Seruan unjuk rasa bertajuk “Jokowi End Game” beredar luas di media sosial. Massa direncanakan akan melakukan long march menuju titik pusat Istana Negara pada Sabtu, 24 Juli. Sebanyak 3.385 personel gabungan disiagakan untuk mengamankan aksi, namun hingga Sabtu malam aksi unjuk rasa tersebut tidak terjadi. Apakah intelijen gagal membaca situasi?
Pekan lalu publik diramaikan dengan seruan unjuk rasa bertajuk “Jokowi End Game” yang beredar luas di media sosial (medsos).
Tidak main-main, dalam poster yang beredar masa aksi merencanakan long march dengan jumlah masa besar dari berbagai titik di ibu kota hingga menuju titik pusat Istana Negara pada Sabtu, 24 Juli.
Salah satu poin aspirasi dalam demonstrasi ini adalah untuk menolak pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang ditetapkan pemerintah.
Ribuan personel keamanan gabungan disiagakan. Beberapa titik jalan di ibu kota ditutup dengan kawat berduri dan beton pembatas, berbagai jenis kendaraan taktis seperti Barracuda, Water Cannon hingga mobil pengurai massa disiagakan.
Namun hingga Sabtu malam aksi unjuk rasa tersebut tidak terjadi. Beberapa pihak termasuk anggota DPR Fadli Zon ikut menyoroti hal ini. Ia menilai intelijen salah dalam membaca situasi ini.
Fadli mengaku heran dengan peristiwa ini bagaimana bisa petugas keamanan telah “heboh” menyiapkan skenario pengamanan demonstrasi besar, namun nyatanya sama sekali tidak ada demo di Jakarta.
Publik ramai mempertanyakan, di mana peran Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai lembaga yang seharusnya mendeteksi masalah tersebut?
Mengenal Aksi “Jokowi End Game”
Sebelum menganalisis lebih jauh terkait peran intelijen dalam polemik ini, terlebih dahulu kita mengenal apa itu aksi “Jokowi End Game” yang sempat viral di media sosial pekan lalu.
Terkait hal ini beberapa pihak mengaitkan aksi demonstrasi “Jokowi End Game” dengan Blok Politik Pelajar.
Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Kena Prank?
Akan tetapi, berdasarkan rilis terbaru yang diberikan Blok Politik Pelajar, Blok Politik Pelajar menyatakan tidak pernah ikut dalam aksi “Jokowi End Game” ataupun menggalang dukungan untuk demonstrasi. Mereka menyebut aksinya hanyalah “konvoi”.
Namun dari beberapa akun media sosial yang ditemukan, kita sedikit banyak dapat menganalisis gerakan ini.
Aksi “Jokowi End Game” sendiri diklaim adalah suatu bentuk gerakan perlawanan tanpa pemimpin, gerakan ini mengandalkan media sosial untuk melakukan propaganda. Sebuah aplikasi voice chat bernama Discord disinyalir menjadi sentral informasi gerakan ini.
Discord sendiri dianggap efektif untuk melakukan propaganda dan pertukaran informasi khususnya untuk pelajar dan mahasiswa. Selain itu aplikasi ini awalnya juga dianggap aman dari pembajakan dan pengintaian intelijen.
Gerakan ini mengusung konsep Be Water yang artinya dalam perjalanannya akan selalu bersifat cair dan dinamis. Hal ini berimbas pada bentuk gerakan yang diklaim akan selalu berkembang menyesuaikan kondisi.
Menarik di sini adalah gerakan ini sejak awal menggunakan media sosial sebagai alat dan sarana propaganda utamanya.
Jika dianalisis, penggunaan medsos sebagai alat utama dalam manajemen aksi akan memberikan dampak dua mata uang.
Terkait hal ini Ollie Ward dalam tulisannya di The Asean Times memaparkan bahwa meski internet dan media sosial kerap digunakan para mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah yang tengah diperjuangkan, namun di saat yang sama internet juga dapat menjadi jebakan bagi aksi-aksi mahasiswa.
Kembali ke dalam konteks aksi “Jokowi End Game” kemarin, benarkah Intelijen telah salah membaca situasi?
Perang Asimetris
Di luar konteks aksi “Jokowi End Game”, dalam kasus ini perhatian publik juga tertuju pada isu-isu terkait intelijen.
Banyak kritik yang datang terhadap Badan Intelijen Negara (BIN) yang dinilai gagal membaca situasi saat ini. BIN sebagai lembaga yang memegang fungsi intelijen seharusnya bisa membaca, mendeteksi dan memberikan informasi terkait.
Senada dengan Fadli Zon, pengamat politik Rocky Gerung memberi sinyal bahwa Indonesia sedang dalam bahaya intelijen asing lantaran telah menunjukkan kelemahannya sendiri.
Kelemahan yang dimaksud yakni berkaitan dengan kepanikan pemerintah dalam menanggapi wacana aksi “Jokowi End Game” yang akhirnya nihil.
Menurut Rocky, respons panik pemerintah yang mana langsung mengerahkan aparat untuk berjaga karena khawatir ada massa yang bergerak menuju Istana malah berbalik menunjukkan kelemahan intelijen Indonesia. Dikhawatirkan intelijen asing telah mengetahui kelemahan Indonesia melalui persoalan tersebut.
Dalam era modern ini, BIN memang mempunyai tugas yang lebih besar. Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi juga membuat meningkatnya berbagai risiko dan tantangan di dunia intelijen.
Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo memaparkan, dengan perkembangan teknologi tersebut intelijen tidak hanya bertugas untuk mendeteksi dan mencegah perang konvensional saja, tapi juga dihadapkan pada satu grey area, yaitu asymmetric warfare.
Baca Juga: Kejar Vaksin, Mengapa Harus BIN?
Dalam buku berjudul Asymmetric Warfare: A State vs Non State Conflict yang diterbitkan oleh Institute for Defence Studies Analyses, dijelaskan bahwa karakter sebuah perang mulai berubah. Bentuk perang yang awalnya lebih kepada perang dengan kontak senjata langsung dengan kekuatan militer, kini semakin bergeser menuju asymmetric warfare.
Dalam penjabaran lebih lajut, asymmetric warfare atau perang asimetris ini terbagi menjadi empat jenis perang, di antaranya information and communication technology (ICT) war, trade war, biological war, dan currency war.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Bernard L. Sondakh memaparkan bahwa untuk saat ini ancaman perang asimetris telah ada di Indonesia, bahkan digunakan oleh beberapa kelompok, di antaranya yang berseberangan dengan pemerintah sebagai sarana memecah belah Indonesia.
Ditambahkan dalam konteks Indonesia, salah satu senjata utama dari perang asimetris adalah penggunaan information communication technology (ICT). Hal inilah yang lazim disebut “ICT war”.
Terkait hal ini, Andrew Mack dalam buku Why Big Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric Conflic menggambarkan, dengan menggunakan ICT, suatu kelompok kecil dapat mengalahkan negara besar dengan kekuatan militer yang mumpuni.
Dalam konteks Indonesia yang mempunyai 170 juta pengguna media sosial aktif, jelas ancaman ICT war ini sangat berbahaya.
Perbedaan Metode Perekrutan
Kembali ke dalam konteks BIN. Beberapa pihak menilai intelijen Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan kualitas dibanding dengan zaman Orde Baru (Orba). Dua sisi yang menjadi indikator di sini adalah dari segi perekrutan dan pendidikan.
Pada masa Orde Baru, pola perekrutan intelijen saat itu dinilai jauh lebih baik. Prosesnya dilakukan secara diam-diam dengan menyebar agen ke berbagai institusi seperti kampus.
Saat ini perekrutan intelijen justru semakin terbuka lewat tes CPNS. Hal ini patut dipertanyakan apakah metode perekrutan dengan menggunakan tes yang cenderung general seperti itu dapat memberikan kualifikasi maksimal bagi seorang agen intelijen.
Terkait hal ini pengamat keamanan dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, memaparkan bahwa permasalahan ada pada kebijakan pemerintah yang mengatur penerapan pola rekrutmen CPNS BIN yang kurang lebih serupa dengan Kementerian dan lembaga lainnya.
Ini menyebabkan banyak berkurangnya kesempatan BIN mendapatkan talenta-talenta yang lebih berkualitas dan memenuhi kelayakan untuk direkrut sebagai agen pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) maupun sebagai analis yang terampil dan cakap.
Selain pola rekrutmen BIN yang saat ini relatif berbeda dengan di masa lalu (Orba), Fahmi menambahkan setidaknya ada dua hal lain yang mempengaruhi kualitas SDM dan produk intelijen BIN saat ini.
Pertama, hadirnya Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang mengkhususkan diri mencetak SDM PNS terampil di bidang intelijen dengan model pendidikan berasrama selama kurang lebih empat tahun bagi para lulusan SMA yang lolos seleksi.
Menurut Fahmi, ini jelas mengurangi kesempatan BIN mendapatkan talenta andal dengan bekal keahlian dan keilmuan memadai dari berbagai bidang, yang sebelumnya banyak direkrut dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki reputasi.
Kedua, adanya perubahan komposisi dalam tata kelola karier dan jabatan SDM di BIN. Fahmi mencontohkan, pada masa lalu beragam jabatan dan fungsi di lingkungan BIN ini diatur proporsional dengan persentase 80 persen adalah sipil.
Baca Juga: Pandemi, Kegagalan Budi Gunawan?
Dalam hal ini mayoritas PNS organik/internal BIN ditambah perbantuan/dipekerjakan dari kementerian/lembaga lain yang terkait seperti Kejaksaan Agung, Kemenkumham, Kementerian Keuangan dll sesuai kebutuhan.
Kemudian sisanya 20 persen berasal dari TNI dan Polri yang sifatnya juga perbantuan untuk memenuhi kebutuhan struktural dan di bawah kendali operasi (BKO) untuk kebutuhan operasional (Satgas-satgas, dll).
Akan tetapi pada saat ini persentasenya berubah, saat ini komposisi BIN diisi oleh minimal 40 persen sipil, ditambah 40 persen TNI dan 20 persen Polri yang sifatnya dipekerjakan/diperbantukan di lingkungan BIN dan sewaktu-waktu bisa ditarik oleh lembaga induknya.
Menurut Fahmi, kondisi ini tentu saja kurang menguntungkan, baik bagi para personel yang sejak awal dengan sungguh-sungguh meniti kariernya di BIN, maupun bagi harapan kita untuk melihat lembaga ini sepenuhnya diisi oleh talenta-talenta dan sumber daya andal dan mumpuni di bidang intelijen.
Well, terlepas dari perdebatan tengah terjadi penurunan kualitas agen intelijen, kasus demonstrasi “Jokowi End Game” dapat menjadi pembelajaran tersendiri terkait mitigasi isu.
Jika benar ada kesalahan dalam membaca situasi saat itu, semoga ini menjadi wake up call bagi intelijen kita dan berbagai pihak terkait. (A72)