Presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut akan menggandeng lawan-lawan politiknya dalam koalisi pemerintahannya. Upaya tersebut bisa jadi cara sang presiden untuk mengamankan dukungan dari eks-pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Namun, benarkah begitu?
PinterPolitik.com
“I feel like your feelin’ ain’t mutual” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Bukan politik Indonesia namanya apabila tidak disertai dengan upaya bagi-bagi kekuasaan di antara aktor-aktor politik. Uniknya, kini partai-partai politik yang sebelumnya menjadi lawan Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan akan bergabung dengan sang presiden terpilih 2019-2024 ke dalam pemerintahannya.
Banyak pihak kini menduga partai-partai eks-Koalisi Indonesia Adil Makmur – seperti Gerindra dan PAN – akan ikut membantu Jokowi-Ma’ruf Amin dalam mewujudkan Visi Indonesia ala Jokowi. Kemungkinan tersebut semakin diperkuat dengan pertemuan antara sang presiden dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.
Saya mengajak Pak Prabowo naik kereta MRT dari Stasiun Lebak Bulus sampai Senayan, pagi tadi. Ini pertemuan dua orang sahabat yang sudah lama direncanakan.
Kesempatan bertemu ini juga untuk mengenalkan MRT kita. Saya tahu Pak Prabowo belum pernah mencoba MRT hehe. pic.twitter.com/aRa0I1eJqR
— Joko Widodo (@jokowi) July 13, 2019
Di kubu Jokowi-Ma’ruf, partai-partai politik pendukungnya memberikan sinyal bahwa mereka menolak kemungkinan akan kehadiran outsider (pihak luar) di kelompoknya. Parpol-parpol tersebut kerap menekankan akan pentingnya kehadiran dan peran oposisi di luar pemerintahan.
Mungkin, Jokowi kini tengah berusaha meyakinkan koalisinya bahwa menggandeng lawan politiknya adalah pilihan terbaiknya. Lobi-lobi politik juga santer dikabarkan tengah dilakukan.
Upaya tersebut boleh jadi telah menghasilkan beberapa progress. PDIP misalnya, menyatakan bahwa mereka merelakan kursi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk diambil oleh partai lain dan membuka kesempatan bagi parpol eks-Koalisi Adil Makmur untuk mendudukinya.
Bagi kita sebagai masyarakat yang hanya dapat mengamati, manuver para politisi ini tentu meninggalkan beberapa pertanyaan. Apa keuntungan yang didapatkan Jokowi bila menggandeng Prabowo dan eks-pendukungnya?
Kartelisasi Partai Politik
Penentuan atas siapa-siapa yang mendapatkan jabatan menteri atau posisi strategis lainnya memang biasa dilakukan oleh kandidat terpilih di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Biasanya, sang kandidat terpilih akan mengutamakan pihak-pihak yang telah membantunya memenangkan Pemilu.
Upaya bagi-bagi “hasil” ini disebut sebagai spoils system, di mana kandidat terpilih akan mendistribusikan posisi-posisi pemerintahan terhadap pihak-pihak yang mendukungnya. Tak heran apabila parpol dan pihak pendukung Jokowi lainnya merasa berhak atas posisi-posisi strategis di kabinet.
Selain konsep spoils system, terdapat juga konsep pasar politik (political marketplace) yang turut menjelaskan pola patronase ini. Mungkin, judul sampul depan Koran Tempo pada 19 Juli 2019 yang bertajuk Pasar Calon Menteri dapat menggambarkan pasar politik Indonesia yang kini tengah ramai.
Pembagian politik semacam ini biasanya dilakukan untuk menjaga dukungan dan kesetiaan terhadap sang presiden. Dengan begitu, jalannya pemerintahan diharapkan akan berjalan lebih efektif.
Kartelisasi terjadi ketika partai-partai politik bersedia bekerja bersama dalam pemerintahan tanpa memedulikan afiliasi politik masing-masing dan persaingan satu sama lain dalam Pemilu sebelumnya. Share on XNamun, di Indonesia, upaya bagi-bagi ini tampaknya tidak hanya terbatas pada pihak-pihak pendukung kandidat yang menang, melainkan juga parpol atau pihak lainnya yang sebelumnya malah menjadi lawan bagi sang kandidat dalam Pemilu. Keunikan ini berusaha dijelaskan oleh Dan Slater dari University of Michigan dalam tulisannya di East Asia Forum.
Pembagian “hasil” ala Indonesia ini disebut oleh Slater sebagai kartelisasi partai, di mana partai-partai politik bersedia bekerja bersama dalam pemerintahan tanpa memedulikan afiliasi politik masing-masing, bahkan, meskipun pernah bersaing satu sama lain dalam Pemilu.
Tujuan dari kartelisasi ini hampir sama dengan spoils system, yaitu untuk mengamankan posisi pemerintahan presiden. Kartelisasi ini menekankan pada prinsip resiprositas di antara pemerintah dan parpol lawan yang diberikan posisi-posisi strategis. Dalam arti lain, parpol ini akan mendukung kebijakan presiden.
Dengan dukungan dari parpol lawan, presiden akan memperoleh “bantuan” tersebut sehingga pemimpin eksekutif nantinya mendapatkan keuntungan mayoritas di parlemen. Begitu mendapatkan dukungan yang besar, presiden dapat mengkonsolidasikan kekuatannya, yakni membantu presiden dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan.
Lalu, bagaimana dengan pemerintahan Jokowi 2.0?
