Cukup menarik melihat respons warganet terhadap kasus terorisme baru-baru ini, khususnya pada serangan ke Mabes Polri. Tidak sedikit yang menyebutkan kasus-kasus itu sebagai manajemen isu, hingga rekayasa. Apakah itu adalah indikasi telah terjadi great disruption di tengah masyarakat?
“Kemerosotan (moral) itu sudah bisa diukur dalam statistik tentang kejahatan, anak-anak tanpa ayah, hasil dan kesempatan pendidikan yang direduksi, kepercayaan yang hancur, dan semacamnya.” – Francis Fukuyama, dalam buku The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial
Ada pernyataan menarik dari pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib terkait penangkapan terduga teroris di Jakarta dan Bekasi, yang di antaranya mengaku sebagai simpatisan Front Pembela Islam (FPI).
Dalam acara Mata Najwa, Ridlwan menyebut terduga teroris yang ditangkap tersebut berbeda dengan teroris yang melakukan serangan ke Gereja Katedral Makassar dan Markas Besar (Mabes) Polri. Jika sebelumnya didasari oleh motif ideologis, terduga teroris yang baru ditangkap disebut memiliki motif politik. “Penelitian kami sementara, ini terorisme politik,” begitu tegasnya.
Dalam tulisan ini kita mengadopsi istilah terorisme politik tersebut. Namun, berbeda dari Ridlwan yang mendefinisikannya sebagai gerakan terorisme yang memiliki tujuan politik, seperti ketidaksukaan terhadap pemerintah ataupun etnis tertentu, dalam tulisan ini istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan reaksi menarik warganet terhadap dua serangan teror terbaru, khususnya di Mabes Polri.
Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?
Menariknya, kendati terdapat korban jiwa dan barang bukti, seperti pistol airgun dan bom, tidak sedikit warganet yang menaruh curiga, hingga menyebut aksi terorisme yang terjadi sebagai manajemen isu dan rekayasa semata.
Mungkin ada yang menyebut itu hanyalah pandangan-pandangan tidak bertanggung jawab dari sebagian warganet. Iya, itu mungkin benar. Dan tulisan ini juga tidak berkepentingan untuk mengafirmasi kebenaran aksi tersebut. Itu urusan dan kewenangan pihak berwajib.
Fokus pertanyaan dalam tulisan ini adalah, mengapa terdapat pihak yang menilai aksi terorisme tersebut sebagai rekayasa? Apakah penilaian itu hanyalah fenomena acak semata? Atau justru merupakan akumulasi dari fenomena politik tertentu?
Tren Kemunduran Kepercayaan
Dalam sebuah wawancara di GPS CNN tahun lalu, salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama mendapatkan pertanyaan menarik dari Fareed Zakaria, “Rezim seperti apa yang menangani pandemi dengan lebih baik?”.
Menariknya, alih-alih menjawab rezim demokratis atau otokratis, Fukuyama justru menyebut letak penekanannya bukan pada bentuk rezim atau pemerintahan, melainkan pada tingkat trust (kepercayaan) masyarakat terhadap pemerintahnya.
Dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, himbauan pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan (prokes), seperti menggunakan masker dan membatasi mobilisasi, dapat lebih mudah ditaati.
Vanessa W. Lim, dan kawan-kawan, dalam penelitiannya Government trust, perceptions of COVID-19 and behaviour change: cohort surveys, Singapore juga menemukan bahwa kepercayaan adalah faktor penting dalam penanggulangan pandemi di Singapura. Tingkat kepercayaan terhadap informasi dari pemerintah yang mencapai 99,1 persen, adalah jawaban dari perilaku masyarakat yang menaati prokes.
Tidak heran kemudian dalam beberapa tulisan, pandemi Covid-19 disebut akan menyibak atau menjawab derajat riil kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya. Kita tidak lagi berbicara pada prasangka, melainkan cukup melihat ketaatan masyarakat terhadap prokes dan informasi dari pemerintah.
Sebenarnya, tidak hanya karena pandemi, bahkan sebelum pandemi, tepatnya sejak terjadinya tren kemunduran demokratisasi di awal abad ke-21, diketahui tengah terjadi tren kemunduran kepercayaan terhadap pemerintah secara global.
