“Krisis ekonomi 98 di Indonesia adalah bagian dari konspirasi elit ekonom global, untuk menggulingkan Presiden Soeharto”. – Michael Camdemsus, Mantan Direktur IMF
PinterPolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]iruk pikuk rupiah yang menembus angka Rp 14.200 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi tantangan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bagaimana tidak, mata uang Garuda itu sejak bulan April lalu makin kempis. Banyak media menulis: “Efek penguatan dolar bisa menguras dana lebih besar, lantaran tidak sejalan dengan asumsi APBN 2018 yang ditetapkan sebesar Rp 13.400 per dolar AS”.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi rupiah yang semakin terpuruk, pemerintah melalui Bank Indonesia telah berupaya menaikkan suku bunga acuan 7-Days Repo Rate sebesar 25 basis point (bps) menjadi 45 persen. Namun, dampaknya belum mampu membuat rupiah melejit.
Rupiah terjungkal ke Rp 14000 per US dollar. Apakah pemerintah berhasil atau gagal menjaga Rupiah?
— Fadli Zon (@fadlizon) May 9, 2018
Dalam dunia politik, lesunya rupiah malah jadi bahan omelan oposisi terhadap pemerintah. Bahkan kubu oposisi menilai, jika rupiah terus melemah, Jokowi bisa tumbang. Alasannya, fenomena ini mirip dengan jatuhnya Presiden Soeharto.
Lalu sejauh mana respons pemerintah? Apakah ini bagian dari kudeta finansial terhadap Jokowi?
The Fed Rate dan Harga Minyak
Sebelum bercerita lebih jauh tentang potensi adanya dugaan kudeta finansial atau financial coup d’Etat, ada baiknya kita sedikit ke konteks eksternal terkait faktor-faktor yang menyebabkan rupiah semakin terperosot.
Pertama, penguatan dolar pastinya berhubungan dengan kondisi ekonomi AS yang menguat, salah satunya di sektor tenaga kerja. Data tenaga kerja AS pada April 2018 memang makin membaik, setelah pada Maret lalu sedikit mengalami perlambatan karena faktor musiman.
Hasil survei yang dilakukan Reuters menunjukkan tenaga kerja non-pertanian AS (non-farm payrolls/NFP) diperkiran naik ke level 192.000 pada April. Sementara, pada Maret lalu data NFP hanya tumbuh sekitar 103.000.
Indeks pembiayaan pekerja (employment cost index) yang dipakai sebagai tolok ukur oleh policy maker dan ekonom untuk menilai kekuatan pasar pekerja juga tercatat naik pada kuartal pertama 2018. Indeks ini juga menunjukkan tingkat upah AS telah tumbuh dalam laju tercepat selama 11 tahun periode tersebut.
Nah, data pasar tenaga kerja AS yang terbilang bagus menjadi salah satu faktor The Fed menaikkan suku bunga. Kenaikan ini lantas menyebabkan capital outflow alias dolar “pulang kampung”, –yang berdampak pada semakin buruknya nilai rupiah.
Sistem kurs mengambang (free floating) yang kita anut juga menjadi pendukung lemahnya nilai rupiah. Ini disebabkan karena perubahan pada kurs dolar secara langsung akan mempengaruhi harga impor barang, serta mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Bayangkan, sebuah produk impor yang kita beli, misalnya handphone, yang tadinya senilai Rp1.5 juta per unit, namun karena dolar menguat kita terpaksa harus membelinya dengan harga Rp 2 juta.
Faktor kedua, tak bisa dipungkiri, tensi politik yang terjadi antara Iran dan AS juga turut mempengaruhi pengeluaran pemerintah (capital expenditure). Polemik kedua negara yang belum menuai kepastian — sejak Trump mengeluarkan statement bahwa “perjanjian nuklir dengan Iran akan direvisi kembali” — telah memicu kenaikan harga minyak dunia.
Jika sanksi terhadap Iran kembali diberlakukan, maka berpotensi menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Ini karena suplai minyak Iran di pasar internasional menjadi macet atau stock minyak di pasar internasional berkurang (scarcity), sehingga memicu kenaikan harga.
Perlu diketahui, Iran sebagai salah satu produsen minyak terbesar di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memiliki andil terhadap harga minyak di pasar internasional.
Jika harga minyak semakin tinggi, maka resikonya adalah ongkos impor minyak Indonesia pun semakin besar. Hal ini akan berdampak terhadap kondisi ekonomi domestik dan kenaikan harga barang, termasuk memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Maka, hasilnya pengeluaran pemerintah (government expenditure) akan semakin terkuras. Data BPS menunjukkan pada Januari 2018 tercatat impor minyak mentah Indonesia telah mencapai 280 juta dolar AS.