Jokowi yang memenangkan Pilpres 2019 lalu telah mengantongi dukungan yang besar di parlemen. Pasalnya, total perolehan suara partai-partai pendukung Mantan Wali Kota Solo tersebut dalam Pileg 2019 lalu telah membuat koalisinya memiliki pengaruh lebih dibandingkan partai lawan.
Sang presiden bisa jadi benar-benar membutuhkan dukungan partai-partai ini, termasuk eks-lawan politiknya. Pasalnya, bila mengacu pada program-program Visi Indonesia yang telah direncanakannya, Jokowi ingin menerapkan kebijakan-kebijakan yang reformatif yang terkadang tidak mudah untuk mendapatkan dukungan populer dari masyarakat, seperti investasi yang nantinya akan semakin diperluas.
Namun, pertanyaan lain timbul. Dengan kartelisasi tersebut, apakah Jokowi benar-benar dapat mengamankan posisinya?
Setengah Hati?
Upaya kartelisasi politik yang mungkin akan dilakukan oleh Jokowi dalam masa pemerintahan keduanya bisa saja ditujukan untuk memperkuat kepresidenannya dalam mewujudkan berbagai kebijakan reformatifnya. Namun, dengan dukungan besar, sang presiden belum tentu dapat mengamankan parpol-parpol yang boleh jadi setengah hati mendukung.
Selain itu, Jokowi sendiri bisa jadi akan melemah kekuatannya seiring dengan dengan masa pemerintahan yang terbatas di periode kedua. Dalam beberapa kasus, kondisi ini kerap diberi istilah lame duck atau bebek lumpuh.
Istilah tersebut pernah dibahas misalnya oleh jurnalis Resty Woro Yuniar dalam artikelnya di South China Morning Post. Peneliti di Lowy Institute yang dikutip dalam tulisan tersebut, Ben Bland, menjelaskan bahwa Jokowi berkemungkinan untuk tak terlalu kuat di periode keduanya.
Kemungkinan itu ada disebabkan oleh eksisnya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus dihadapi Jokowi dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan reformatifnya. Kepentingan-kepentingan tersebut juga dapat datang dari parpol-parpol yang dikartelisasi oleh sang presiden dengan menentang kebijakan-kebijakan reformatif Jokowi yang untuk kepentingan parpol itu sendiri, semisal untuk Pemilu 2024.
Hal ini pernah terjadi pada era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam masa pemerintahannya yang kedua, presiden Indonesia keenam tersebut kerap dikritik oleh pihak-pihak parpol yang saat itu menjadi bagian dari pemerintahannya.
PKS misalnya, kerap mengkritisi Istana meskipun menjadi bagian dari pemerintah dengan memegang empat jabatan menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II – yaitu Menkominfo Tifatul Sembiring, Menristek Suharna Surapranata, Mensos Salim Segaf Al-Jufri, dan Mentan Suswono.
Pada tahun 2011, PKS menuding berbagai petinggi negara terlibat dalam kasus bail-out Bank Century, termasuk pihak kepresidenan SBY di Istana. Fahri Hamzah – salah satu penggagas Pansus Century – merupakan salah satu politisi PKS yang berada di garis terdepan dalam mengkritik pemerintahan SBY kala itu, bahkan, dalam berbagai isu, dari penyelenggaraan Pemilu, kenaikan harga BBM, hingga polemik penyadapan.
Tak hanya sekadar kritis, PKS juga kerap kali menunjukkan sikap berbeda dan lebih seperti oposisi ketika pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka misalnya mendukung hak angket mafia pajak ketika partai koalisi pemerintah justru menolaknya.
Sikap kritis PKS ini kemudian disebut-sebut berujung pada pengurangan jatah menteri milik mereka. Nama Suharna kemudian harus tergusur dan PKS hanya memiliki tiga posisi menteri hingga masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu II berakhir. Perbedaan sikap juga ditunjukkan PKS saat pemungutan suara untuk kasus Century dan penyesuaian harga BBM.
Lalu, bagaimana dengan Jokowi? Apakah sang presiden bisa mengamankan dukungan parpol-parpol tersebut?
Berkaca pada kasus PKS dalam pemerintahan SBY, parpol-parpol lawannya seperti Gerindra dan PAN tidak menutup kemungkinan juga akan tetap mengkritisi kebijakan Jokowi. Prabowo sendiri sempat mengungkapkan bahwa partainya akan tetap memberikan kritik meski telah menyatakan akan membantu pemerintahan Jokowi.
Yang jadi masalah adalah jika partai-partai tersebut mengambil sikap berbeda ketika harus menghadapi pemungutan suara di DPR. Suatu kebijakan atau undang-undang bisa saja batal apabila mereka memilih jalan berbeda dengan koalisi pemerintah. Tak hanya itu, mereka juga bisa saja berada dalam barisan pendukung hak angket atau interpelasi yang dapat merepotkan pemerintah.
Akibatnya, upaya kartelisasi partai yang mungkin tengah dilakukan oleh Jokowi bisa jadi tidak dapat sepenuhnya mewujudkan “resiprositas” yang diharapkan sang presiden. Padahal, guna menjalankan kebijakan-kebijakan reformatifnya, Mantan Wali Kota Solo tersebut boleh jadi memerlukan “resiprositas” tersebut.
Pada akhirnya, apabila kemungkinan tersebut terjadi, “perkawinan” antara Jokowi dan Prabowo bisa jadi tidak benar-benar tumbuh secara mutual di masa mendatang. Mungkin, sang presiden perlu belajar dari rapper Kendrick Lamar yang dapat mendeteksi perasaan yang mungkin hanya setengah hati – seperti liriknya di awal tulisan. (A43)