“Perekonomian Indonesia telah menunjukkan perubahan yang signifikan sejak mengalami krisis keuangan beberapa waktu lalu. Saya menyebutnya excellent.” – Christine Lagarde
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]eski dikritik banyak orang, pertemuan IMF dan Bank Dunia nyatanya tetap jalan terus. Pertemuan yang menelan banyak biaya ini tetap dihelat meski kebermanfaatannya dipertanyakan. Hal ini terutama jika melihat kondisi ekonomi tanah air yang tengah tak menentu seiring tak berdayanya rupiah di hadapan dolar AS.
Yang menarik, petinggi-petinggi IMF justru menyampaikan pujiannya kepada kondisi perekonomian Indonesia. Pujian misalnya dilontarkan oleh Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde. Selain itu, ada pula nada optimisme dari kepala ahli ekonomi IMF Maurice Obstfeld.
Pujian tersebut seolah menjadi oase bagi kubu pendukung petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka seperti mendapat angin ketika lembaga internasional itu mengatakan Indonesia baik-baik saja meski rupiah tengah terpuruk. Kritik yang diarahkan kubu oposisi menjadi lebih mudah mereka jawab melalui justifikasi dari IMF tersebut.
Terlepas dari kondisi apapun, tentu saja perlu diketahui lebih jauh makna dari pujian IMF tersebut. Apakah lembaga keuangan internasional ini memang benar-benar yakin kondisi ekonomi Indonesia baik-baik saja? Atau ada maksud lain dari optimisme mereka?
Pujian di Tengah Terperosoknya Rupiah
Pujian IMF seolah menjadi angin segar bagi pemerintahan Jokowi yang tengah dihantam sana-sini terkait kebijakan ekonomi mereka. Para pembuat kebijakan di negeri ini bisa sedikit memberi jawaban bahwa IMF pun tidak khawatir dengan kondisi ekonomi nasional. Oleh karena itu, mengapa masyarakat perlu khawatir?
Lagarde tidak hanya sekadar memuji, ia juga memberi penilaian yang cukup tinggi terkait dengan kondisi perekonomian Indonesia hari ini. Ia memberi nilai excellent atau luar biasa bagi Indonesia melalui pernyataannya di pertemuan tersebut.
Ada beberapa hal yang mendasari pujian Lagarde. Ia menyoroti tingginya PDB Indonesia yang berada di atas 5 persen. Lagarde juga menyebut bahwa kondisi inflasi di tanah air terkendali dan angka kemiskinan juga menurun.
Perempuan asal Prancis ini menilai bahwa capaian ekonomi Indonesia seperti itu merupakan hasil dari kebijakan ekonomi yang disiplin selama beberapa tahun terakhir. Ia percaya bahwa tidak ada situasi yang mengkhawatirkan selama Indonesia melanjutkan kebijakan yang disiplin tersebut.
Di lain pihak, Obstfeld tak kalah positifnya dalam memandang perekonomian tanah air. Ia memilih untuk tidak mengambil pandangan yang terlampau pesimis terkait kondisi rupiah, yang di mata awam, terlihat terperosok. Ia menyebut bahwa pihaknya tidak ingin melebih-lebihkan kondisi yang saat ini tengah dialami oleh rupiah.
Obstfeld menambahkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia berkembang lebih konsisten. Menurutnya Indonesia harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berinvestasi di sektor pendidikan, infrastruktur, dan jaring pengamanan sosial.
IMF dan Ramalan Bias
Dalam konteks hubungan, pujian boleh jadi adalah hal yang menyenangkan. Perasaan tersanjung dan mabuk kepayang dapat dirasakan oleh seseorang yang mendapat pujian dari pihak lain. Secara khusus, pujian IMF juga bisa saja melambungkan perasaan Indonesia ke awang-awang terutama jika mengingat kondisi rupiah yang tengah dihantam dolar.
Akan tetapi, pujian IMF boleh jadi tidak selalu bisa dimaknai sebagai hal yang terlalu membuai diri. Hal ini merujuk pada pendapat yang diungkapkan oleh Ngaire Woods, profesor dari University of Oxford sekaligus juga mantan penasihat di lembaga keuangan internasional tersebut. Woods menyebut bahwa IMF sering kali optimis berlebihan dan kerap dikritik karena tidak cukup serius memberi peringatan.
Dipuji IMF kok bangga? Tentulah sdh dijamu Rp 1 trilyun. Acara termegah IMF/WB mungkin dlm sejarah. Pdhal pertemuan tahunan di Wash DC biasanya paling dikasih snack2 saja makan sendiri2. https://t.co/V895xhdNYZ
— Fadli Zon (@fadlizon) October 13, 2018
IMF acap kali menjadi sasaran kritik karena bukan satu kali salah melakukan ramalan ekonomi di suatu negara. Ada indikasi bahwa lembaga yang bermarkas di Washington DC ini kerap melakukan overestimation atau estimasi berlebihan terkait dengan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Dalam kadar tertentu, ada anggapan bahwa IMF memang memiliki bias politik dan ketidakakuratan dalam menilai kondisi ekonomi suatu negara. Bias politik ini diungkapkan misalnya oleh Frank-Oliver Aldenhoff dalam penelitiannya.
