Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Dijebak Presidential Threshold?

Presidential threshold diusulkan 20 persen agar kandidat calon presiden di 2019 tidak membludak. Uniknya, usulan tersebut diajukan oleh tiga fraksi yang banyak ‘pdkt’ dengan Jokowi: PDIP, Nasdem, dan Golkar. Apakah ini kebetulan belaka atau terdapat manuver politik di baliknya?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]S[/dropcap]uara pria itu terdengar rendah, berat, namun tegas. “Kalau pakai suaranya perhitungan yang lalu, itu sudah ngga punya makna apa-apa,” jawab Sebastian Salang, koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia,  ketika ditanya soal presidential threshold oleh presenter Alfito Deanova dalam acara Prime News CNN Indonesia. Namun, tepat di akhir kalimat itu laju bicaranya berhenti. Pria di sampingnya menyela. “Ngga dong. Siapa bilang ngga punya? Kita punya sistem presidensil dengan multipartai, sehingga tradisi di dalam membangun kelembagaan presidensil yang kuat dengan multipartai perlu ada satu tempat otoritas,” ujar Andreas Pareira, anggota DPR Fraksi PDIP, membantah.

Pembicaraan Andreas dan Sebastian di atas sedikit menggambarkan perdebatan yang terjadi ketika ingin menjawab pertanyaan, “Berapa jumlah suara dalam Pemilihan Legislatif yang dibutuhkan suatu partai politik (parpol) untuk dapat mencalonkan kandidat presiden dan wakil presiden di Pemilihan Presiden?” Di dunia politik, hal tersebut dikenal dengan istilah presidential threshold dan di Indonesia wacana tersebut sedang ‘panas’ digodok dalam rapat DPR yang membahas revisi Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Partai ‘Kecil’ Dikerdilkan, Partai Baru Disingkirkan

Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu, Lukman Edy Lukman, hingga Selasa (6/6/2017) pendapat anggota DPR soal presidential threshold masih terbelah. Fraksi PDIP, Partai Golkar dan Partai Nasdem mengusulkan presidential threshold bagi partai politik di angka 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, sebagaimana diterapkan dalam Pemilu 2014. Sedangkan fraksi  lainnya berkenan presidential threshold tanpa ambang batas alias nol persen.

Wakil Ketua Fraksi PDIP DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, hanya dengan presidential threshold di atas 20 persen, setiap calon presiden dan wakil presiden memiliki kapasitas memadai sebelum terjun ke Pemilihan Presiden.

“Sebesar 20 persen, supaya ada proses penyaringan dan seleksi sebelum calon masuk gelanggang. Juga supaya ada komunikasi-koordinasi lintas parpol. Selain itu, calon yang muncul sudah punya modal dukungan yang cukup memadai. Pemilihan Presiden (Pilpres), bila diibaratkan turnamen tenis, itu arena grand slam, bukan turnamen kualifikasi,” ujar Hendrawan.

Pernyataan Hendrawan cukup tepat. Akan tetapi di 2019 nanti, Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pilpres berlangsung serentak satu hari. Angka presidential threshold rencananya ditentukan melalui jumlah suara yang diperoleh di Pemilu 2014. Pernyataan Hendrawan tentu mengerdilkan partai-partai yang jumlah suaranya tidak mencapai 5 persen, seolah di Pemilu mendatang suara mereka tetap. Selain itu, tingginya angka presidential threshold membuat resah partai-partai baru yang terbentuk pasca 2014.

“Kalau kita posisinya tidak setuju dengan adanya presidential threshold. Karena untuk menjadi peserta pemilu syarat untuk lolos verifikasi partai di Indonesia itu sudah yang tersulit di dunia. Artinya jika sudah punya sertifikasi, kantor pengurus sampai kecamatan itu hidup dan terorganisir dengan baik. Harusnya itu sudah cukup bagi sebuah partai untuk bisa mengikuti pemilu dan memajukan calon presidennya sendiri,” ungkap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie.

Senada dengan Grace, tiga partai baru lainnya, yakni Perindo, Partai Idaman, dan Partai Berkarya, tegas menginginkan presidential threshold nol persen.

Presidential threshold akan menyebabkan partisipasi politik masyarakat rendah, kalau semenjak awal dibatasi dengan acuan yang tinggi,” kata Sekretaris Jenderal DPP Partai Idaman, Ramdansyah.

Masih Butuh Presidential Threshold

Konsep presidential threshold tidak selalu buruk. Jika diterapkan, konsep tersebut dapat menjadi  wahana pembuktian partai sekaligus pembatasan calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga di Pemilihan Presiden.

