Jokowi memilih untuk tidak menghadiri pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November-1 Desember 2018 lalu. Konteks politik domestik yang memanas di sekitaran hari-hari itu, misalnya lewat aksi Reuni 212, sangat mungkin menjadi alasan yang memaksa Jokowi untuk tidak berangkat ke luar negeri. Padahal, pertemuan G20 kali ini dihadiri oleh semua kepala negara anggota, mengingat pentingnya isu yang menjadi agenda pembahasan. Mirisnya, Indonesia adalah satu-satunya negara dalam forum tersebut yang kepala negaranya tidak hadir.
PinterPolitik.com
“Nobody likes a child to die or losing an election.”
:: Barbara Bush (1925-2015), the First Lady, istri Presiden George H. W. Bush ::
[dropcap]P[/dropcap]residen Joko Widodo (Jokowi) dikritik oleh kubu oposisi terkait ketidakhadirannya pada pertemuan negara-negara anggota G20 di Buenos Aires, Argentina. Sorotan publik terkait persoalan ini memang tidak banyak, mengingat media-media arus utama tak ada yang mengupas hal tersebut.
Selain itu, konteks aksi Reuni 212 dan isu-isu seputar Pilpres 2019 masih menyita lembaran-lembaran utama koran. Padahal, dimensi ketidakhadiran Jokowi ini sangat menarik dan sedikit banyak menggambarkan hitung-hitungan politik domestik yang makin hari makin panas.
Bisa dibayangkan jika Jokowi ke luar negeri untuk pertemuan G20 dan kemudian aksi Reuni 212 pada akhirnya melahirkan kekacauan. Bisa dipastikan akan ada dampak politik dalam skala yang lebih besar. Share on XDiketahui memang Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menggantikan Jokowi menjadi perwakilan Indonesia dalam pertemuan kepala-kepala negara 20 besar ekonomi dunia tersebut. Forum G20 memang bukan kelompok sembarangan karena berisi negara-negara yang menguasai 90 persen ekonomi global, 80 persen perdagangan global, dua per tiga total populasi dunia, dan kurang lebih setengah daratan yang ada di bumi.
Konteks pertemuan tersebut menjadi semakin penting jika melihat fakta bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak menghadirkan kepala negaranya dalam forum ini. Pemimpin-pemimpin besar negara-negara G20 semuanya hadir, mulai dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris Theresa May, hingga Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Semua pemimpin negara-negara besar tersebut hadir dalam pertemuan kali ini dan membicarakan persoalan-persoalan terkait kesinambungan ekonomi global, investasi, perang dagang, hingga masalah-masalah spesifik seperti crypto-currency. Karena pertemuan ini juga dihadiri oleh Gubernur Bank Sentral dari semua negara anggota, maka bisa dipastikan isu-isu finansial juga menjadi hal yang dibahas.
Dengan konteks pertemuan yang demikian penting, dihadiri oleh banyak pemimpin besar, serta dengan isu-isu bahasan yang penting pula, pertanyaan terbesarnya adalah mengapa Jokowi memilih untuk tidak hadir?
Hal inilah yang dikritik oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Menurut politisi yang sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI ini, aksi Jokowi yang tidak menghadiri pertemuan tersebut merupakan hal yang tidak masuk akal.
Menurut Fadli, Jokowi sebagai kepala negara seharusnya menghadiri forum tersebut ketimbang melakukan “kampanye terselubung” seperti yang dilakukan oleh sang presiden saat membagi-bagikan sertifikat tanah di beberapa daerah di saat pertemuan tingkat tinggi tersebut berlangsung.
Kritik Fadli ini memang bisa dipahami sebagai “serangan balik” pasca aksi Reuni 212 dituduh oleh kubu Jokowi sebagai gerakan kampanye politik. Namun, ketidakhadiran Jokowi dalam pertemuan G20 yang nota bene merupakan acara besar, tentu menunjukkan adanya konsen sang presiden terhadap konteks politik domestik. Pertanyaannya adalah apakah keputusan yang diambil oleh Jokowi ini menjadi hal yang tepat?
Memilih G20 atau Pilpres 2019?
Harus diakui, dalam beberapa hari terakhir ini, tensi politik Indonesia sedang kembali memanas. Reuni 212 misalnya menjadi fenomena politik dalam negeri yang punya kompleksitas isu di dalamnya.
Jika ingin dianalogikan, aksi ini adalah “perkawinan” antara konservatisme berbasis agama – tergambar dalam seruan-seruan yang ditampilkan – dengan konteks politik jelang Pilpres 2019 yang sama-sama bertujuan mencegah pemerintahan Jokowi untuk terpilih kembali. Hal ini misalnya ditulis oleh South China Morning Post (SCMP) yang melansirnya dari Reuters.
Dengan waktu aksi tersebut yang berhimpitan dengan pertemuan G20, Jokowi tentu harus menghitung-hitung dampak politik yang dapat terjadi jika ia meninggalkan Indonesia. Apalagi, sebelumnya muncul wacana-wacana yang bertebaran di sana-sini bahwa sang presiden kemungkinan juga akan hadir pada acara Reuni 212 tersebut – sekalipun pada akhirnya tidak terjadi.
