Stagnansi polemik Laut China Selatan (LCS) dinilai masih akan terus terjadi meskipun dalam rangkaian KTT ASEAN ke-36 baru-baru ini, negara-negara Asia Tenggara sepakat mengambil sikap lebih tegas terhadap manuver agresif Tiongkok. Peran Indonesia yang seolah pasif dalam persoalan ini cukup dipertanyakan ketika Presiden Joko Widodo dianggap mengenggam kunci terbaik penyelesaian sengketa tersebut. Apakah itu?
PinterPolitik.com
Tak lain dan tak bukan, Tiongkok menjadi biang keladi dari sebuah impresi ketidakberdayaan banyak negara, termasuk negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam organisasi kerjasama ASEAN, ketika berhadapan dengan kepentingan negeri Tirai Bambu.
Nada pesimisme ini bahkan tetap mengemuka setelah Vietnam memimpin ASEAN menyampaikan sikap “terkeras” organisasi terkait tensi di Laut China Selatan (LCS) yang selama ini diamini oleh negara anggota lainnya, termasuk Indonesia.
Sengketa Tiongkok dengan beberapa negara di LCS menasbihkan impresi ketidakberdayaan negara Asia Tenggara saat pada rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-36 pekan lalu, kemampuan maksimal yang akhirnya muncul dari koalisi negara-negara Asia Tenggara hanyalah sebatas memperkuat posisi di LCS dengan pernyataan sikap yang berdasarkan konvensi hukum laut internasional (UNCLOS) 1982.
Tak heran jika Mark Valencia dalam tulisannya di Lowy Institute yang berjudul After ASEAN Summit, Little Change on the South China Sea menyebutkan bahwa apapun sikap ASEAN dalam persoalan LCS, hanya akan berakhir tanpa hasil dan tetap berputar pada stagnansi ketidakpastian.
Tiongkok yang kemudian tetap bergeming dan justru seolah menguji Vietnam, yang notabene merupakan pimpinan ASEAN pada tahun ini, ketika tetap aktif bermanuver militer di Kepulauan Paracel yang disengketakan kedua negara. Bahkan belakangan Tiongkok mengadakan latihan militer berskala cukup besar di area tersebut selama lima hari sejak 1 Juli lalu.
Secara terpisah, terdapat empat negara ASEAN yang sejak lama telah secara langsung bersitegang dengan klaim nine dash line Tiongkok atas LCS. Selain Vietnam terkait Kepulauan Paracel, ada sengketa Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal yang cukup rumit karena tak hanya dengan Tiongkok, tetapi juga melibatkan sesama negara ASEAN yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kendati demikian, kesan deadlock yang seolah telah terjadi dan diproyeksikan akan terus merugikan negara-negara ASEAN ini, dinilai masih memiliki opsi serta secercah harapan untuk dapat diselesaikan dengan jalan keluar terbaik bagi semua pihak.
Dalam hal ini, hanya Indonesia melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) lah yang dinilai memiliki kemampuan vital untuk mewujudkan harapan itu menjadi nyata, kemampuan apakah itu?
Tuah Magis Supremasi Historis
Sebelum melihat kemampuan apa yang dapat dimaksimalkan Presiden Jokowi dalam menetralisir tensi di LCS, perlu kiranya meresapi justifikasi terkait mengapa Indonesia harus turun tangan dan berperan aktif memimpin dan mengakomodasi kepentingan bersama ASEAN.
Faktor signifikansi sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki keterkaitan pula dengan kepentingan Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Natuna Utara yang acapkali dinodai oleh manuver berbasis nine dash line Tiongkok. Hal ini pun memperkuat alasan mengapa Indonesia seharusnya pro-aktif mewakili ASEAN terkait persoalan LCS.
Stephen M. Walt dalam tulisannya yang berjudul Alliance Formation and the Balance of World Power memaparkan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan negara untuk menyeimbangkan (balancing) atau mengekor (bandwagoning) kekuatan, dominasi, maupun manuver suatu negara atas domain tertentu. Faktor tersebut yakni aggregate power, proximate power, offensive power, serta offensive intentions.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi dapat memaksimalkan aggregate power atau kekuatan agregat, yang pada konteks ini dinilai tidak hanya terkait dengan sumber daya dan kemampuan fisik suatu negara, melainkan juga dapat dikatakan berlandaskan pada kekuatan fundamental klaim historis.
Indonesia sendiri tampak merupakan negara satu-satunya yang memiliki kekuatan dalam menyimbangkan keras kepalanya Tiongkok di LCS secara agregat klaim teritorial berdasarkan preseden historis.
Tiongkok mendasari klaim sepihak bahwa nine dash line di LCS yang sepatutnya memang mereka kuasai berdasarkan pada aspek historis kekuasaan yang bahkan telah runtuh sejak lama, mulai dari Dinasti Qing, Dinasti Ming, hingga Dinasti Yuan.