Pada tahun ini, tensi yang meningkat antar kedua negara sebenarnya disebabkan oleh tudingan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu terhadap program nuklir Iran. Dalam sebuah pernyataannya mengenai perkembangan terkini program nuklir Iran, Netanyahu mengatakan Iran secara diam-diam masih berusaha untuk mengembangkan persenjatan nuklirnya.
Kecurigaan terahadap Iran sebenarnya tidak berdasar. Menurut negosiator yang terlibat dalam kesepakatan nuklir Iran, dokumen yang disodorkan Netanyahu adalah bukti lama, –sebelum munculnya kesepatakan nuklir Iran pada 2015.
Indonesia yang ketergantungan bahan bakar minyak (BBM) harus mengimpor dalam jumlah banyak tiap tahun. Tingginya impor ini memicu neraca perdagangan RI jadi defisit. #insight #Dollar #EkonomiTerkini #ekonomiindonesia #dollarUS #AMERIKA #rupiah14000
— Central Futures (@CentralFutures) May 21, 2018
Tensi kedua negara ini, sebagaimana dikutip dari CNBC, telah menyebabkan harga minyak jenis light sweet yang bergerak menguat 0,69 persen menjadi 68,57 dolar AS per barel, sementara Brent naik 0,71% menjadi 75,17 dolar AS per barel.
Selain itu, dolar yang menguat terhadap rupiah juga telah menyebabkan utang negara semakin membengkak. Data Kementerian Keuangan menunjukkan sejak Maret 2018 ketika kurs berada pada level Rp 13.800 per dolar AS, pemerintah telah membayar utang jatuh tempo valas sebesar 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 37,2 triliun.
Di balik dolar yang kuat, telah menggiring saya ke beberapa kasus mengenai kudeta finansial. Pertanyaan pun muncul, apakah dolar yang terus bertahan pada posisi Rp 14.205 adalah upaya dari kudeta finansial terhadap rezim Jokowi?
Ancaman Kudeta Finansial
Anda bisa bayangkan, bagaimana jika rupiah tidak mampu keluar dari level Rp 14.205. Hasilnya adalah government expenditure akan semakin meningkat, sehingga solusi yang muncul adalah bailout.
Nah, istilah ekonomi bailout dalam tulisan David DeGraw berjudul The Financal Coup d’Etat: Consolidation of America’s Economic Elite, sangat berkaitan dengan sebuah operasi intelijen untuk menjatuhkan rezim yang sedang berkuasa.
Dalam tulisannya, dia menyebut bailout adalah bagian dari konspirasi elit ekonomi melalui program International Monetery Fund (IMF) dengan skema kebijakan program penyesuain struktural (Structural Adjustment Program).
Selain itu, kudeta finansial juga bisa diartikan sebagai upaya untuk menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa dengan menggunakan instrumen finansial.
Kita tahu, krisis di Asia tahun 1997 yang diakibatkan oleh spekulan bernama George Soros, telah mencipatkan efek domino yang berdampak hingga ke Indonesia. Pada saat itu, upaya pemerintah Thailand untuk menjaga stabilitas ekonomi nyatanya tak mampu mengatasi krisis.
Indonesia mengalami hal serupa. Kebijakan mata uang mengambang (floating exchange rate) yang diambil pemerintah pada saat itu sempat membuat rupiah menguat, namun kenaikan itu tak memperbaiki kondisi ekononi yang sudah terlanjur rapuh. Seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur.
Melihat situasi yang memburuk, Soeharto akhirnya meminta bantuan dana kepada IMF, tepatnya pada 31 Oktober 1997. IMF pun meluncurkan paket bantuan senilai 23 miliar dolar AS serta menyepakati sejumlah aturan deregulasi, privatisasi, pencabutan monopoli Bulog, dan penghapusan retribusi.
Jika kembali pada argumen David DeGraw, apa yang dilakukan IMF tentu merupakan bagian dari financial coup d’etat. Pemerintahan Soeharto akhirnya harus jatuh akibat kegagalan ekonomi dan utang negara yang terus membesar. Hal ini sebenarnya bisa kita petik sebagai pelajaran di masa kini –mengingat utang negara yang kian menjulang.