Artinya, alasan politik domestik yang sedang bergejolak mungkin saja menjadi faktor yang membuat Jokowi mengambil keputusan untuk tidak hadir dalam pertemuan sekelas G20 itu. Dengan demikian, bukan kampanye terselubung yang diincar sang petahana – seperti yang dituduhkan oleh Fadli – tetapi lebih pada persoalan mengamankan situasi politik dalam negeri.
Bisa dibayangkan jika Jokowi harus ke luar negeri untuk pertemuan G20 tersebut dan kemudian aksi Reuni 212 pada akhirnya “ditunggangi” oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab yang melahirkan kekacauan, maka bisa dipastikan akan ada dampak politik dalam skala yang lebih besar.
Bahkan, sangat mungkin ancaman terhadap legitimasi kekuasaan Jokowi bisa saja terjadi karena konteks tidak adanya presiden di dalam negeri bisa juga diterjemahkan sebagai kekosongan kekuasaan. Hitung-hitungan politik yang dilakukan oleh Jokowi dalam hal ini tentu saja tidak sederhana. Konteks G20 tidak punya korelasi langsung terhadap kekuasaannya dan Pilpres 2019 nanti. Sementara Reuni 212 punya signifikansi yang sangat besar.
Pada titik ini Jokowi memang terlihat mengedepankan konteks politik domestik sebagai hal yang utama, ketimbang menghadiri sebuah forum internasional. Bahkan untuk pertemuan sekelas G20 pun harus “diabaikan” pria kelahiran Solo itu.
Jokowi cukup realistis bahwa bagaimanapun juga politik internasional adalah perpanjangan kepentingan nasional (national interest). Hal ini sesuai dengan pemikiran Jack Snyder dalam Myths of Empire: Domestic Politics and International Ambition bahwasanya ambisi-ambisi politik internasional memang harus diarahkan menjadi alat pemenuhan kepentingan nasional.
Artinya, negara – atau pada titik ini seorang pemimpin – bisa memilah mana hal yang menurutnya punya dampak yang lebih besar dalam konteks kepentingan nasional. Hal ini juga ditegaskan lagi oleh Fareed Zakaria dari Harvard University.
Menurutnya Fareed, dalam konteks hubungan internasional, ada dua garis pandangan yang berbeda, yang ia sebut Aussenpolitik dan Innenpolitik dalam memandang berbagai isu-isu yang ada.
Aussenpolitik adalah pandangan yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di lingkungan internasional akan berdampak pada konteks politik domestik. Sementara Innenpolitik adalah pandangan yang menyebutkan bahwa hubungan internasional akan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial-politik dan ekonomi masyarakat dalam sebuah negara.
Dalam konteks Jokowi, memang terlihat sang presiden cenderung berada di sudut Innenpolitik. Jokowi cenderung melihat kondisi dalam negeri saat ini butuh perhatian yang lebih. Bagaimanapun juga, jika situasi yang terjadi – katakanlah seandainya Reuni 212 yang diikuti oleh ratusan ribu orang itu berujung kekacauan – maka Jokowi bisa lebih mudah berkoordinasi untuk mengantisipasi eskalasi dampaknya.
Jokowi melihat hal tersebut jauh lebih esensial jika dibandingkan dengan pertemuan G20 yang tentu saja masih akan didominasi negara-negara besar. Persoalannya tentu saja adalah terkait dampak politik di dunia internasional yang akan dirasakan oleh Indonesia pasca ketidakhadiran Jokowi tersebut.
Ancaman Domestik atau Kagok Politik Internasional?
Ada banyak pertanyaan yang bermunculan terkait ketidakhadiran Jokowi pada pertemuan G20 ini. Namun, salah satu yang mungkin paling menarik adalah apakah ini sebenarnya juga menunjukkan “kekagokan” sang presiden ketika berhadapan dengan dunia internasional?
Tidak ada yang tahu pasti mengenai hal tersebut. Yang jelas, kampanye politik dengan isu-isu hubungan internasional belakangan memang digunakan oleh kubu Prabowo Subianto. Wacana untuk menggunakan bahasa Inggris dalam debat politik misalnya, merupakan salah satu contoh isu yang bertujuan untuk mendiskreditkan sang petahana.
Jokowi selama ini memang dikenal “tidak fasih” dalam politik internasional – terutama untuk hal-hal yang bersifat protokoler. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris Jokowi tidak sebagus – katakanlah – jika dibandingkan Prabowo atau presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Walaupun demikian, sang presiden juga seringkali dianggap cukup efektif dalam strategi-strategi politik luar negerinya, misalnya ketika mengajak banyak negara untuk berinvestasi di Indonesia. Dengan demikian, forum sekelas G20 seharusnya menjadi hal yang sangat berharga bagi Jokowi. Namun, Innenpolitik membuat sang presiden menentukan prioritasnya. Karena, seperti kata-kata Barbara Bush di awal tulisan, tak ada seorang pun yang suka kekalahan dalam Pemilu. (S13)