Sementara dibandingkan apa yang telah dilakukan Vietnam pada KTT ASEAN lalu, Indonesia dirasa lebih relevan “bersenjatakan” klaim preseden historis yang telah disepakati oleh sebagian besar negara di dunia melalui rumusan brilian atas batas laut teritorial bagi negara-negara kepulauan modern dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menjadi cikal bakal konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982.
Komparasi tersebut dinilai secara jelas meneguhkan keunggulan klaim Indonesia yang pada sisi lain juga tampak dapat lebih diterima aspek fairnessnya secara global, sekaligus dapat menjadi basis penyelesaian sengketa teritorial yang ada.
Kemudian hal tersebut dapat pula menjadi refleksi bagi Presiden Jokowi bahwa secara historis, melalui keberhasilan Deklarasi Djuanda, Indonesia dapat mendobrak, memisahkan, serta mengelola dengan baik prioritas kepentingan kedaulatan nasional dan ketergantungan terhadap negara atau kekuatan lain kala itu. Bahkan tak hanya bagi Indonesia sendiri, namun juga dapat bermanfaat bagi kepentingan nasional negara lain.
Andai kata pun dihadapkan pada aggregate power secara fisik, Presiden Jokowi agaknya tidak perlu risau jika dapat memantau dan memetakan kekuatan di LCS dengan baik saat ini. Selain dinilai akan mendapat dukungan dari negara ASEAN, kepemimpinan Indonesia pada konteks LCS saat ini akan mendapat restu serta beking Amerika Serikat (AS) yang memang memiliki kepentingan lain untuk meredam Tiongkok.
Bagaimana tidak, sekitar 60 persen kekuatan laut AS telah bersiaga di Asia Pasifik, tak terkecuali di sekitar LCS saat ini. Hal tersebut diakui Pentagon bertujuan untuk menetralisir manuver ekstrem dari negeri Panda di perairan tersebut yang notabene memang terdapat banyak kepentingan AS di dalamnya.
Menakar implikasi konstruktif dari kepemimpinan yang dapat diinisiasi Presiden Jokowi tersebut, sejauh mana kemungkinan skenario di atas dapat terwujud secara konkret?
Hanya Perkara Tekad?
Satu hal yang di permukaan dinilai tampak jelas menghambat eksekusi konkret kepemimpinan Presiden Jokowi di level regional, termasuk di ASEAN dalam konteks LCS, saat berhadapan dengan kepentingan Tiongkok ialah akibat ketergantungan berlebihan.
Neil Richardson dalam Foreign Policy and Economic Dependence menyatakan sebuah premis bahwa ketika ketergantungan suatu negara terhadap negara lain telah cukup besar dalam nadi utama berupa perekonomian dan investasi, akan selalu mengarah pada kesimpulan yang membatasi diversity atau keragaman dan fleksibilitas kebijakan luar negeri negara yang ketergantungan tersebut.
Ikhtisar ketergantungan yang Richardson maksud di atas memang tak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga negara ASEAN lainnya. Hal inilah yang membuat seolah nyali negara-negara yang bersengketa di LCS ciut ketika mendapati fakta yang mereka hadapi bisa jadi ialah investor terbesar di negaranya.
Namun demikian, hal ini tak serta merta menjadi justifikasi absolut ketika berkaca pada preseden historis determinasi perjuangan Indonesia pada Deklarasi Djuanda yang tetap “garang” dan pada akhirnya berhasil, meski tak dipungkiri republik kala itu juga memiliki ketergantungan perekonomian yang besar dengan kekuatan dunia seperti AS.
Selain itu, komitmen Presiden Jokowi pada periode ini dalam mengedepankan prioritas kepemimpinan ASEAN dan diplomasi kedaulatan memiliki relevansi dan momentumnya pada konteks LCS saat ini.
Akan tetapi, nihilnya eksekusi konkret dari Presiden Jokowi sampai saat ini dinilai mendasari skeptisme dan pesimisme pihak manapun, termasuk publik yang memang sejak awal telah mengemuka.
Terdapat beberapa faktor yang dinilai menjadi hulu persoalan dan membuat skenario eksekusi tersebut terkesan nihil. Pertama terkait tak terlihatnya sedikitpun indikasi berupa gelagat Presiden Jokowi yang mengarah pada aksi memimpin ASEAN di LCS. Kedua, persepsi “minder” bahwa kekuatan dan daya tawar Indonesia masih belum seberapa dibandingkan Tiongkok.
Terakhir, indikasi belum terlihatnya sosok-sosok negosiator kebijakan luar negeri yang mumpuni di belakang Presiden Jokowi dalam mengorkestra diplomasi kedaulatan seperti era memperjuangkan Deklarasi Djuanda silam.
Bagaimanapun, pada titik ini dan dengan serangkaian perspektif konstruktif yang ada sebelumnya, tak ada yang mustahil bagi Presiden Jokowi untuk mengembalikan kejayaan diplomasi maritim Indonesia jika memang memiliki tekad yang kuat serta tak ragu mengambil berbagai risiko. Itulah harapan kita bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.