Di Amerika Serikat (AS), trennya terbilang mengkhawatirkan. Dalam laporan berjudul Beyond Distrust: How Americans View Their Government dari Pew Research Center, dari tahun 1958 sampai 2015, terjadi penurunan trust yang sangat signifikan. Pada tahun 1958, tingkat kepercayaan tercatat sebesar 73 persen. Pada 2015, angkanya menurun drastis menjadi 19 persen.
Baca Juga: Masalah Jokowi Sama dengan Trump?
Di Indonesia, persoalan trust ini diungkap dengan baik oleh tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian dalam acara Indonesia Lawyes Club (ILC) pada 5 Februari 2019 lalu. Tuturnya, dengan fakta Indonesia telah mengalami rezim yang begitu otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, itu membuat masyarakat mengalami trauma politik dan surplus kecurigaan terhadap kekuasaan.
Great Disruption
Terkait fenomena kemunduran trust tersebut, dalam buku The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Fukuyama memperkenalkan istilah great disruption untuk menggambarkan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat akibat dari kemajuan pesat teknologi informasi. Tepatnya, transisi era industri ke era informasi.
Fukuyama memberi pertanyaan, apakah hanya kebetulan jika tren sosial negatif yang mencerminkan melemahnya ikatan-ikatan sosial dan nilai-nilai di negara-negara Barat, terjadi setelah mereka melakukan transisi dari era industri ke era informasi?
Dalam buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama lebih mempertegas persoalan tersebut. Di tengah kehidupan masyarakat yang dihubungkan oleh jaringan-jaringan internet dan media sosial, kesopanan dalam berinteraksi semakin merosot. Ini juga tidak terlepas dari anonimitas dalam media sosial.
Menariknya, tidak seperti kebanyakan pihak yang menilai persoalan nilai dan moral adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, Fukuyama justru menilai hancurnya nilai dan ikatan sosial dapat diukur secara empiris. Itu adalah hipotesis dan jantung pembahasan buku The Great Disruption.
Terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan great disruption. Dari beberapa faktor tersebut, setidaknya terdapat dua faktor inti yang dapat ditarik, yakni (1) menurunnya usia harapan hidup, dan (2) meningkatnya angka kasus kejahatan.
Kendati negara-negara Barat dikenal sebagai negara maju, namun faktanya ketimpangan ekonomi justru semakin melebar. Khususnya di AS, jurang ketimpangan ini semakin memperkuat persepsi bahwa “negara adalah musuh yang sebenarnya”.
Baca Juga: Jokowi dan Rage Against The Machine
Pada konteks Indonesia, khususnya pandemi Covid-19, sangat mudah memahami kondisi ekonomi yang lesu akibat pandemi dapat membuat masyarakat merasa geram dan mulai tidak percaya pada pemerintah. Jika terus mengalami eskalasi, great disruption atau meluasnya ketidakpercayaan di tengah masyarakat tentu akan terjadi.
Pengelolaan Trust
Kembali pada sentimen minor terhadap serangan terorisme yang terjadi. Jika benar Indonesia juga mengalami great disruption seperti kebanyakan negara-negara Barat, apakah pemerintahan Jokowi tidak dapat menghindari kecurigaan publik semacam itu?
Sebenarnya bisa, dan sangat mungkin. Meskipun era informasi digital telah membuat sekat-sekat kesopanan semakin menipis, era ini juga mendatangkan keuntungan tersendiri dari segi politik. Dengan adanya arus informasi yang begitu cepat dan masif, saat ini begitu mudah membuat propaganda dan menciptakan persepsi. Ini dikenal sebagai manajemen isu dan branding politik.
Baca Juga: Manajemen Isu, SBY Ungguli Jokowi?
Yang menjadi masalah, tampaknya pemerintahan Jokowi tidak memiliki kecakapan yang bagus dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, sejak kasus Ahok, isu agama seolah menjadi isu umum yang beredar di skala nasional. Saat ini, pemerintah juga terlihat berulang kali menyinggung persoalan toleransi beragama. Ada pula dugaan-dugaan terdapat buzzer yang bertugas untuk terus mengangkat isu tersebut.
Dengan demikian, mungkin dapat disimpulkan, curiga publik terhadap kasus terorisme yang terjadi adalah akumulasi dari sekelumit persoalan yang ada. Itu adalah ekspresi atas persoalan kesejahteraan dan keadilan hukum yang dinilai masih timpang. Lalu, ada pula persoalan isu agama yang mungkin telah membuat sebagian masyarakat jengah mendengarnya. (R53)