pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sebagai strategic surprise.
Menurut Evan, para ilmuwan, ahli epidemiologi, dan pakar kesehatan global telah memperingatkan tentang pandemi selama bertahun-tahun. Hal tersebut bertolak atas berbagai bencana kesehatan yang telah terjadi sebelumnya seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) ataupun Ebola. Dengan adanya bencana kesehatan yang terus terjadi dalam sejarah manusia, sudah seharusnya berbagai pihak menyadari bahwa bencana kesehatan baru mestilah akan terjadi di masa depan.
Oleh karenanya, alih-alih menyebut Covid-19 sebagai angsa hitam, Evan lebih condong untuk menyebut virus tersebut sebagai strategic surprise. Berbeda dengan angsa hitam yang tidak dapat diprediksi, strategic surprise adalah sesuatu yang sebenarnya dapat diprediksi, namun tetap terjadi karena kurangnya persiapan dari pihak terkait.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut misalnya mencontohkan bahwa serangan Jepang ke Pearl Harbor sebenarnya adalah strategic surprise karena Amerika Serikat (AS) gagal untuk mempersiapkan serangan yang mungkin terjadi dari negeri Matahari Terbit. Padahal, pada saat itu Jepang dan AS tengah terlibat perang, sehingga sudah seharusnya serangan-serangan kejutan semacam itu masuk dalam kalkulasi atau prediksi.
Dengan kata lain, Evan hendak mengatakan bahwa ledakan kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia sebenarnya merupakan kelalaian dari pemerintah karena tidak menyiapkan langkah preventif untuk menanggulangi virus tersebut.
Apa yang disebutkan Evan dengan jelas kita lihat ketika pemerintah terlambat dalam memberlakukan larangan penerbangan, yang bahkan sempat memberikan diskon tiket pesawat agar lalu lintas penerbangan tetap terjadi secara normal.
Pada awalnya, berbagai pejabat pemerintahan juga melayangkan berbagai candaan, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto dengan menyebut Covid-19 belum masuk karena berbelitnya perizinan di Indonesia.
Konteks candaan ataupun bantahan adanya Covid-19 di Indonesia menjadi riskan terlihat karena berbagai pihak, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun penelitian dari Universitas Harvard telah memperingatkan bahwa mungkin telah terjadi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Uniknya, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto justru “menantang” Harvard datang ke Indonesia untuk membuktikan kebenaran hasil penelitiannya.
Pada Februari lalu, terdapat pula kepercayaan yang beredar bahwa belum terdapatnya kasus Covid-19 terjadi karena iklim tropis di Indonesia membuat virus tersebut sulit untuk bertransmisi, bahkan mati.
Pada 20 April lalu, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, menyebutkan bahwa pihaknya sebenarnya telah memperingatkan pemerintah adanya potensi Covid-19 telah masuk ke Indonesia sejak Januari lalu, namun sayangnya pemerintah terus menyangkal.
Seperti pernyataan Evan, adanya ledakan kasus Covid-19 di Indonesia sepertinya benar terjadi karena pemerintah sedari awal memang tidak memiliki langkah pencegahan yang memadai, bahkan cenderung meremehkan virus tersebut. Dengan kata lain, pemerintah pada dasarnya telah gagal dalam mempersiapkan kedatangan Covid-19.
Kembali mengacu pada Taleb, terjadinya fenomena tidak terduga – seperti pandemi Covid-19 – sejatinya merupakan arogansi epistemik karena terdapat asumsi bahwa diketahuinya secara sempurna kondisi masa kini dan masa lampau, sehingga prediksi masa depan dinilai dapat dilakukan secara mutlak.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa kondisi pemerintahan Presiden Jokowi yang telah terjepit saat ini karena pandemi Covid-19 merupakan bentuk dari kegagalan dalam menangkap sinyal bahaya. Padahal, jika langkah preventif, seperti larangan penerbangan dilakukan sejak awal, mungkin kasus Covid-19 di Indonesia tidak sebesar sekarang. Pun begitu dengan dampak yang diakibatkan olehnya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.