Site icon PinterPolitik.com

Jokowi, Guru Kampanye Sandiaga

Jokowi, Guru Kampanye Sandiaga

Foto : Tempo

Kemampuan kampanye Sandiaga yang sopan serta rajinnya sang pebisnis blusukan mengingatkan pada apa yang dilakukan Jokowi menjelang Pilpres 2014


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ak Sandiaga Uno Sejak Kecil Kami Sudah Bersahabat Jangan Pisahkan Kami Gara-gara Pilpres Pulanglah!#2019TetapJokowi Apapun Alasannya Pilihan Kami Tetap Jokowi Berapapun Angkanya Pilihan Kami Tetap 01″.

Poster seukuran kertas karton berwarna putih itulah yang menyambut cawapres nomer urut 02, Sandiaga Uno, yang tengah melakukan kunjungan ke Pasar Kota Pinang, Labuhan Batu, Sumatera Utara, pada Selasa 11 Desember 2018 lalu.

Seperti yang tengah ramai diberitakan, adalah Dirjon  Sihotang, warga sekitar sekaligus pedagang pasar Kota Pinang yang memampang poster tersebut.

Namun Sandi tak menunjukkan ekspresi marah menanggapi aksi Dirjon tersebut. Alih-alih merasa gusar, Sandi justru merangkul Drijon.

Dengan gayanya yang luwes, ia mengajak bicara pendukung rivalnya tersebut. Sandi juga menangapi kata-kata di poster bahwa kedatangannya tak bermaksud memisahkan siapapun. Kata Sandi, ia datang ke pasar tradisional untuk menyerap aspirasi rakyat.

Dalam pembicaraan tersebut, wajah Sandi terlihat santai dan tenang dibarengi dengan kata-kata yang mengalir lancar dan terstruktur.

Sementara soal bahasa tubuh, Sandi bahkan memegang tangan Dirjon hampir di sepanjang dialog. Berdasarkan kejadian singkat tersebut, dialog itu dinilai cukup menunjukkan kemampuan Sandi dalam mendekati dan berkomunikasi dengan rakyat.

Seperti dilansir CNN, hal ini diungkapkan oleh Emrus Sihombing, pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) bahwa Sandi memiliki kemampuan verbal dan nonverbal yang menonjol saat berkampanye.

Mungkin saja Sandiaga Uno sedang menggunakan strategi polite populism Share on X

Ia menilai gaya bahasa Sandi terkesan tak berjarak, mudah dipahami. Bahkan tata cara berbusana pun merepresentasikan masyarakat yang dia kunjungi, sehingga mengesankan ia tampil dengan rendah hati.

Hal tersebut yang membuat Sandi dapat beradaptasi dengan cepat ketika sedang menemui konstituen yang berada pada golongan menengah ke bawah.

Sekilas, gaya komunikasi politik sandi kini terkesan mirip dengan blusukan ala petahana. Meski demikian, Emrus menilai apa yang diperlihatkan Sandi selama ini belum dapat dibandingkan dengan Jokowi.

Oleh karena itu, bagaimana sesungguhnya mengejawentahkan gaya komunikasi politik Sandi tersebut? Mungkinkah sang Cawapres nomer urut 02 kini sedang bermain “politik meniru petahana”?

Mengimitasi Jokowi

Bukan Sandiaga namanya jika tak berhasil menciptakan sensasi. Seiring dengan semakin dekatnya Pilpres 2019, ia tampak semakin getol untuk menyapa masyarakat Indonesia melalui serangkaian aksi kunjungan pasar dan dialog tatap muka dengan warga, atau yang lebih populer dengan istilah blusukan.

Namun jika diperhatikan, gaya menyapa masyarakat alias blusukan ala Sandiaga terkesan mengimitasi sang petahana. Meskipun jam terbang Sandi belum dapat disejajarkan dengan Jokowi, namun menarik jika melihat gaya berkampanye yang akhir-akhir ini dilakukan oleh pemilik saham Saratoga tersebut.

Hal ini sejalan dengan teori imitasi yang digagas oleh Gabriel Tarde. Dalam bukunya The Laws of Imitation, ia menyebut bahwa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat terjadi karena individu cenderung melakukan imitasi atau meniru.

Proses ini adalah bagian dari proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap, penampilan, gaya hidup, bahkan pilihan politik.

Pandangan Tarde ini berangkat dari analisisnya tentang identifikasi fenomena repetisi universal. Melalui repetisi atau pengulangan universal ini, Tarde mengangap bahwa akan terjadi pola dan bentuk yang berulang serta semakin berkembang dalam masyarakat.

Ia mendasarkan bahwa dalam pembangunan sosial, terdapat invensi, yakni proses penemuan terhadap sesuatu yang benar-benar baru dan imitasi.Dalam konteks ilmu politik, proses imitasi ini pada kadar tertentu dapat dijadikan sebagai strategi politik.

Jika belajar dari fenomena negara lain, imitation game dalam politik ini cukup umum terjadi. Beberapa tokoh politik dunia juga menggunakan strategi meniru cara-cara politik pemimpin lain untuk menjalankan kekuasaan maupun kepentingan politiknya.

