Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Diantara Tiongkok dan AS

Jokowi di Antara Tiongkok dan AS

Istimewa

Kedatangan Menlu AS membuktikan kalau peran Indonesia di Indo-Pasifik punya arti penting. Namun, bisakah Jokowi menyeimbangkan kepentingan Tiongkok dan AS?


PinterPolitik.com

“Mereka yang ingin mengabdi pada negaranya tak hanya harus punya kemampuan berpikir, tapi juga keinginan untuk beraksi.” ~ Plato

[dropcap]U[/dropcap]sai menghadiri pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) yang berlangsung di Singapura pada 3-4 Agustus lalu, Menteri Luar Negeri AS Michael (Mike) R. Pompeo juga melakukan kunjungan kenegaraan ke tiga negara ASEAN, yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Bagi Indonesia, kedatangan Pompeo merupakan kesempatan bagi Pemerintah untuk melobi kembali AS. Seperti yang diketahui, sebelumnya Presiden Donald Trump mengancam akan mencabut hak istimewa pemotongan tarif impor atau yang disebut sebagai Generalized System of Preference (GSP).

Bagi Pompeo sendiri kunjungannya ini merupakan yang pertama kali, setelah dilantik April lalu, menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh Rex Tillerson. Namun misi yang dibawa Pompeo, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah digadang-gadang oleh Tillerson, yaitu mengenai pentingnya kawasan Indo-Pasifik.

Sebagai negara adidaya, AS sepertinya diam-diam tengah “berperang” dengan hegemoni Tiongkok yang mulai menguat di kawasan Asia. Banyak pengamat menilai, strategi Indo-Pasifik AS tak lain dari cara negara tersebut mengimbangi kekuatan melalui One Belt and One Road (OBOR) Strategy Tiongkok.

Program yang mengadaptasi konsep Jalur Sutera Kuno ini, faktanya memang berhasil menghimpun sedikitnya 12 negara. Besarnya investasi yang digelontorkan Tiongkok, yaitu hingga mencapai US$ 1 triliun, membuat negara tirai bambu tersebut didaulat sebagai salah satu negara dengan pengaruh ekonomi terkuat di Asia.

Sebagai negara dengan wilayah terbesar di ASEAN dan memiliki kebijakan luar negeri yang bebas aktif, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki andil cukup besar dalam pewujudan Indo-Pasifik yang dirintis AS, namun di sisi lain, Indonesia juga terikat perjanjian OBOR Tiongkok, dengan nilai investasi yang sangat besar jumlahnya.

Pertarungan Dua Raksasa

“Politik internasional, seperti semua politik, penuh pertarungan kekuasaan.” ~ Hans J. Morgenthau

Pertarungan dalam menperebutkan kekuasaan tak hanya terjadi dalam politik domestik saja, dalam politik luar negeri pun perebutan hegemoni suatu kawasan bisa sangat sengit terjadi. Sejarah mencatat, dunia pernah dibuat dalam kondisi terus terancam saat terjadi perang dingin antara kekuatan AS dan Rusia.

Bahkan setelah pertempuran hegemoni antara Barat dan Timur tersebut dianggap usai, paska bubarnya Uni Soviet. Namun tarik menarik pengaruh antara kedua kubu tersebut, harus diakui masih belum juga terhenti. Apalagi dengan munculnya kekuatan baru, berupa perekonomi Tiongkok yang mulai menguat di dunia.

Kekuatan Tiongkok ini, bahkan berhasil ‘menjajah’ perekonomian AS dan membuat Trump mengumumkan perang dagang dengan negara Tirai Bambu tersebut. Di sisi lain, sepak terjang Tiongkok yang disinyalir mulai memperluas kawasan, seperti yang terjadi di Laut China Selatan dan program OBOR, diduga membuat AS semakin panas dingin.

Adanya pergeseran kekuatan ekonomi dari wilayah Barat ke Timur, sebenarnya telah diprediksi oleh Sejarawan dan Diplomat Joseph Nye. Menurutnya, adanya pergeseran kekuatan dari AS ke Tiongkok ini, juga memberi dampak global, di mana kekuatan perekonomian, politik, dan soft power Asia Pasifik ikut berkembang.

Pergeseran kekuatan atau power shift yang terjadi ini, memang pada akhirnya mampu mengurangi hegemoni AS di dunia, salah satunya di kawasan Indo-Pasifik. Kuatnya cengkraman Tiongkok di banyak negara melalui program OBOR pun, membuat Tiongkok nyaris menjadi negara adidaya baru yang bisa saja menggilas pengaruh AS.