Tak hanya itu, ulah IMF di balik kejatuhan Soeharto juga dibenarkan oleh pernyataan Profesor Steve Hanke, panasehat ekonomi Soeharto. Menurutnya, IMF telah membuat konspirasi di balik krisis ekonomi di Indonesia sehingga mendorong rezim militerisitik itu runtuh. Ini sebenarnya adalah pengakuan Michael Camdemsus, yang kala itu menjabat sebagai direktur IMF.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS hingga level tertentu juga berpotensi menyebabkan kejatuhan rezim Jokowi. Indikatornya bisa diukur dari nilai rupiah yang belum juga pulih ke level Rp 13.400 – sesuai dengan asumsi APBN.
Jika ini tidak cepat ditangani, maka dampak yang lebih fatal mungkin saja terjadi karena inflasi yang tinggi selalu berkaitan erat dengan konflik sosial.
Saran kami saudara coba pikirkan Dollar yang saat ini sudah tembus Rp 14.200, Tenaga Kerja Asing yang membanjiri Indonesia, swasembada pangan yang tak kunjung terealisasi, nasib petani yang tertindas dengan kebijakan impor Pemerintah. https://t.co/RZiVzL0mXY
— Partai Gerindra (@Gerindra) May 23, 2018
Namun, di sisi lain, kita perlu curiga, rupiah yang terus melemah bisa jadi merupakan jebakan negara-negara Barat atau konspirasi elit ekonomi untuk menjatuhkan rezim Jokowi. Apalagi lemahnya nilai tukar rupiah bertepatan dengan hiruk-pikuk pesta demokrasi yang akan berlangsung pada tahun ini.
Presiden Jokowi, saat ini bisa dibilang sedang terperangkap oleh bayang-bayang kudeta finansial, sebagaimana yang pernah terjadi pada Soeharto. Bahkan gebyar-gebyar di media telah menunjukkan jika rupiah menembus Rp 15.000 per dolar AS, maka sudah saatnya Jokowi harus tumbang.
Utang negara yang makin tinggi akibat program pembangunan Jokowi yang ambisius, ternyata bisa dimanfaatkan sebagai kudeta finansial yang mungkin tidak disadari oleh Jokowi.
Melihat kuatnya cengkraman dolar terhadap rupiah, sebetulnya pada 2013 silam, pemerintah Indonesia telah melakukan eksperimen untuk melepas ketergantungan terhadap dolar AS melalui kesepakatan Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan Bank Sentral Tiongkok.
Kebijakan ini akan membantu Indonesia untuk mendapatkan talangan demi mencegah dampak ekonomi sistemik yang lebih parah akibat anjloknya nilai tukar rupiah. Total nilai kesepakatan tersebut mencapai 20 miliar dolar AS.
Namun, jika keterpurukan nilai tukar rupiah ini terjadi untuk waktu yang lama, kesepakatan ini tampaknya belum mampu menyelamatkan Jokowi dari serangan kurs Paman Sam.
Isu soal kudeta Jokowi sebenarnya telah muncul pada 2017 silam. Laporan Alan Nairn bertajuk: “Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar” menjelaskan secara gamblang, bagaimana konspirasi elit politik dan ekonomi berada dibalik demo anti Ahok.
Menurut laporan Nairn, demontrasi umat Islam dengan skala besar dalam aksi 212 hanyalah upaya para jenderal, partai oposisi dan pebisnis untuk menjatuhkan Jokowi.
Selain itu, kudeta finansial terhadap Jokowi juga dapat dipicu oleh kedekatan Jokowi dengan Tiongkok, –rival utama AS. Ini tentu, membuat AS “cemburu” dan merasa kepentingannya di Indonesia terganggu, sehingga upaya untuk menjatuhkan rezim Jokowi pun terbuka lebar.
Kita tahu, sejak Presiden Jokowi dilantik, kerja sama ekonomi Indonesia dan Tiongkok meningkat signifikan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut pada tahun 2014 nilai investasi Tiongkok menyentuh angka 800 juta dolar AS atau sekitar Rp 10,8 triliun untuk sekitar 501 unit proyek yang dikerjakan.
Angka ini meningkat tiga kali lipat di tahun 2016. Sementara itu, pada periode yang sama, Investasi AS di Indonesia justru menurun signifikan yakni 1,2 miliar dolar dibandikan tahun 2013.
Pendeknya, semakin terperosotnya rupiah terhadap dolar dan hajatan politik yang kian mendekat, serta pengalaman Soeharto yang tumbang, bolehkah kita bilang bahwa ada upaya financial coup d’etat terhadap rezim Jokowi? Mungkinkah kekuasaan Jokowi berakhir lebih cepat? (A13)