Misalnya saja fenomena kepemimpinan populis yang meningkat beberapa tahun terakhir ini di Eropa yang kemudian dicontoh oleh banyak politisi di belahan dunia lain. Atau strategi mengimitasi Trump yang dilakukan Prabowo belakangan ini.

Sementara itu, strategi imitasi Sandiaga juga pada gaya populisme yang sempat berhasil mengantarkan Jokowi meraih kekuasaan di 2014.

Dalam konteks Pilpres 2019, jika dibandingkan gaya blusukan antara Sandiaga dan Jokowi, terdapat kesamaan-kesamaan yang menonjol. Misalnya terkait pemilihan titik strategis berupa pasar tradisional sebagai lokasi kampanye.

Di tahun 2014, campaign statement blusukan telah menjadi milik Jokowi yang kala itu maju sebagai kandidat presiden.

Bahkan sang petahana sudah melakukan itu sejak masih menjabat Wali Kota Solo dan masih melestarikan aksi tersebut hingga saat ini.

Sementara itu Ross Tapsell, peneliti dari Australian National University menyebut bahwa blusukan adalah salah satu keberhasilan komunikasi politik Jokowi yang kala itu menjadikannya kian terkenal seiring dengan pemberitaan-pemberitaan yang masif tentang kegiatan kampanyenya.

Langkah itu nampaknya juga ditempuh Sandiaga kini. Pasar dijadikan tempat untuk mencitrakan diri untuk tujuan-tujuan politis.

Dalam konteks gaya komunikasi pun, Sandi juga tak mau kalah. Marcus Mietzner dalam tulisan lainya yang berjudul Jokowi: Rise of a polite populist, menyebut mantan wali kota itu sebagai polite populist yakni sosok yang soft spoken yang berhasil muncul dengan citra rendah hati, sopan, mengedepankan etika kerja keras, spontan, serta kontra-naratif dengan arogansi.

Polite populist itulah yang kala itu membedakannya dengan kandidat presiden lainnya yakni Prabowo yang cenderung memiliki gaya komunikasi politik yang meledak-ledak dan terkesan arogan.

Jika merujuk pada indikator populisme Jokowi, strategi komunikasi yang tenang dan merakyat ala Sandiaga seperti yang dilakukanya pada Dirjon di pasar Kota Pinang tentu sangat menunjukkan bahwa ia juga tengah berusaha menggunakan strategi polite populism yang dulu sempat digunakan Jokowi.

Lalu mungkinkah strategi imitation game ala Sandiaga akan berpotensi bahayakan petahana?

Petahana Perlu Waspada

Kemenangan Jokowi pada 2014 disebut banyak pengamat politik sebagai fenomena. Salah satunya diungkap Marcus Mietzner dari Australian National University dalam tulisannya yang berjudul Reinventing Asian Populism.

Populisme Jokowi merupakan sebuah fenomena yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin populis di Asia.

Di tahun 2019, Sandiaga kini yang berpeluang untuk menjadi the new phenomenon dalam konteks politik elektoral 2019. Imitation game yang sedang dijalankan oleh Sandiaga dengan meniru aksi populis petahana bisa saja mengantarkanya ke gerbang pintu kemenangan.

Seiring dengan masifnya Sandi berkampanye, hal tersebut berkorelasi positif dengan kenaikan tren elektabilitas. Meski masih belum mampu menyamakan kedudukan dengan petahana, namun tren kenaikan tersebut merupakan sinyal yang positif.

Jika dilihat trennya, hasil survei terbaru Median yang dilakukan 4 hingga 16 November menyatakan elektabilitas Jokowi dan Prabowo hanya berjarak 12,2 persen dari kubu petahana. Dengan persentase Jokowi-Ma’ruf sebesar 47,7 persen dan Prabowo-Sandiaga sebanyak 35,5 persen. Sedangkan menurut survei Denny JA, elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf sebesar 53,2 persen, dan Prabowo-Sandiaga sebesar 31,2 persen.

Dari perolehan tersebut, kecenderung tren elektabilitas naik justru berada di kubu Prabowo-Sandiaga, sedangkan di kubu petahana justru elektabilitas cenderung stagnan.

Meskipun petahana masih unggul di atas angin, tentu ini adalah sinyal kuat untuk petahana bahwa kini kubu oposisi memang sedang benar-benar serius mengejar ketertinggalan.

Intensitas kampanye yang dilakukan sang pengusaha berdarah Gorontalo itu memang cukup masif. Effort blusukan Sandiaga juga terbilang tinggi. Ia bahkan mengklaim dalam 3 bulan terakhir, telah blusukan di 800 lokasi di seluruh pelosok tanah air.

Sedangakn, kekuatan petahana justru mulai goyah karena sosok sang cawapres Ma’ruf Amin terlihat absen berkampanye dalam tiga bulan terakhir ini mengingat faktor usia dan kesehatan sang kiai yang tak se-impresif Sandi.

Pada akhirnya, strategi imitasi ala Sandiaga tak boleh dianggap remeh. Bisa saja ramalan bahwa Sandiaga tak patut disandingkan dengan kinerja petahana meleset. Oleh karenanya, kini petahana patutnya waspada, dengan gerak-gerik lawan jika tak ingin kehilangan singgasana kekuasaan pada 2019 nanti. (M39)

Exit mobile version