Meningkatnya hegemoni Tiongkok inilah yang dilihat Trump sebagai ancaman, tak hanya di negaranya sendiri tapi juga di kawasan Asia. Sebagai presiden yang memiliki janji untuk mengembalikan AS sebagai negara super power di dunia, tentu Trump membutuhkan kekuatan penekan yang mampu melemahkan kekuatan Tiongkok.

Dalam hal ini, adagium “kekuatanmu juga merupakan kelemahanmu” ternyata juga berlaku bagi Tiongkok. Sebagai negara pengekspor terbesar produk Tiongkok, Trump menemukan cara untuk membuat negara asal Panda tersebut melemah, yaitu dengan melakukan menaikkan tarif impor negaranya atas semua produk Tiongkok.

Strategi Trump tersebut menurut Nye, juga merupakan adanya pergeseran konsep kekuatan atau power concept shifting. Bila dulu untuk meraih dominasi di suatu negara kerap dilakukan dengan kekuatan militer, kini konsep ‘penjajahan’ tersebut beralih dengan melalui kekuatan ekonomi atau yang dikenal sebagai silent war.

Jokowi Dan Kebijakan Luar Negeri

“Kebijakan domestik hanya akan dapat mengalahkan kita; kebijakan luar negeri dapat membunuh kita.” ~ John F. Kennedy

Apa yang dikatakan oleh Presiden AS ke 35 di atas, bila merujuk pada perjalanan sejarah dunia tentu tidak dapat disangkal kebenarannya. Kebijakan luar negeri yang salah langkah, bisa dengan mudah menyulut peperangan. Tak hanya peperangan fisik, perang dagang pun bisa membuat sebuah negara besar tak berkutik karenanya.

Pelemahan ekonomi yang terjadi di Tiongkok tersebut, bahkan diproklamirkan Trump sebagai sebuah kemenangan. Walau pun di dalam negerinya sendiri, kondisi perindustrian ikut limbung dengan semakin mahalnya produk Tiongkok yang juga dibutuhkan oleh industri dalam negeri Paman Sam itu.

Namun bagi Trump, kemenangan perang dagangnya ini, bisa jadi menjadi statement baginya untuk memperlihatkan masih besarnya hegemoni AS atau Tiongkok. Di sisi lain, bertekuk lututnya Tiongkok juga bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk menyikapi secara bijak ancaman penghapusan GSP atas produk-produk ekspor Indonesia  oleh AS.

Sebagai salah satu negara pengekspor terbesar, Indonesia sebenarnya juga memiliki peran yang cukup penting bagi industri dalam negeri AS. Apalagi dengan populasi dan wilayah terbesar di ASEAN, peran Indonesia dalam perwujudan kawasan Indo-Pasifik sangat penting. Pernyataan ini pernah dilontarkan oleh Tillerson sebelumnya.

Hanya saja pada Pemerintahan Jokowi, Indonesia terlihat lebih condong memberi peluang pada Tiongkok dibanding AS. Ini terlihat dari jumlah investasi Tiongkok di Indonesia yang cenderung naik setiap tahunnya, baik yang langsung dari Tiongkok, maupun perusahaan yang melalui Singapura.

Sebagai negara yang mempunyai kebijakan luar negeri bebas aktif, Indonesia memang memiliki kebebasan untuk bekerjasama dengan negara-negara yang dianggap lebih menguntungkan. Meski begitu, AS melihat kalau mulai mendominasinya investasi Tiongkok di Indonesia bisa menjadi ancaman tersendiri.

Sehingga upaya Pemerintah untuk melobi pemerintah dan pebisnis AS, bisa dibilang langkah yang bijak. Terutama dengan adanya kepentingan Indo-Pasific Strategy yang tengah digalang AS, posisi Indonesia cukup kuat untuk berupaya menyeimbangkan (balance of power) kepentingan AS dengan kepentingan dalam negeri.

Hanya saja seperti juga program OBOR Tiongkok, program Indo-Pasific Strategy AS juga tak lepas dari upaya negera-negara tersebut menancapkan cakarnya di tanah air. Dengan adanya dua kekuatan besar yang sama-sama penting bagi Indonesia, merupakan tantangan bagi pemerintah – terutama Jokowi di tahun terakhirnya, untuk mampu mengakomodir adanya tarik menarik hegemoni antara dua negara ini. (R24)

Exit mobile version