Pertama, dari segi pembuktian partai. Jauh hari sebelum hari-H Pileg, parpol kerap sudah mengumumkan kandidat calon presiden yang akan diusungnya dan belum tentu para pemilih cocok dengan kandidat tersebut. Walau tidak secara langsung, perolehan suara yang diperoleh parpol dalam Pileg manjadi bukti seberapa besar dukungan pemilih terhadap kandidat usungan parpol tersebut.

Kedua, dari segi pembatasan, pada akhirnya partai yang tidak memenuhi presidential threshold tidak dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Otomatis, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu membludak.

Misalnya, sebelum Pileg 2014, Yusril Ihza Mahendra sempat mendeklarasikan diri sebagai kandidat calon presiden usungan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun PBB urung mengajukannya sebagai calon presiden karena parpol itu hanya mendapat 1,46 persen suara sah nasional. Tentu angka tersebut jauh di bawah syarat presidential threshold 25 persen suara nasional yang ditetapkan pada waktu itu.

Menghitung Untung dari Presidential Threshold

Dalam bukunya, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Syamsuddin Haris melihat bahwa identifikasi pemilih di Indonesia terhadap suatu parpol dalam Pemilihan Umum pasca-Reformasi tidak lagi didasarkan pada sentimen sosio-kultural antara parpol dan pemilih, melainkan lebih didasarkan pada daya jual figur yang ditawarkan oleh partai politik.

Bicara daya jual figur. Mencalonkan Jokowi sebagai kandidat presiden adalah suatu taktik unggulan untuk memenangi pertarungan Pilpres 2019. Pasalnya, elektabilitas Jokowi sedang tinggi. Menurut survey yang dilaksanakan KOMPAS, 41 persen responden mendukung Jokowi. Hasil survey ini juga menunjukkan, jika Jokowi mampu mempertahankan kinerja pemerintahannya, niscaya elektabilitasnya akan stabil bahkan meningkat.

Sebagai partai yang kemungkinan besar akan mengusung Jokowi di 2019, wajar jika PDIP, Nasdem, dan Golkar bersikeras presidential threshold ditetapkan minimal 20 persen. Pasalnya, jika presidential threshold ditetapkan nol persen, partai-partai yang meraih suara kecil pun bisa mengusung Jokowi sebagai calon presidennya. Jokowi pun bisa memilih partai mana yang dia suka untuk mendorongnya maju sebagai calon presiden. Dengan begitu, Jokowi tidak perlu dukungan parpol besar seperti PDIP dan Golkar untuk maju sebagai calon presiden lagi.

Belajar Dari Negeri Eiffel

Sebenarnya pemerintah dan DPR tidak perlu takut andaikan presidential threshold ditetapkan nol persen dan mengakitbatkan membludaknya jumlah kandidat calon presiden. April lalu, Prancis menyelenggarakan Pilpres dengan sebelas kandidat. Sepuluh di antaranya berasal dari parpol dan satu kandidat dari jalur perseorangan.

Sebelas kandidat di Pilpres Prancis 2017

Yang membuat ada begitu banyak kandidat melaju dalam Pilpres Prancis salah satunya adalah kebijakan low threshold yang diterapkan di Negeri Eiffel itu. Untuk dapat menjadi kandidat, seorang ‘hanya’ perlu mengumpulkan 500 tanda dukungan (Prancis: les parrainages) pejabat terpilih nasional atau lokal dari setidaknya 30 departemen (setara Provinsi di Indonesia) yang berbeda, dengan tidak lebih dari 10 persen dari mereka berasal dari departemen yang sama.

Selain itu, ditambah dengan kultur politik non-ketokohan, partai pun dapat mengonsolidasikan kekuatan politiknya dengan alasan yang lebih ideologis, misalnya sama-sama menolak imigrasi, atau sebaliknya. Tidak seperti parpol di Indonesia yang lebih mengandalkan daya jual figur. Walau selisih Macron dan Le Pen di putaran pertama tipis, di putaran kedua Macron mendapat keuntungan besar dari peralihan suara pendukung dua kandidat sayap kiri, Jean-Luc Mélenchon dan Benoît Hamon. Yang lebih mengejutkan lagi, Macron memenangkan hampir separuh suara dari mereka yang mendukung kandidat sayap kanan, François Fillon, di babak pertama.

Dalam hal ini, low threshold di Pilpres Prancis justru menjadi moderating force. Selain itu, walau ada 11 kandidat, situasi negara tetap kondusif. Indonesia tampaknya perlu belajar dari Negeri Eiffel itu. Memang, jika dibandingkan Prancis, demokrasi di Indonesia baru, tetapi konsep mutakhir yang ada di sana bukan berarti tidak pantas diterapkan, karena, mengutip pernyataan Goenawan Mohammad, “Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: “sebuah Indonesia yang lebih baik” selamanya akan jadi sebuah janji – tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.”

(H31)

Exit mobile version