Menurut Aldenhoff, ramalan IMF terhadap negara-negara berkembang memang cenderung terlampau optimis. Aldenhoff mengungkapkan bahwa bias yang dilakukan IMF di negara-negara berkembang ini dilakukan untuk mendorong negara-negara tersebut untuk menjalankan program yang disponsori IMF.
Berdasarkan kondisi ini, pujian IMF kepada Indonesia tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang terlalu membanggakan. Organisasi keuangan internasional ini memiliki sejarah panjang dalam kegagalan meramal kondisi resesi. Belum lagi, IMF juga kerap bias karena harus menjual program yang mereka sponsori. Jika terbuai terlalu panjang, bukan tidak mungkin pujian tidak terwujud dan justru resesi yang singgah ke negeri ini.
Hati-hati Terbuai
Bisa saja pemerintahan Indonesia di bawah kendali Jokowi sebaiknya tidak terlalu terburu-buru berpuas diri. Dalam konteks politik Indonesia terkini, kubu koalisi pendukung Jokowi juga idealnya tidak tergesa berpesta pora. Pola overestimation dan ketidakakuratan bisa saja menimbulkan bahaya bagi pemerintahan saat ini.
Meski kerap dibantah, potensi krisis bisa saja tetap menghantui negeri ini. IMF memiliki rekam jejak yang cukup buruk dalam meramalkan resesi atau krisis di dunia. Bukan tidak mungkin jika terbuai berlebihan karena pujian IMF dapat membuat Indonesia tidak sadar akan resesi yang tiba-tiba menerjang.
Tak hanya itu, IMF lazimnya kerap muncul dengan resep-resepnya untuk menyelesaikan kondisi ekonomi di suatu negara. Apalagi, jika ramalan mereka ternyata tidak terwujud, resep-resep mereka akan segera muncul sebagai anjuran utama di suatu negara.
With President @Jokowi and 189 member countries of IMF/WB we observed moment of silence honoring those hit so hard by natural disaster in Lombok and Sulawesi. pic.twitter.com/PNc2X01QO0
— Christine Lagarde (@Lagarde) October 12, 2018
Sejauh ini, IMF telah memberikan saran khusus bagi kondisi perekonomian yang terdampak perang dagang AS-Tiongkok. Saran yang mereka ungkapkan tergolong sama dengan resep-resep yang kerap mereka anjurkan yaitu soal pengaturan subsidi. Berdasarkan kondisi tersebut, ramalan bias IMF ini ternyata berujung program IMF, sejalan dengan pemikiran Aldenhoff.
Jika diperhatikan, resep ini sejalan dengan keinginan World Trade Organization (WTO). Organisasi perdagangan dunia ini memang tergolong getol mendorong pengurangan subsidi pertanian kepada 164 anggotanya. Negara-negara berkembang cukup gigih untuk menolak anjuran WTO tersebut.
Sebagai negara berkembang, Indonesia menjadi salah satu negara yang perlu mengikuti saran tersebut. Di titik ini, jika Indonesia mau menuruti saran IMF agar kondisi ekonomi lebih stabil, negeri ini juga tengah mengikuti saran WTO yang telah dua dekade mereka perjuangkan.
Indonesia kemudian akan terseret ke dalam lubang para globalis seperti IMF, Bank Dunia dan WTO. Hal ini menegaskan penelitian Axel Dreher, Silvia Marchesi dan James Raymond Vreeland. Menurut mereka, kooperasi keadaan ekonomi internasional ini merupakan hal yang penting dalam dunia yang terglobalisasi.
Apakah pujian IMF sesuatu yang membanggakan? Share on XDalam kadar tertentu, globalis ini sering kali dikaitkan dengan imperialisme AS. Jika merujuk pada kondisi tersebut, maka bisa saja agenda IMF sejalan dengan kepentingan negeri Paman Sam tersebut. Apalagi, jika merujuk pada Thomas Oatley dan Jason Yackee, AS merupakan negera yang paling memiliki pengaruh di organisasi internasional tersebut.
Menurut Oatley dan Yackee, kepentingan AS memang memiliki pengaruh terhadap kebijakan IMF. Mereka menyebut bahwa para pembuat kebijakan di negeri tersebut menggunakan pengaruh mereka di IMF untuk mengejar tujuan ekonomi dan kebijakan luar negeri AS.
Berdasarkan kondisi tersebut, jika Indonesia mendapatkan pujian dari IMF boleh jadi ada maksud khusus dari negara tersebut. Indonesia boleh jadi salah satu negara yang diincar agar mampu berkooperasi secara ekonomi oleh para globalis. Dalam kadar tertentu, jika merujuk pada pengaruh AS, Indonesia uga bisa dianggap perlu berkooperasi sesuai dengan tujuan ekonomi dan kebijakan luar negeri AS.
Tentu, semua ini perlu ditelusuri lagi kaitannya. Akan tetapi, dengan pengaruh kuat AS di IMF, bukan tidak mungkin negara tersebut memiliki agenda tersendiri terkait dengan pujian kepada Indonesia. Bisa saja Indonesia tidak perlu terbuai berlebihan jika memang agenda tersebut benar-benar ada. (H33)